***
"Let's begin!" ujar dosen Filsafat tepat di depan ruang kelas yang sangat nyaman. Ruminah memusatkan konsentrasinya pada materi perkuliahan. Ditepisnya semua ganjalan hati yang masih saja menggelayut dalam otaknya. Ia perhatikan betul, kalimat demi kalimat yang disampaikan dosen Filsafatnya dengan komunikatif.
Harmony adalah topik pilihan sang dosen kali ini. Dan sebuah perumpamaan tentang sumpit sangat mengena di hati Ruminah. Bahwa sepasang sumpit harus setara. Kedua batang sumpit harus sama panjangnya dan sama besarnya. Menurut kelaziman, panjangnya 20 cm dan berbentuk segi empat pada bagian atas dan lingkaran agak tumpul pada bagian bawah dengan diameter 0,5 cm. Kalau tidak setara, sumpit susah digunakan.
Bukankah sumpit melambangkan harmoni dan keselarasan? Berbeda dengan sendok dan garpu, sumpit digunakan hanya dengan satu tangan. Satu batang diletakkan di lekuk ibu jari dan telunjuk, sedangkan yang lain dipegang seperti memegang pensil sedemikian rupa sehingga ujung kedua batang itu setara. Batang yang kedua digerakkan turun naik untuk menjepit makanan. Gerakan keduanya harus harmonis, selaras, kalau tidak akan mubazir menggunakannya.
Sumpit juga melambangkan kerja sama. Tidak mungkin sumpit bisa menjepit makanan bila salah satu di antaranya bertindak berlebihan, mendominasi atau mengabaikan yang lain. Kedua sumpit harus bersatu, bekerja sama, dan saling membantu. Seperti dirinya dan John yang tak segan saling membantu. Meski sebenanya di mata Ruminah, John yang jauh lebih banyak membantunya. Tapi dia merasa John selaras dengan filosofi sumpit itu. Mungkinkah ia dan John bisa terus 'selaras' seperti sumpit itu? Ataukah dengan Ario? (bersambung...)
Kisah sebelumnya :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H