Mohon tunggu...
Hesty Istiana
Hesty Istiana Mohon Tunggu... Penulis - -

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Untirta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Euforia "Mudik"

10 Juni 2019   11:03 Diperbarui: 10 Juni 2019   11:09 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tradisi mudik menjadi sangat fenomenal, hal ini terkait dengan politik pembangunan. Ternyata selama ini kota menjadi lumbung uang yang cukup menggiurkan, sedangkan desa-desa dibiarkan miskin dan tertinggal. Karenanya arus urbanisasi mengalir deras demi mendapatkan kehidupan yang layak. Kaum urban inilah yang kemudian rame-rame mudik lebaran. 

Mereka menjadikan hari lebaran sebagai musim mudik, karena hanya inilah moment yang tersedia, sebab di hari lain mereka sangat sibuk dengan pekerjaan -- pekerjaan mereka di kota. 

Selain itu alasan orang untuk melakukan mudik sangat bervariasi ada yang beralasan untuk melepas rindu kepada sanak-saudara, melepas kepenatan, menunjukkan kesuksesan di kota, mendidik anak dengan kehidupan desa, atau mungkin sekedar refreshing menghindar sebentar dari hiruk-pikuk kebisingan kota serta kecemaran udara oleh asap mesin dan debu.

Tradisi mudik memiliki keterkaitan erat mobilisasi penduduk (migrasi) dari desa ke kota yang karib disebut dengan istilah urbanisasi. Meski tulisan ini tidak untuk mendiskusikan tentang migrasi dalam kajian kependudukan di Indonesia namun dalam tradisi mudik ala Indonesia menyiratkan pesan kepada kita bahwa meski seseorang telah melakukan migrasi ke kota, mereka tidak ingin keluar dari tradisi dan identitas kultural "desa" yang mereka tinggalkan.

Anak-anak desa biasa dekat dengan alam sebagai tempat bermain. Kehidupan sosial desa yang tercipta dari struktur ekologis yang berbeda dengan kota juga memudahkan masing-masing orang untuk berinteraksi sehingga budaya guyuppun juga mudah ditemukan di pedesaan.

Mudik digunakan oleh masyarakat urban untuk bernostalgia tentang masa kecilnya di desa bersama para famili. Selain menjalankan ritual ziarah kubur dan acara selamatan, masyarakat urban menghabiskan waktu mudiknya untuk berkumpul dengan keluarga, silaturrahmi (ke handai tolan, guru, teman kecil), mengikuti kegiatan reuni sekolah dan mengunjugi tempat-tempat rekreasi.

Dalam kegiatan-kegiatan yang mewujud bak "ritual sosial" secara turun-temurun tiap tahun ini telah merekatkan identitas masyarakat urban dengan asal-usulnya sehingga identitas itu tetap menempel meski lama mendiami perkotaan. 

Kecintaan terhadap kampung halaman biasanya di ekspresikan oleh kaum urban dengan bahasa daerah sebagai alat komunikasi mereka sehari-hari khususnya dengan para perantau dari daerah yang sama.

Dalam interaksi sosialpun, nuansa primordial desa juga terbawa dan mewarnai kehidupan kaum urban seperti hadirnya perkampungan-perkampungan (di Ibu Kota terdapat perkampungan Jawa, kampung Madura, kampung Bali, Kampung Melayu, Kampung Bugis dan sebagainya).

Mudik juga kerap dijadikan media sosialisasi masyarakat urban kepada famili dan tetangganya tentang berbagai kemungkinan mengadu nasib di perkotaan berdasar pengalaman mereka masing-masing.

Wal hasil pasca mudik biasanya diikuti oleh mobilisasi masyarakat pedesaan khususnya yang tidak memiliki lahan pertanian untuk mengadu nasib di kota meski dengan pekerjaan yang terkadang tidak pasti dan mengundang resiko yang tidak sedikit.

Dalam ranah ini --meminjam istilah Sosiolog aliran fungsional- mudik mengandung "latent function" (baca: tujuan tersembunyi) berupa "propaganda" bahwa hidup di kota lebih "nyaman" dan bahagia ketimbang hidup di desa yang kini lahannya sudah banyak dimiliki orang kota.

Indikator bahagia ditampilkan dari performa masyarakat urban dari sisi fisik misalnya pulang kampung dengan menggunakan kendaraan (mobil maupun motor), kemampuan berbagi rizki (uang) dengan sanak famili dan beragam asesoris yang nempel di tubuh (perhiasan dan alat komunikasi).

