Memang, guru di Finlandia harus mengantongi ijasah magister dan akan melewati seleksi yang sangat ketat untuk bisa menjadi seorang guru. Memiliki ijasah guru tidak cukup untuk menjadi guru di Finlandia. Ini adalah model penjaminan mutu pendidikan yang diterapkan pemerintah. Dengan jumlah penduduk yang setara dengan Surabaya, sepertinya tidak sulit bagi negara ini untuk mendapatkan guru dibandingkan dengan Indonesia yang penduduk jauh lebih banyak dari salah satu negara Scandinavia ini.
Keinginan Sandi untuk membangun sekolah khusus anak jenius menggelitik pikiran saya. Mengapa tidak menciptakan program pendidikan guru yang berkualitas sehingga memberikan dampak yang lebih luas? Bukankah menciptakan pendidikan yang menghasilkan guru yang berkualitas lebih bernilai daripada sekedar mendirikan sekolah khusus anak jenius yang hanya dinikmati oleh sebagian kecil siswa? Bukankah meningkatkan kualitas guru untuk bisa mengajar dan menghargai kecerdasan multi-dimensi lebih berharga daripada menghargai kecerdasa akademik dan mematikan kecerdasan yang lain?
Membangun sekolah khusus untuk anak jenius akan mempromosikan kesenjangan sosial di dunia anak. Anak akan mulai terkotak-kotak bahkan sejak mereka masih sangat muda. Ini sesuatu yang kita harus hindari. Dampaknya bisa fatal untuk persatuan dan kesatuan negara kita.
Jika sekolah tersebut berdiri, anggarannya tentu dari pemprov DKI Jakarta. Apakah siswa yang masuk akan dibatasi untuk warga DKI Jakarta saja? Jika ya, bisa jadi akan memunculkan keinginan daerah lain untuk mendirikan sekolah sejenis dan akibatnya 'program promosi kesenjangan sosial' akan semakin meluas. Selain itu, apa yang akan dipersiapkan oleh pemprov DKI Jakarta bagi mereka yang dianggap tidak jenius? Dampak lain adalah keinginan orang di luar DKI Jakarta untuk menjadi warga DKI dan ini berarti DKI akan bertamabah padat.
Saat sekolah tersebut dibuka juga untuk siswa di luar DKI, itu berarti anggaran pemprov DKI (yang menurut saya tidak akan kecil nil;ainya) juga digunakan untuk oleh warga di luar DKI secara eksklusif. Menurut saya, ini bukanlah cara mengelola anggaran yang tepat.
Sebagai penutup, saya selalu mengingatkan mahasiwa di kelas saya di awal semester. Ada 4 jenis mahasiswa (bisa juga diterapkan untuk siswa):
- Mahasiswa yang mampu secara akademik dan mau belajar
- Mahasiswa yang mampu secara akademik tetapi tidak mau belajar
- Mahasiswa yang tidak mampu secara akademik tetapi mau belajar
- Mahassiwa yang tidak mampu secara akademik dan tidak mau belajar
Saya mengatakan bahwa tipe 1 adalah tipe yang tidak perlu diurus karena dia akan survive sendiri. Tipe 2 adalah tipe yang tidak perlu diurusi juga karena sudah mampu secara akademik walaupun tidak mau belajar. Tipe 4 adalah tipe yang parah karena tidak mampu secara akademik dan tidak mau belajar. Mengurusi tipe ini termasuk kegiatan yang membuang energi dengan percuma. Saya lebih suka mengurusi tipe 3. Kemauan seseorang untuk belajar adalah modal penting dalam belajar dan ini harus dihargai. Saya akan mengakhirinya dengan pertanyaan reflektif agar mahasiswa menjawab dalam hatinya, tipe mana yang sesuai dengan dirinya.
Singkat kata, saya berpendapat bahwa kita seharusnya tidak lagi memunculkan sekolah atau kelas khusus karena potensi dampak kesenjangan sosial di kalangan anak-anak. Lebih bermanfaat membuat sekolah untuk menghasilkan guru yang berkualitas.
Salam dari Oulu, Finlandia, yang sudah mulai menghangat walaupun masih banyak salju bertebaran di jalanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H