Dalam ranah ini --meminjam istilah Sosiolog aliran fungsional- mudik mengandung "latent function" (baca: tujuan tersembunyi) berupa "propaganda" bahwa hidup di kota lebih "nyaman" dan bahagia ketimbang hidup di desa yang kini lahannya sudah banyak dimiliki orang kota.
Indikator bahagia ditampilkan dari performa masyarakat urban dari sisi fisik misalnya pulang kampung dengan menggunakan kendaraan (mobil maupun motor), kemampuan berbagi rizki (uang) dengan sanak famili dan beragam asesoris yang nempel di tubuh (perhiasan dan alat komunikasi).
Sementara mudik dapat dikatakan sebagai perilaku sosial, sekilas tampak sebagai sebuah euforia publik dalam mencapai keberhasilan ekonomi di perantauan. Sehingga pulang kampung menjadi pertanda bagi dirinya akan sebuah kesuksesan. Begitu pula halnya bagi penilaian masyarakat di kampung halaman, mereka yang pulang dari tanah rantau, cenderung dinilai sebagai seseorang yang sukses dalam mencari rezeki. Akan berbeda dengan sebaliknya, mereka yang tidak mudik atau tidak pulang ke kampung halaman di hari raya idul fitri akan dianggap gagal dalam merantau. Fenomena mudik sering dijadikan sebagai media untuk menunjukkan sukses di kota. Status sosial yang diperoleh perlu diketahui oleh sanak-keluarga. Maka mereka pun ikut mudik dengan kendaraan sendiri. Mereka datang dengan mobil pribadi, walau harus menyewa dari rental. Mereka rela mengeluarkan uang banyak untuk menyewa mobil demi prestis yang ingin didapat. Jadi inilah fenomena mudik, menjadi tidak sekedar beridul fitri, tetapi juga menjadi ajang pamer keberhasilan mereka mengais rejeki di tanah perantauan.
Maka ketika banyak masyarakat di hari raya idul fitri pulang ke kampung halamannya, sebenarya lebih sebagai bentuk upaya pencarian jati diri mereka yang sesungguhnya. Sebab ketika berada di kota-kota besar, eksistensi mereka sebagai seorang manusia tidak ubahnya seperti sekrup dalam mesin yang tidak diperhitungkan. Sementara di kampung halaman, mereka biasanya adalah orang-orang yang diperhitungkan, dibutuhkan, dan dimanusiakan layaknya bagian dari komunitas sosial tertentu.
Sebenarnya banyak sekali hambatan -- hambatan yang menghadang orang untuk melakukan mudik. Baik dari segi sosial maupun ekonomi. Dari segi sosial sendiri kebanyakan para parantau memikul beban yang sangat berat ketika mudik.Â
Mereka dihadapkan pada tanggung jawab sosial kepada masyarakat kampungnya bahwa mereka harus menunjukkan kesuksesannya di perantauan dengan simbol -- simbol seperti pakaian neces, wangi, serta lenggak -- lenggok dan bahasa yang menunjukan superioritasnya di kampung, walaupun sebenarnya di kota mereka sebagai buruh, karyawan, pembantu rumah tangga, atau mungkin malah pengangguran.Â
Selain itu tuntutan ekonomis juga menjadi hambatan mereka untuk mudik. Mereka dituntuk untuk membawa uang banyak agar bisa memberikannya kepada orang tua atau kerabatnya.Â
Jika mereka tidak melakukan seperti itu mereka akan merasa malu dan dianggap tidak sukses di perantauan. Hal itulah yang mejadi hambatan, namun demikian tradisi mudik bukannya menurun tapi justru malah semakin fenomenal.
Dari hal itu sekali lagi saya katakan Idulfitri menjadi momentum bagi para perantau untuk unjuk gigi di daerah. Terkait hal ini, maka wajar jika idulfitri di daerah terasa lebih meriah. Bahkan, kemeriahan ini juga diikuti dengan peningkatan belanja konsumsi para perantau. Para perantau menjadi sangat konsumtif ketika berada di kampung halamannya.
Hal ini sebenarnya adalah potret ironis para perantau. Dimana ketika berada di kota mereka bekerja keras menghadapi kerasnya kota demi mencari uang untuk kelayakan hidupnya, tapi setelah pulang ke kampung mereka seakan sangat mudah untuk menghabiskannya.Â
Perilaku konsumtif para perantau seakan menjadi kenikmatan tersendiri bagi mereka. Adapun alasan yang muncul yaitu karena perilaku konsumtif identik dengan simbol keberhasilan di perantauan. Dengan kata lain, jika perantau tidak menunjukkan perilaku konsumtif di daerah asal selama idulfitri maka mereka bisa diidentikkan sebagai perantau yang tidak sukses.