Sementara mudik dapat dikatakan sebagai perilaku sosial, sekilas tampak sebagai sebuah euforia publik dalam mencapai keberhasilan ekonomi di perantauan. Sehingga pulang kampung menjadi pertanda bagi dirinya akan sebuah kesuksesan. Begitu pula halnya bagi penilaian masyarakat di kampung halaman, mereka yang pulang dari tanah rantau, cenderung dinilai sebagai seseorang yang sukses dalam mencari rezeki. Akan berbeda dengan sebaliknya, mereka yang tidak mudik atau tidak pulang ke kampung halaman di hari raya idul fitri akan dianggap gagal dalam merantau. Fenomena mudik sering dijadikan sebagai media untuk menunjukkan sukses di kota. Status sosial yang diperoleh perlu diketahui oleh sanak-keluarga. Maka mereka pun ikut mudik dengan kendaraan sendiri. Mereka datang dengan mobil pribadi, walau harus menyewa dari rental. Mereka rela mengeluarkan uang banyak untuk menyewa mobil demi prestis yang ingin didapat. Jadi inilah fenomena mudik, menjadi tidak sekedar beridul fitri, tetapi juga menjadi ajang pamer keberhasilan mereka mengais rejeki di tanah perantauan.

Maka ketika banyak masyarakat di hari raya idul fitri pulang ke kampung halamannya, sebenarya lebih sebagai bentuk upaya pencarian jati diri mereka yang sesungguhnya. Sebab ketika berada di kota-kota besar, eksistensi mereka sebagai seorang manusia tidak ubahnya seperti sekrup dalam mesin yang tidak diperhitungkan. Sementara di kampung halaman, mereka biasanya adalah orang-orang yang diperhitungkan, dibutuhkan, dan dimanusiakan layaknya bagian dari komunitas sosial tertentu.

Sebenarnya banyak sekali hambatan -- hambatan yang menghadang orang untuk melakukan mudik. Baik dari segi sosial maupun ekonomi. Dari segi sosial sendiri kebanyakan para parantau memikul beban yang sangat berat ketika mudik. 

Mereka dihadapkan pada tanggung jawab sosial kepada masyarakat kampungnya bahwa mereka harus menunjukkan kesuksesannya di perantauan dengan simbol -- simbol seperti pakaian neces, wangi, serta lenggak -- lenggok dan bahasa yang menunjukan superioritasnya di kampung, walaupun sebenarnya di kota mereka sebagai buruh, karyawan, pembantu rumah tangga, atau mungkin malah pengangguran. 

Selain itu tuntutan ekonomis juga menjadi hambatan mereka untuk mudik. Mereka dituntuk untuk membawa uang banyak agar bisa memberikannya kepada orang tua atau kerabatnya. 

Jika mereka tidak melakukan seperti itu mereka akan merasa malu dan dianggap tidak sukses di perantauan. Hal itulah yang mejadi hambatan, namun demikian tradisi mudik bukannya menurun tapi justru malah semakin fenomenal.

Dari hal itu sekali lagi saya katakan Idulfitri menjadi momentum bagi para perantau untuk unjuk gigi di daerah. Terkait hal ini, maka wajar jika idulfitri di daerah terasa lebih meriah. Bahkan, kemeriahan ini juga diikuti dengan peningkatan belanja konsumsi para perantau. Para perantau menjadi sangat konsumtif ketika berada di kampung halamannya.

Hal ini sebenarnya adalah potret ironis para perantau. Dimana ketika berada di kota mereka bekerja keras menghadapi kerasnya kota demi mencari uang untuk kelayakan hidupnya, tapi setelah pulang ke kampung mereka seakan sangat mudah untuk menghabiskannya. 

Perilaku konsumtif para perantau seakan menjadi kenikmatan tersendiri bagi mereka. Adapun alasan yang muncul yaitu karena perilaku konsumtif identik dengan simbol keberhasilan di perantauan. Dengan kata lain, jika perantau tidak menunjukkan perilaku konsumtif di daerah asal selama idulfitri maka mereka bisa diidentikkan sebagai perantau yang tidak sukses.

Itulah makna mudik. Dengan mudik, orang yang sudah kehilangan jati dirinya di tengah kota ingin menemukan kembali jati dirinya dengan cara menghirup kembali udara desa sambil mengenang masa lalunya di sana. Jika di kota ia hanya menjadi ibarat sebuah skrup dari mesin besar, maka di kampung ia dihargai sebagai manusia. 

Jika di kota ia diberi label sebagai buruh, karyawan, pembantu rumah tangga atau lainnya, maka di desa ia dipanggil sebagai anak, abang, atau adik. Jika di kota ia sering dihadapkan dengan wajah yang garang, suara gertakan, dan mungkin ancaman, maka di desa ia menemukan kedamaian, ketenangan, dan keramahtamahan. Pendek kata, para urban akan memperoleh arti kemanusiaan dan status sosial di desa melebihi yang didapatnya di kota.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun