Lugano I (Suatu Sore Tanpamu di Tepian Karanggongso)
Gairah ombak yang membawa
Kulit lokan mengunjungi pantai
Mendebur pula di dalamku
Berpadu satu dengan nyanyian jiwa
Tak henti menggemakan namamu
Tentangmu yang selalu mampu
Menerobos semua sisi dimensiku
Tak bersama bukan berarti tak ada
Sore dengan bergelas kopi panas
Bawah pohon cemara dan bangku berlapis keramik
Tak ada batas untuk sebuah rasa
Yang selalu rela mencipta
Sebuah bayangan dalam diam.
Diamku adalah sebuah meditasi
Berusaha menyatu pada frekuensi jiwamu
Dan aku tak pernah ragu
Hingga malam pun tak mampu
Menggelapi jiwaku
Taukah kamu.......
Rasa terdalam yang utuh padamu
Mampu membawaku semakin lena
Tanpa waspada untuk terluka.
*****
Lugano II (Siang Berkabut di Tepian Karanggongso)
Mendung kelabu di atas langit Lugano
Memburamkan garis batas cakrawala
Dan tatapan matamu
Serupa ujung batu karang meruncing
Menyayat dan menusuk rasaku............
Yang terus mengalirkan darah dari luka amat dalam
Di titik ketika aku mengerti
Bahwa kita hanyalah bayangan mimpi
Dari kehangatan matahari yang telah beranjak pergi.
Perihku memburamkan mata
Telah kutulis sebisaku di atas hamparan pasir
Tentang sekian tanya atas semua yang kurasai
Adakah hati bisa dibohongi?
Ataukah pendar cahaya dari tatapan matamu
Berwaktu-waktu yang lampau
Bukan pancaran dari dalam jiwa ?
Jika memang " iya " adalah jawaban sesungguhnya
Bagaimana caraku memunguti mimpi
Yang telah terserak nelangsa di antara
Kulit-kulit lokan di tepian Karanggongso........
Lugano disapa hujan...........
Jemarinya dingin menyentuhiku
Perlahan menghapus jejak sekian tanya
Di atas hamparan pasir pantai
Merasakah jiwamu..........
Teramat menyesak ketika mesti berlalu
Sementara engkau berdiri  di depanku
Diammu menghentikan waktu.
*****
LUGANO 3
( Sore berikutnya di tepian Karanggongso )
Kulit lokan dan perahu biru
Lukisan gelombang pada pasir pantai
Adalah jejak tanpa jiwa
Menyimpan selaksa luka dengan setia.
Langkahku membekaskan sejuta cerita
Yang enggan memudar meski gelombang pasang
Menerpanya tanpa menenggang rasa
Dan engkau pengelana jiwa
Bersyair pada  jiwa jiwa yang mendamba
Mengapa pula aku masih tetap bertahan
Merangkai syair lama
Yang ternyata telah usang
Terpapar alur jentera masa.
*****
Catatan 29 November 2020.Â
16.20 WIB.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI