"Jadi, Mbok." Rum menjawab singkat. Aryo kemarin menyanggupi untuk menemani Rum ke Jakarta, ke bandara Soetta. Sekalian Aryo ada wawancara kerja di sebuah perusahaan media ternama nasional.
"Rum, boleh Simbok tanya sesuatu?" Ruminah menoleh, menatap Simbok dengan wajah bingung. "Tanya apa, Mbok?" "Aryo itu apamu, Rum?" Pertanyaan pendek dan halus Simbok mengejutkan Ruminah. "Ha..hanya..teman, kok, Mbok..." Tergagap Rum menjawab. "Kalau temanmu di Amerika sana, yang kamu bilang sering menolongmu itu, apa cuma teman juga?" "John, maksud Simbok?" Simbok mengangguk, "Ya."
Ruminah menghela nafasnya, ia mencoba meraba-raba arah pembicaraan Simbok. "Dua-duanya Cuma teman, Mbok!"
Simbok tersenyum, memegang tangan Rum dengan kelembutan seorang ibu. "Nduk, kamu sudah semakin dewasa.
[caption id="" align="alignright" width="250" caption="from: to.gstatic.com"][/caption] Simbok percaya denganmu. Memang sudah waktunya, kamu mulai memikirkan sosok laki-laki dalam hidupmu. Tapi kalau boleh Simbok ngomong, pilihlah yang betul-betul tepat. Jangan salah pilih, Nduk. Carilah laki-laki yang welas asih, mau mengerti, mengayomi, mau menerima kamu dan keluargamu apa adanya, dan satu lagi, yang bisa menjadi imam dalam keluarga. Kamu paham, tho, Rum?" Ruminah hanya menunduk. Ia paham apa maksud Simbok, sangat paham bahkan. "Aku masih mengejar mimpiku, Mbok..."
***
Sepanjang perjalan ke Jakarta hingga ke Airport Ruminah tak banyak bicara. Hatinya masih galau. Hatinya masih belum ingin berpisah dengan Simbok yang teramat dikasihinya itu.
Aryo yang menemaninya selama perjalanan pun tak kuasa mengubah situasi. Ia mungkin memahami betul perasaan dan kedalaman hati Ruminah yang seakan tak mau diganggu. Saat ini mungkin yang ada dalam pikiran dan hati Ruminah hanyalah Simbok.
Dengan penuh kesabaran dan pengertian Aryo memberikan sapu tangan bersihnya tatkala melihat Ruminah terus meneteskan air mata. Dalam diam pun Aryo terlihat sangat bijaksana dan dewasa. Itulah yang berbeda antara Aryo dan John. Aryo terlihat lebih pendiam, bahkan mungkin sangat pendiam. Sedangkan John? Luar biasa cerewet. Apalagi kalau lagi menasehati Ruminah, suka lupa berhenti bicara.
Akhirnya tibalah mereka di Airport. Waktu sudah sangat mepet. Cepat-cepat Ruminah mempersiapkan boarding pass-nya dan bergegas masuk. "Terima kasih, Mas, sudah mengantarku. "Ucap Rum kepada Aryo yang dipanggilnya Mas, sebagaimana lazimnya orang Jawa memanggil orang yang lebih tua atau dituakan.
Aryo tersenyum hangat, dan menatapnya penuh arti. "Hati-hati, Rum..." Dijabatnya tangan Rum erat. "Aku pasti merindukamu, Rum!"