Kemarin saya mulai membaca buku yang dibeli 02 Juni bulan lalu. Yah, baru sempat membaca buku ini karena ada buku yang harus saya tuntaskan terlebih dahulu.
Saya baru membaca bab pertama buku ini. Namun, ada beberapa point yang ingin saya sampaikan pada pembaca sekalian.
Buku berjudul yang ditulis oleh Ahmad Rifa'i Rif'an ini, memberikan kesadaran kepada kita betapa pentingnya berbuat kebaikan.
Dalam buku tersebut, beliau menjelaskan untuk tetap melakukan kebaikan, sekecil apa pun kebaikan itu. Karena, jika kita menunda berbuat baik, maka kita tidak akan pernah melakukan kebaikan tersebut.
" . , ."
Terkadang kita urungkan niat baik itu hanya karena melihat siapa yang dibantu. Misalnya saat berada di perempatan lampu merah. Kita berjumpa dengan seorang peminta yang kebetulan dandanannya cukup rapi, terkadang peminta-minta ini mengenakan kaca mata.
Karena tampilannya yang bagus dan baik, niat untuk memberi Rp. 1000 pun diurungkan. Padahal mungkin, uang yang sedikit itu bisa membuat ia lebih bahagia dari sebelumnya, mungkin dengan seribu rupiah itu membuat ia rasa dihargai.
Seperti kisah seorang yang memberikan secangkir kopi kepada wanita cantik.
Kisah ini pun saya kutip dari buku . Seorang yang membeli kopi ingin membayar kopi pelanggan yang parkir di belakangnya. Namun, karena melihat pelanggan di belakangnya adalah wanita cantik, elegan, dan terlibat mewah, si pembeli kopi ini merasa tidak pantas membelikan untuk cewek tersebut. Karena, ia merasa, bagaimana mungkin saya membayar secangkir kopi untuk dia, sedangkan kopi milik sendiri saja, masih berat untuk dibayar.
Pembeli kopi ini merasa tidak pantas membayar kopi orang yang lebih mewah dari dirinya. Akan tetapi, perasaan itu dihilangkan. Dia tetap membayarkan secangkir kopi untuk wanita tersebut.
Lelaki itu pun merasa lega setelah melakukan kebaikan kepada perempuan itu.
Lantas apa yang terjadi dengan wanita itu setelah mendapat kopi gratis?
Wanita itu pun menghampiri si pembayar kopi itu dan mengucapkan terima kasih. Dia juga menceritakan kisahnya pada lelaki yang memberikan kopi gratis itu.
Dia bercerita tentang bisnisnya yang baru saja bangkrut dan juga ditinggal mati anaknya. Hal itu membuat wanita ini merasa tidak disayang oleh Tuhan, dia seraya menyalahkan Tuhan atas peristiwa yang ditimpa keluarganya.
Setelah ia mendapatkan kopi gratis itu ia merasa bahagia, ternyata saat sulit dalam hidupnya, masih ada orang yang peduli dengan dirinya dengan membelikan secangkir kopi untuk dinikmati.
Begitulah nilai sebuah kebaikan. Kita tidak perlu melihat siapa yang kita bantu. Karena, apa pun kebaikan yang kita lakukan pasti bermanfaat, baik untuk diri sendiri, terutama untuk orang lain.
Satu pesan lagi, yang bisa diambil setelah membaca awal bab buku ini. Bahwa ketika melakukan kebaikan, jangan pernah berharap kebaikan itu dibalas sama orang yang sama. Karena, mungkin saja Tuhan sedang mempersiapkan orang baik yang akan memberikan kebaikan pada diri kita juga.
Seperti pesan Omar Sulaiman:
"Ketika kamu memperlakukan orang dengan baik, orang-orang yang sama itu mungkin tidak memperlakukanmu dengan cara yang sama. Tetapi jika kamu memperhatikan, kamu akan melihat bahwa Allah telah mengirim orang lain yang memperlakukanmu dengan lebih baik. (Hidupmu Bermakna:11)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H