Mohon tunggu...
Miftaahul Jananh
Miftaahul Jananh Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pembaca dan Penanya

Panggil saja saya Mips, saya gemar menuliskan hal-hal aneh yang mungkin bisa dibilang menjadi sebuah kegemaran yang aneh pula. Sangat antusias dalam masalah woman empowerment, pangan, nutrisi, hak asasi manusia, dan buku. Sering mengira dirinya berada di Tokyo, tahun 1970 dengan lagu city pop mengumandang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

GRWF 2019: Literasi untuk Keberaneka Ragaman

11 Agustus 2019   09:53 Diperbarui: 11 Agustus 2019   10:07 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ya, tuliskan saja dulu apa yang ingin kamu tuliskan. Tapi ya lebih baik, tuliskan sesuatu yang sesuai ekspektasi pembacamu. Dengan begitu, niscaya, namamu akan dikenang oleh fans setiamu. Selain itu notable issue yang harus saya garis bawahi adalah batas kepenulisan untuk pemuas hasrat dan sex education. 

Mereka adalah penulis muda yang mulai menulis dari apa yang mereka bayangkan. Mereka memulai dengan pertanyaan "Bagaimana Jika".  

Bagaimana jika idola mereka mencintai seseorang yang tak dia cintai? Bagaimana jika seorang fans bisa bersama idola mereka dan jatuh cinta? Menarik sekali bukan? Dan kita tak bisa pungkiri bahwa sekarang, angan-angan itu adalah bensin dari penulis muda yang terobsesi dengan idola mereka dan menuangkannya ke dalam fanfiction. 

Tapi di sisi lain adalah ketika mereka menuliskan sesuatu yang bersifat memuaskan hasrat, contohnya: hubungan dalam rumah tangga, saya pikir hal seperti itu patut kita perhatikan. 

Beberapa fiksi penggemar meromantisasikan hubungan yang toksik sehingga pembaca memiliki pemikiran bahwa hal tersebut adalah "relationship goals".

 Kurangnya seks edukasi di Indonesia juga membuat hal ini sangat teramat rentan. Oleh karena itu, saya merasa kita memegang peranan penting untuk mengajarkan dasar seks edukasi yang baik kepada orang sekitar. 

Di sisi lain lagi, kelas Sastra Indonesia di Dunia membuat saya tepuk tangan dalam keheningan. Dimoderatori oleh Mario Lawi, diskusi Ayu Utami dan Anya Rompas sangatlah panas. Dua tahun lalu, GRWF mengundang Eka Kurniawan untuk membahas isu yang sama tapi dalam perspektif yang berbeda. 

Dari saat itu sebenarnya pertanyaan yang saya tanyakan itu sama, "Kenapa sih sastra Indonesia yang terkenal di ranah internasional memiliki ke khas-an yang sama?" Dan pertanyaan itu dijawab oleh diskusi Ayu Utami dan Anya Rompas. 

Anya Rompas memberikan perspektif baru perihal representasi sastra Indonesia di ranah Internasional. Representasi Sastra Indonesia belumlah menyeluruh dan timpang tindih antara satu dan lainnya. 

Atas hal itu, isu sastra Indonesia yang 'seksi' untuk audiens internasional adalah perihal kejadian kolonialisme, 1965, 1998, horor/mistis, serta seks.  Dan saya tidak bisa mengelak akan hal itu. 

Di lain sisi, saya juga amat sangat setuju dengan Ayu Utami perihal "Kenapa sih kita mau ngebawa sastra Indonesia ke luar negeri?". Untuk apa? memperkenalkan Indonesia? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun