Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sekolah Khusus Anak Jenius, Perlukah?

24 Maret 2017   22:02 Diperbarui: 26 Maret 2017   00:00 1332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari ini saya membaca berita tentang keingin calon wagub DKI Jakarta dari nomor 3, Sandiaga Uno yang ingin mendirikan sekolah untuk anak jenius (Baca). Salah satu alasannya adalah karena negara lain (hanya Singapura dan Malaysia) sudah pada punya sedangkan Indonesia hanya punya satu. Singapura katanya punya dua dan Malaysia bahwa punya banyak. DKI disebut tidak memiliki sekolah seperti itu dan ada keinginan untuk membuat hal yang sama dengan yang dilakukan di Kabupaten Cianjur. Ya... semoga tidak muncul pandangan miring karena dianggap meniru program daerah lain. Bukankah pasangan ini sangat sensitif terhadap isu "tiru meniru"? Tapi sudahlah... bukan itu yang ingin saya bicarakan, eh, tuliskan.

Pertama, kita perlu melakukan kajian secara mendalam terhadap konsep jenius. Membaca artikel yang ditulis oleh kompas.com tersebut, jenius diartikan memiliki IQ lebih dari 130. OK, mari kita mundur sedikit ke belakang. Hal apa saja yang ada dalam tes IQ? Sangat bervariasi tetapi umumnya lebih mengarah pada kemampuan akademik. Menurut teori pendidikan moderen, hal ini sebenarnya sudah dianggap usang. 

Gardner yang mencetuskan multiple intelligence telah membuka wawasan kita semua bahwa kecerdasan seseorang tidak hanya dilihat dari sisi akademik. Dengan kata lain, istilah jenius yang dipakai secara terbatas untuk menilai kemampuan akademik seseorang sekarang menjadi lebih luas penggunaannya. Sekarang istilah jenius bukan monopoli mereka yang ahli dalam matematika, mereka yang ahli bermain musik atau menulis juga diberi predikat jenius. Penyandang 'gelar' jenius bukan melulu milik mereka yang jago dalam hal fisika atau kimia, ada penyandang 'gelar' jenius yang jago dalam hal menguasai diri. 

Tidak lama setelah Gardner mencetuskan multiple intelligence, situasi dunia pendidikan berubah tetapi tidak semuanya. Masih ada tempat-tempat yang menerapkan konsep jenius yang terbatas:

  • Beberapa sekolah memiliki program kelas akselerasi yang dapat diikuti oleh mereka yang 'dianggap' jenius atau memiliki kemampuan di atas rata-rata (kalau menggunakan gaya bahasa yang rendah hati). Dalam model pembelajaran, kelas akselerasi memadatkan materi pembelajaran sehingga SD dapat diselesaikan dalam waktu 5 tahun, SMP 2 tahun, dan SMA 2 tahun. Perkembangan otak manusia memang bisa dipacu (baca: diakselerasi), tetapi bagaimana dengan perkembangan mental dan kedewasaan berpikir? Di saat banyak keluarga dan orang tua yang membanggakan anaknya yang masuk kelas khusus ini, berapa banyak anak di kelas ini bergumul dengan masalah kedewasaan mental dan pikirannya? Republika mengutip bahwa Kemendikbud akan menghilangkan kelas akselerasi ini di TA 2015/2016 saat kurikulum 2013 dijalankan (http://www.republika.co.id/berita/koran/didaktika/14/10/09/nd6cab10-kemendikbud-hapus-program-akselerasi).
  • Model yang mirip dengan kelas akselerasi adalah kelas khusus yang diberi nama yang katanya keren (tetapi menurut saya malah menimbulkan kesenjangan) seperti kelas cendekia, kelas cerdas istimewa, dll. Dalam pengamatan saya, kelas ini dibentuk, salah satu alasannya, untuk memudahkan guru dalam mengajar karena variabilitas kemampuan 'akademik' siswa di kelasnya sangat tinggi. Namun telah terjadi ketidakadilan karena fokusnya tetap pada 'akademik'. Bagaimana dengan yang lain? Mohon maaf, yang lain nanti dulu ya... karena tidak memberikan keuntungan untuk sekolah. Koq bisa? Karena prestasi siswa di jenjang yang 'berbau' akademik lebih menguntungkan sekolah daripada di bidang seni seperti musik atau olah raga.

