Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berderap, Berirama, dan Berokestra untuk Pendidikan di Indonesia

24 Mei 2016   16:07 Diperbarui: 24 Mei 2016   16:16 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://trtpost-wpengine.netdna-ssl.com/files/2015/11/shutterstock_116664571-680x400.jpg

Lomba? Hampir tidak ada! Lomba yang berhubungan dengan mata pelajaran hanyalah Olimpiade Matematika dan solanya juga sesuai dengan tingkat peserta. Tidak ada soal yang diambilkan dari materi yang lebih tinggi. Jadi, anak mengikuti lomba sesuai dengan tingkat kemampuannya. Lomba yang berhubungan dengan bakat minat diakomodasi oleh TV melalui berbagai macam program seperti Suomi Got Talent, Voice of Finland, dll.

Terkahir, guru di Finlandia diambil dari 10% terbaik program pendidikan guru di jenjang magister. Untuk hal ini, mereka melakukan sistem seleksi yang sangat ketat.


Pada 4:09, diungkapkan bahwa Matematika, Membaca dan Sains bukan mata pelajaran yang utama seperti pendapat kebanyak orang. Anak dihargai berdasarkan kemampuannya, apa pun itu.

Membangun Sistem Pendidikan di Indonesia Melalui Gerakan Semesta

Jika memang pendidikan memerlukan gerakan semesta, maka sebenarnya itu sudah dilakukan di Finlandia. Ini membuka mata kita semua bahwa siapa pun bisa berkontribusi untuk sebuah pendidikan yang lebih baik.

Orang tua yang hanya peduli pada nilai yang diperoleh anak perlu memikirkan ulang 'tuntutan' ini. Peran ini tidak bisa dipandang sebelah mata karena berapa banyak anak yang stres karena permintaan yang seperti ini. Akibatnya, kecurangan merajalela, banyak anak menghalalkan segala cara demi meraih nilai yang diidamkan orang tuanya. Saat kebiasaan ini terbangun dan anak tumbuh semakin dewasa menjadi mahasiswa, hal itu tidak dapat (baca: sulit) dihilangkan. Banyak mahasiswa yang belajar hanya untuk sekedar mendapatkan nilai yang baik setelah itu lupakan materinya. 

Ini kontribusi kecil yang berdampak luas. Namun, untuk melakukannya tidak semudah membalik telapak tangan. Orang tua dibesarkan dengan tuntutan dari orang tuanya juga. Tuntutan seperti ini sudah menjadi tuntutan turun temurun yang sulit diputuskan. Melepaskan diri dari jerat tuntutan ini memerlukan usaha yang sangat besar, tetapi bukan tidak mungkin dilakukan. 

Banyak orang juga mengaitkan nilai yang bagus dengan pekerjaan. Banyak perusahaan mematok nilai yang tinggi untuk mendapatkan karyawan yang baik. Apakah mereka tidak menyadari bahwa nilai yang tinggi adalah sekedar kosmetik untuk menutupi kemampuan yang sesungguhnya? Di sini pun perlu perubahan paradigma dari kalangan perusahaan yang mencari pegawai. Beberapa perusahaan sudah menerakan uji kompetensi untuk calon pegawai. Jadi bukan sekedar unjuk nilai tetapi juga unjuk kemampuan.

Masyarakat Indonesia belum menghargai profesi guru dengan baik. Jika ada seorang anak yang dinilai bagus secara akademik dan memutuskan untuk mnmjadi guru, maka orang berkata bahwa ia sedang menyia-nyiakan kemampuannya. Bisakah kita mengubah paradigma ini? Bisa! Saat paradigma ini sudah berubah, maka kita akan mendapatkan guru-guru yang terbaik, yang bekerja tanpa beban bahwa ia sedang menyia-nyiakan kemampuannya, yang melakukan tugasnya tanpa merasa dituding sebagai anak yang tidak menghargai pendapat orang tua, dll. Ini peran yang bisa diambil semua orang.

Pemerintah sebagai pemegang kendali sistem pendidikan Nasional jelas tidak dapat dilepaskan dari gerakan semesta ini. Beberapa hal memang sudah dilakukan pemerintah untuk memperbaiki berbagai macam dalam sistem pendidikan Nasional, seperti

  • Program tunjangan sertifikasi guru
  • Program pelatihan guru
  • Program insentif guru di pelosok
  • dll

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun