Menjadi guru memiliki kewajiban tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik sudah saya yakini sejak lama. Dalam pemahaman saya selama ini, mengajar bermakna menyampaikan suatu materi pelajaran kepada anak, sedangkan mendidik bermakna membentuk suatu perilaku belajar anak baik secara kognitif, psikomotorik maupun afektif. Namun mempelajari pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara (KHD) lebih dalam terkait filosofi pendidikan membuat saya menyadari bahwa ada tahapan yang belum saya pahami dengan baik selama ini dalam mengajar dan mendidik. Berikut adalah catatan penting berisi refleksi atas pemahaman saya mempelajari modul 1.1. dalam program Pendidikan Guru Penggerak.
Dasar-Dasar Pendidikan Menurut Ki Hadjar Dewantara
KHD dalam tulisannya yang berjudul Dasar-Dasar Pendidikan menjelaskan bahwa pengajaran merupakan bagian dari pendidikan. Sedangkan pendidikan yang dimaksud adalah "menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat". Pendidikan adalah suatu tuntunan bukan tuntutan. Artinya, hidup tumbuhnya anak sesuai dengan kodratnya sendiri, dan di luar kehendak para pendidik.
Kodrat yang dimaksud di sini adalah kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan sifat, bakat, minat, dan bentuk lingkungan yang membentuk karakter pada diri anak. Sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan "isi" dan "irama" yang berubah dari waktu ke waktu. Untuk itu seorang guru hendaknya selalu menerapkan tiga semboyan pendidikan KHD. Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Guru harus dapat memberikan contoh, memberikan semangat, dan mendorong untuk mengembangkan potensi dirinya.
KHD menggambarkan proses pendidikan yang menuntun anak sesuai kodrat alam dan kodrat zaman seperti seorang petani yang merawat tanamannya. Jagung dirawat sebagaimana karakteristik tumbuhan tersebut, maka akan tumbuh dengan baik. Guru harus bertindak layaknya petani, yang merawat tanaman-tanaman tersebut dengan segenap hati, memupuknya, membesarkannya agar tumbuh maksimal. Tuntunan dalam pendidikan berhubungan dengan kodrat keadaan anak. Anak yang kodrat wataknya kurang baik apabila mendapat tuntunan secara baik maka dia akan berkembang menjadi manusia yang lebih baik. Anak yang kodrat wataknya baik pun tetap membutuhkan tuntunan agar tidak terpengaruh hal buruk di sekitarnya. Artinya, dengan tuntunan anak menjadi manusia beradab yang dapat menguasai diri. Beschaving is zelfbeheersching, adab itu berarti dapat menguasai diri.
Dalam convergentie-theorie dijelaskan bahwa seorang anak yang dilahirkan diibaratkan sehelai kertas yang sudah penuh terisi tulisan samar. Pendidikan berkewajiban menebalkan tulisan suram yang bersifat baik agar kelak menjadi budi pekerti yang baik. Sedangkan tulisan yang tidak baik dibiarkan atau dijaga agar tidak menjadi tebal.
Menurut convergentie-theorie watak manusia dibagi menjadi dua bagian, intelligible dan biologis. Bagian intelligible berkaitan dengan kecerdasan (intelektual) yang dapat berubah karena pengaruh pendidikan dan keadaan. Sedangkan bagian biologis adalah watak dasar hidup manusia yang tidak dapat berubah. Watak dasar ini seperti rasa takut, rasa malu, rasa marah, dan sebagainya, yang tetap akan ada dalam jiwa manusia. Watak-watak semacam ini tidak hilang tetapi dapat disamarkan dengan pengelolaan pikiran yang relevan dengan penguasaan kecerdasan emosi.
Pendidikan harus terus berkembang. Perkembangan dalam pendidikan ini harus memperhatikan tiga prinsip yang dikenal sebagai Asas Trikon. Asas ini meliputi, (1) Asas Kontinuitas, yang berarti pengembangan pendidikan dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan; (2) Asas Konvergensi, dimana pengembangan pendidikan dapat mengadaptasi budaya dari luar yang disesuaikan dengan kultur sosial budaya yang ada; (3) Asas Konsentris, pengembangan pendidikan tetap berdasarkan kepribadian atau karakteristik kita sendiri.
Implementasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara
Apakah saya sudah menjadi seorang pendidik yang menuntun dan bukan menuntut? Apakah saya sudah memahami dengan baik makna merdeka belajar dan menerapkannya dalam kelas secara optimal?
Banyak pendidik, termasuk saya, yang terjebak dengan target capaian pembelajaran yang keliru. Semata-mata hanya mengejar ketuntasan belajar dengan 'mengejar' materi pelajaran yang tercantum pada silabus tanpa memperhatikan kodrat alam pada anak. Murid ditempatkan sebagai bagian yang dibentuk oleh guru seperti apa yang diinginkannya. Dianggap sebagai kanvas kosong yang dapat dilukis sesuai keinginan pelukisnya. Tanpa sadar proses tuntunan menjadi tuntutan, sehingga saat capaian pembelajaran tidak terpenuhi, pendidik cenderung akan meletakkan kesalahan hanya pada murid.
Selama proses pembelajaran terkadang anak tidak dapat menemukan makna dari apa yang dipelajarinya. Hal ini karena tak jarang seorang guru hanya 'mengajarkan' rumus-rumus, teori-teori, yang anak tak tahu untuk apa semua itu dipelajarinya. Pembelajaran yang dilakukan tidak bersifat kontekstual, tidak didekatkan pada kultur sosial atau lingkungan murid sehingga yang didapatkan kemudian oleh anak hanya sekedar 'hafalan'. Saya pun melupakan bahwa kultur sosial budaya yang dikembangkan dari dahulu kala dapat menjadi wadah pembelajaran karakter dan bukan sekedar seremonial belaka. Dapat dijadikan sebagai bagian asesmen afektif anak didik kita.
Mencermati pemikiran KHD dan kemudian menerapkan dalam pembelajaran tentunya dibutuhkan metode pembelajaran yang berpihak pada murid. Menyenangkan dan mendorong murid untuk dapat secara optimal mengembangkan kemampuan bernalarnya dengan baik.
Salah satu pengalaman menarik yang saya dapatkan adalah saat menyampaikan materi Relativitas dalam pembelajaran Fisika. Materi yang selama ini saya anggap sebagai materi awang-awang, materi yang terdengar seperti kisah fiksi karena anak sulit menemukan maknanya. Karena itu, selama bertahun-tahun saya cenderung hanya memberikan teori dan rumus belaka, sekedar memenuhi capaian pembelajaran. Tak heran jika banyak anak didik yang merasa bosan dan sebagian justru tertidur di kelas. Hingga kemudian saya menemukan cara untuk membawa anak didik saya dalam satu pola diskusi yang menuntun mereka untuk berani bernalar. Saya mengajak mereka menonton cuplikan film Interstellar dan beberapa tayangan Youtube yang membahas sisi ilmiah film tersebut. Kemudian saya meminta mereka menyampaikan pendapatnya dengan memberikan pertanyaan pemantik terkait konsep Relativitas yang divisualkan dalam film tersebut, salah satunya adalah adegan yang menggambarkan tokoh utama menjadi "hantu" bagi anaknya karena berada dalam dimensi yang berbeda dan mengalami dilatasi waktu. Dimensi yang dalam teori Carl Sagan dalam bukunya, Cosmos, disebut sebagai dimensi ke-empat.
Tak ada anak yang mengantuk kali ini. Bahkan anak yang biasanya cenderung pasif berani mengemukakan apa yang ada di pikirannya meski dengan malu-malu dan ragu. Saya bahagia karena kali ini anak didik saya menemukan hal baru secara aktif, bahkan mengaitkan konsep pembelajaran yang membentuk karakter profil pelajar Pancasila, beriman dan bertaqwa.
Salam Guru Penggerak!
Hesti Dwi Utari
Calon Guru Penggerak Angkatan 10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H