Munculnya konsep multiple intelligence memang tidak serta merta diikuti oleh berbagai macam tes untuk menilai tingkat kejeniusan sebagaimana dicetuskan Gardner. Saya tidak tahu apakah memang masih dalam tahap pembuatan atau memang tidak ada yang mau membuatnya karena dianggap terlalu sulit.

Kedua, diadakannya sekolah khusus untuk anak jenius (secara akademik) berarti mengakui keberadaan anak yang tidak jenius (secara akademik). Dalam pandangan saya, kalau kita menerima konsep multiple intelligence, seharusnya tidak ada lagi model sekolah khusus seperti yang dibuat di Singapura dan Malaysia. Bukankah setiap orang (baca: anak) adalah orang yang jenus dalam bidang masing-masing? Hanya saja belum ada tes kejeniusan selain untuk bidang akademik.

Keberadaan sekolah khusus untuk anak jenius justru akan memberikan gambaran ketidakmampuan guru untuk mengajar dengan baik tetapi menggunakan alasan lain, yaitu meniru negara atau daerah lain dan terlihat lebih keren dibandingkan dengan tempat yang tidak memilikinya. Selain itu, sekolah seperti ini memberikan prestise tersendiri bagi siswa dan keluarganya. Namun, selain membuka aib kemampuan guru dalam mengajar, sekolah model seperti ini juga menimbulkan kesenjangan sosial, justru yang dipupuk dari seorang anak masih kecil. Saya tidak menampik bahwa sekolah bisa membuat program-program pelengkap untuk menanggulangi dampak sosial di masyarakat terkait dengan berbagai macam kesenjangan yang muncul, tetapi saya kira tidak ada program yang akan berhasil menanggulanginya.

Dalam salah satu artikel yang ditulis oleh seorang pengajar muda di web Indonesia Mengajar (Baca), lembaga besutan Anies Baswedan, dikutip tweet dari Anies Baswedan bahwa tidak ada anak bodoh sambil memberikan data seorang anak dari Wamena. Saat itu Anies belum menjadi Mendikbud atau calon gubernur DKI.

Saya setuju bahwa tidak ada anak bodoh. Kita banyak memiliki anak yang tidak diajar dengan tepat sehingga 'terlihat bodoh'. Tidak diajar dengan tepat karena gurunya tidak memberikan sentilan yang tepat untuk mengaktifkan proses belajar seorang anak. Hal ini terjadi sejak pendidikan dasar dan terbawa ke jenjang yang lebih tinggi. Semakin tinggi jenjangnya, bukankah semakin sulit untuk mengubah dan membentuk gaya belajar yang sesuai?

Akhir-akhir ini mata dunia pendidikan kita sedang meneropong Finlandia yang dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia. Bahkan Anies, saat masih menjabat sebagai Mendikbud, mengungkapkan bahwa Finlandia menerapkan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswanya (Baca). Finlandia tidak mengenal kelas akselerasi dan kelas khusus seperti yang diterapkan di banyak negara Asia. Saya perlu menekankan 'negara di Asia' karena memang negara di Asia sepertinya paling suka dengan model yang demikian. Meraih predikat sistem pendidikan terbaik sedunia bukan dicapai dengan usaha yang mudah. Berbagai macam model telah dicoba sampai akhirnya menemukan model yang cocok.

Di Finlandia, seorang guru wajib mengenali kemampuan siswanya dengan baik. Hal ini terkait dengan memberikan tantangan bagi mereka yang dinilai memiliki kemampuan lebih dan ini berlaku untuk semua bidang, termasuk seni dan pekerjaan tangan. Jadi, guru memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan siswanya sesuai dengan perkembangannya masing-masing. Mereka yang 'tidak jenius' dalam suatu bidang ilmu tidak merasa tertekan karena tidak mampu mengerti secepat teman-temannya dan siswa yang lebih 'jenius' pada bidang ilmu itu tidak merasa tertekan karena harus menunggu yang lain.

Memang, guru di Finlandia harus mengantongi ijasah magister dan akan melewati seleksi yang sangat ketat untuk bisa menjadi seorang guru. Memiliki ijasah guru tidak cukup untuk menjadi guru di Finlandia. Ini adalah model penjaminan mutu pendidikan yang diterapkan pemerintah. Dengan jumlah penduduk yang setara dengan Surabaya, sepertinya tidak sulit bagi negara ini untuk mendapatkan guru dibandingkan dengan Indonesia yang penduduk jauh lebih banyak dari salah satu negara Scandinavia ini.

Keinginan Sandi untuk membangun sekolah khusus anak jenius menggelitik pikiran saya. Mengapa tidak menciptakan program pendidikan guru yang berkualitas sehingga memberikan dampak yang lebih luas? Bukankah menciptakan pendidikan yang menghasilkan guru yang berkualitas lebih bernilai daripada sekedar mendirikan sekolah khusus anak jenius yang hanya dinikmati oleh sebagian kecil siswa? Bukankah meningkatkan kualitas guru untuk bisa mengajar dan menghargai kecerdasan multi-dimensi lebih berharga daripada menghargai kecerdasa akademik dan mematikan kecerdasan yang lain?

Membangun sekolah khusus untuk anak jenius akan mempromosikan kesenjangan sosial di dunia anak. Anak akan mulai terkotak-kotak bahkan sejak mereka masih sangat muda. Ini sesuatu yang kita harus hindari. Dampaknya bisa fatal untuk persatuan dan kesatuan negara kita.

Jika sekolah tersebut berdiri, anggarannya tentu dari pemprov DKI Jakarta. Apakah siswa yang masuk akan dibatasi untuk warga DKI Jakarta saja? Jika ya, bisa jadi akan memunculkan keinginan daerah lain untuk mendirikan sekolah sejenis dan akibatnya 'program promosi kesenjangan sosial' akan semakin meluas. Selain itu, apa yang akan dipersiapkan oleh pemprov DKI Jakarta bagi mereka yang dianggap tidak jenius? Dampak lain adalah keinginan orang di luar DKI Jakarta untuk menjadi warga DKI dan ini berarti DKI akan bertamabah padat.

Saat sekolah tersebut dibuka juga untuk siswa di luar DKI, itu berarti anggaran pemprov DKI (yang menurut saya tidak akan kecil nil;ainya) juga digunakan untuk oleh warga di luar DKI secara eksklusif. Menurut saya, ini bukanlah cara mengelola anggaran yang tepat.

Sebagai penutup, saya selalu mengingatkan mahasiwa di kelas saya di awal semester. Ada 4 jenis mahasiswa (bisa juga diterapkan untuk siswa):

  1. Mahasiswa yang mampu secara akademik dan mau belajar
  2. Mahasiswa yang mampu secara akademik tetapi tidak mau belajar
  3. Mahasiswa yang tidak mampu secara akademik tetapi mau belajar
  4. Mahassiwa yang tidak mampu secara akademik dan tidak mau belajar

Saya mengatakan bahwa tipe 1 adalah tipe yang tidak perlu diurus karena dia akan survive sendiri. Tipe 2 adalah tipe yang tidak perlu diurusi juga karena sudah mampu secara akademik walaupun tidak mau belajar. Tipe 4 adalah tipe yang parah karena tidak mampu secara akademik dan tidak mau belajar. Mengurusi tipe ini termasuk kegiatan yang membuang energi dengan percuma. Saya lebih suka mengurusi tipe 3. Kemauan seseorang untuk belajar adalah modal penting dalam belajar dan ini harus dihargai. Saya akan mengakhirinya dengan pertanyaan reflektif agar mahasiswa menjawab dalam hatinya, tipe mana yang sesuai dengan dirinya.

Singkat kata, saya berpendapat bahwa kita seharusnya tidak lagi memunculkan sekolah atau kelas khusus karena potensi dampak kesenjangan sosial di kalangan anak-anak. Lebih bermanfaat membuat sekolah untuk menghasilkan guru yang berkualitas.

Salam dari Oulu, Finlandia, yang sudah mulai menghangat walaupun masih banyak salju bertebaran di jalanan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun