Banyak pendidik, termasuk saya, yang terjebak dengan target capaian pembelajaran yang keliru. Semata-mata hanya mengejar ketuntasan belajar dengan 'mengejar' materi pelajaran yang tercantum pada silabus tanpa memperhatikan kodrat alam pada anak. Murid ditempatkan sebagai bagian yang dibentuk oleh guru seperti apa yang diinginkannya. Dianggap sebagai kanvas kosong yang dapat dilukis sesuai keinginan pelukisnya. Tanpa sadar proses tuntunan menjadi tuntutan, sehingga saat capaian pembelajaran tidak terpenuhi, pendidik cenderung akan meletakkan kesalahan hanya pada murid.
Selama proses pembelajaran terkadang anak tidak dapat menemukan makna dari apa yang dipelajarinya. Hal ini karena tak jarang seorang guru hanya 'mengajarkan' rumus-rumus, teori-teori, yang anak tak tahu untuk apa semua itu dipelajarinya. Pembelajaran yang dilakukan tidak bersifat kontekstual, tidak didekatkan pada kultur sosial atau lingkungan murid sehingga yang didapatkan kemudian oleh anak hanya sekedar 'hafalan'. Saya pun melupakan bahwa kultur sosial budaya yang dikembangkan dari dahulu kala dapat menjadi wadah pembelajaran karakter dan bukan sekedar seremonial belaka. Dapat dijadikan sebagai bagian asesmen afektif anak didik kita.
Mencermati pemikiran KHD dan kemudian menerapkan dalam pembelajaran tentunya dibutuhkan metode pembelajaran yang berpihak pada murid. Menyenangkan dan mendorong murid untuk dapat secara optimal mengembangkan kemampuan bernalarnya dengan baik.
Salah satu pengalaman menarik yang saya dapatkan adalah saat menyampaikan materi Relativitas dalam pembelajaran Fisika. Materi yang selama ini saya anggap sebagai materi awang-awang, materi yang terdengar seperti kisah fiksi karena anak sulit menemukan maknanya. Karena itu, selama bertahun-tahun saya cenderung hanya memberikan teori dan rumus belaka, sekedar memenuhi capaian pembelajaran. Tak heran jika banyak anak didik yang merasa bosan dan sebagian justru tertidur di kelas. Hingga kemudian saya menemukan cara untuk membawa anak didik saya dalam satu pola diskusi yang menuntun mereka untuk berani bernalar. Saya mengajak mereka menonton cuplikan film Interstellar dan beberapa tayangan Youtube yang membahas sisi ilmiah film tersebut. Kemudian saya meminta mereka menyampaikan pendapatnya dengan memberikan pertanyaan pemantik terkait konsep Relativitas yang divisualkan dalam film tersebut, salah satunya adalah adegan yang menggambarkan tokoh utama menjadi "hantu" bagi anaknya karena berada dalam dimensi yang berbeda dan mengalami dilatasi waktu. Dimensi yang dalam teori Carl Sagan dalam bukunya, Cosmos, disebut sebagai dimensi ke-empat.
Tak ada anak yang mengantuk kali ini. Bahkan anak yang biasanya cenderung pasif berani mengemukakan apa yang ada di pikirannya meski dengan malu-malu dan ragu. Saya bahagia karena kali ini anak didik saya menemukan hal baru secara aktif, bahkan mengaitkan konsep pembelajaran yang membentuk karakter profil pelajar Pancasila, beriman dan bertaqwa.
Salam Guru Penggerak!
Hesti Dwi Utari
Calon Guru Penggerak Angkatan 10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H