Menulis adalah bekerja untuk keabadian, katanya. Namun menurut saya, menulis melebihi dan melampaui itu. Menulis dan membuat karya adalah pekerjaan yang merepresentasikan sesuatu dengan sifat abadi. Dan inilah yang diangkat pada Gramedia Writers and Readers Forum (GWRF) 2019.Â
Singkatnya, GRWF Â adalah sebuah forum di mana penulis dan pembaca bertemu serta berdialog dengan bebasnya yang diadakan oleh Gramedia .Â
Sebagai pembaca -uhuk, saya sangat antusias dengan forum ini, terlebih lagi tema yang diusung adalah "Literacy Diversity" Keberagaman literasi.Â
Menilik dari berbagai macam literasi di Indonesia, patut kita syukuri bahwa sekarang, Literasi di Indonesia telah berwarna. Walaupun, warna-warna yang timbul tidak bisa saya katakan sudah merepresentasikan keseluruhan literasi maupun Indonesia sendiri. Tapi tidak apa, toh kita masih perlu banyak belajar dan bergiat kembali  menghidupkan literasi.Â
Forum yang diadakan tiga hari ini membuat saya melihat banyak sisi literasi Indonesia. Tak hanya sebatas kumpulan kertas yang dijilid menjadi buku, kini literasi sudah berevolusi menjadi media yang digemari millenials dan generasi selanjutnya. Puisi yang dahulu diasosiasikan dengan "hiburan orangtua" kini dikenal sebagai media menyuarakan perasaan hati oleh generasi saya.Â
Sastra juga tak hanya sebatas buku, tapi lebih dari itu dan lebih dari kumpulan kertas-kertas. Sains populer yang awalnya dikira hanya diperuntukan untuk mereka yang kutu buku, kini menjadi dasar seseorang untuk mengerti kehidupan. Â
Saya sangat bersyukur untuk itu. Setidaknya saya tak lagi dicap oleh orang-orang bahwa saya adalah sikutu buku yang kerjaannya menangisi buku dan mempertanyaka kehidupan.Â
Pada hari pertama Forum ini, saya menemukan banyak fakta menarik tentang dua kelas yang saya ikuti. Â Fakta pertama adalah Menulislah dengan jujur sesuai ekspektasi pembacamu. Menarik sekali bukan?Â
Saya mengikuti kelas "Show Your Creation with Social Media" oleh Luluk HF, Poppi Pertiwi, dan Asabell Audida. Penulis-penulis muda gemilang yang memiliki fanbase yang amat teramat loyal.Â
Saya bangga melihat mereka, namun juga terpelatuk pada saat yang sama. Mereka sangat antusias mengajak kami semua untuk memulai menulis dan mempromosikan tulisan melalui sosial media. Tapi disaat itu saya juga merasa sedih.Â
Pasalnya, mengingat diri saya yang terlampau bodoh dan merasa hina dengan tulisan saya, mereka adalah contoh yang harus saya ikuti dalam menulis.Â
Ya, tuliskan saja dulu apa yang ingin kamu tuliskan. Tapi ya lebih baik, tuliskan sesuatu yang sesuai ekspektasi pembacamu. Dengan begitu, niscaya, namamu akan dikenang oleh fans setiamu. Selain itu notable issue yang harus saya garis bawahi adalah batas kepenulisan untuk pemuas hasrat dan sex education.Â
Mereka adalah penulis muda yang mulai menulis dari apa yang mereka bayangkan. Mereka memulai dengan pertanyaan "Bagaimana Jika". Â
Bagaimana jika idola mereka mencintai seseorang yang tak dia cintai? Bagaimana jika seorang fans bisa bersama idola mereka dan jatuh cinta? Menarik sekali bukan? Dan kita tak bisa pungkiri bahwa sekarang, angan-angan itu adalah bensin dari penulis muda yang terobsesi dengan idola mereka dan menuangkannya ke dalam fanfiction.Â
Tapi di sisi lain adalah ketika mereka menuliskan sesuatu yang bersifat memuaskan hasrat, contohnya: hubungan dalam rumah tangga, saya pikir hal seperti itu patut kita perhatikan.Â
Beberapa fiksi penggemar meromantisasikan hubungan yang toksik sehingga pembaca memiliki pemikiran bahwa hal tersebut adalah "relationship goals".
 Kurangnya seks edukasi di Indonesia juga membuat hal ini sangat teramat rentan. Oleh karena itu, saya merasa kita memegang peranan penting untuk mengajarkan dasar seks edukasi yang baik kepada orang sekitar.Â
Di sisi lain lagi, kelas Sastra Indonesia di Dunia membuat saya tepuk tangan dalam keheningan. Dimoderatori oleh Mario Lawi, diskusi Ayu Utami dan Anya Rompas sangatlah panas. Dua tahun lalu, GRWF mengundang Eka Kurniawan untuk membahas isu yang sama tapi dalam perspektif yang berbeda.Â
Dari saat itu sebenarnya pertanyaan yang saya tanyakan itu sama, "Kenapa sih sastra Indonesia yang terkenal di ranah internasional memiliki ke khas-an yang sama?" Dan pertanyaan itu dijawab oleh diskusi Ayu Utami dan Anya Rompas.Â
Anya Rompas memberikan perspektif baru perihal representasi sastra Indonesia di ranah Internasional. Representasi Sastra Indonesia belumlah menyeluruh dan timpang tindih antara satu dan lainnya.Â
Atas hal itu, isu sastra Indonesia yang 'seksi' untuk audiens internasional adalah perihal kejadian kolonialisme, 1965, 1998, horor/mistis, serta seks. Â Dan saya tidak bisa mengelak akan hal itu.Â
Di lain sisi, saya juga amat sangat setuju dengan Ayu Utami perihal "Kenapa sih kita mau ngebawa sastra Indonesia ke luar negeri?". Untuk apa? memperkenalkan Indonesia?Â
Ya pasti, tapi apakah kita sudah siap dengan hal itu? Apakah kita sudah mengapresiasikan sastra kita sendiri di negeri sendiri? Apakah kita sudah menulis untuk keberagaman kita sendiri? Apakah pembendaharaan sastra kita sudah kaya?Â
Menurut saya, kita maish jauh untuk itu. Tapi mengingat kata Eka Kurniawan pada forum dua tahun lalu, "Untuk apa kamu menulis? Agar terkenal di luar negeri?Â
Saya rasa seorang penulis itu hanya harus menulis. Perihal dia mendapatkan spotlight dari audiens luar adalah tambahan saja". Saya akan berpegang teguh untuk itu. Menulislah untuk kebersamaan, menulislah untuk keberagaman, dan menulislah karena kita butuh.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H