Mohon tunggu...
Hesti Edityo
Hesti Edityo Mohon Tunggu... Administrasi - Guru

Seorang ibu dari 4 lelaki dan seorang guru Fisika yang menyukai sastra. hestidwie.wordpress.com | hesti-dwie.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[MPK] Daun Yang Terhempas

11 Juni 2011   12:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:37 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="461" caption="victoryaworld.com"][/caption]

Dedaunan gugur perlahan terlepas dari tangkai pepohonan. Melayang pasrah pada tiupan angin yang membawanya, sebelum dihempaskan ke pelukan bumi. Seperti aku yang harus menerima terhempas keangkuhan keluarga.

Masih terbayang begitu jelas, kata-kata yang diucapkan Pak Dhe sebagai orang tertua di keluarga besar. Bukan kata-kata yang sepantasnya keluar dari seseorang yang dianggap telah melalui segala rintangan waktu kehidupan.

Terbayang jelas pula raut wajah Azam yang hanya terdiam menerima caci maki dan hinaan. Tak ada balasan kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut pemuda itu, hingga ia berpamitan pulang. Hanya satu untaian kalimat yang terucap santun dari lelaki itu, "Maaf jika saya bukan orang yang diharapkan oleh keluarga ini, saya tak akan memaksa..."

Aku hanya bisa menangis pilu. Musnah sudah segala mimpi indah yang coba kurangkai. Lebur segala harapan yang coba kusandarkan. Sia-sia semuanya, hanya karena status sosial yang disandang Azam! Azam hanya seorang biasa yang sangat sederhana. Tak pantas menjadi bagian keluargaku, begitu yang terucap dari Pak Dhe. Ah, aku hanya bisa meratap, apakah pengkastaan adalah nilai mutlak kemuliaan manusia?

Sungguh aku tak mengerti. Jika status sosial dan materi yang menjadi patokan pantas tidaknya seseorang, oh, alangkah kerdilnya jiwa-jiwa ini. Inikah kemuliaan yang dimaksud keluargaku? Sosok yang diinginkan menjadi pendamping hidupnya?

Realistislah, hidup butuh materi!

Ya, tapi materi bukan segalanya! Azam bisa memberiku materi untuk hidup, meski tidak berlebih. Itu cukup bagiku ! Karena aku tahu, apa yang diberikan Azam berasal dari tangan dan keringatnya sendiri. Bukan dari memeras keringat orang lain. Bukan dari meminta dengan tengadah tangan tanpa malu.

Kau akan dihormati dengan status sosialmu yang tinggi, Shafa!

Mungkin ya, mungkin tidak. Banyak dari mereka yang terhormat justru berlaku tak hormat. Kehormatan semu! Kehormatan seperti inikah yang dibanggakan keluargaku?Jika seorang Azam yang sederhana jauh berlaku terhormat dari sekedar status sosial belaka!

Aku masih terus meratap. Meratapi kebutaan hati keluarga besarku yang tak mampu melihat kemuliaan diri seorang Azam. Andai saja mereka paham dengan hatiku. Andai saja mereka mengerti, aku jatuh cinta dengan keuletan pemuda itu. Aku jatuh cinta dengan penghormatan yang diberikan untukku. Aku jatuh cinta dengan ketundukan pemuda itu pada sang pemberi hidup. Aku jatuh cinta pada sosok yang jauh lebih mulia daripada yang dimuliakan keluargaku. Aku jatuh cinta dengan kesederhanaan cinta kami!

Aku hanya bisa menangis pilu, menangisi kebutaan hati keluargaku dan menangisi harapanku..... Azam!

*****

Jalan yang terbentang di depanku seakan tak berujung. Begitu panjang, seakan tak akan ada habisnya jika harus kutelusuri seumur hidup. Sejauh mata memandang, hanya terlihat bayang-bayang fatamorgana, refleksi panas kehidupan yang harus kujalani, berpendar di sepanjang jalan hidupku. Tak hanya itu. Tiba-tiba kabut turun menyelimuti bumi, gelap pekat menutup jalan hidupku. Kegelapan akan kemewahan hidup, telah menutup mata keluarga Shafa.

Hanya karena aku bukan bagian dari keluarga kaya raya, betapa mereka menyepelekan aku, meremehkan kesungguhanku. Tapi aku maklum, betapa budaya hedonis materialistis telah mencengkeram kuat kehidupan banyak orang di jaman sekarang ini. Kekhawatiran yang berlebihan akan masa depan kehidupan sang anak, telah menutup mata hati banyak orang. Seringkali manusia tak mau meyadari akan kekuasaan Tuhan, yang sepenuhnya mampu membolak-balikkan keadaan dalam waktu tak kurang dari sekedipan mata.

Kepongahan akan kekayaan yang dimilikinya saat ini, betapa telah melenakan keluarga Shafa, terutama Pak dhe-nya yang begitu tinggi menempatkan status sosial di atas segalanya!

Berkacalah Nak! Berkacalah! Lihat siapa dirimu itu!

Ya, sepenuhnya aku sadar akan siapa diriku saat ini. Aku bukan keturunan keluarga ningrat, juga bukan bagian dari keluarga yang kaya raya. Namun, salahkah jika aku mencintainya? Tak bolehkah aku mencintai Shafa, gadis yang juga mencintaiku apa adanya? Benarkah cinta hanya milik orang yang punya kelebihan harta?

Mau Kau beri makan apa anakku nanti, hah?

Memang, aku tak mampu berjanji. Namun aku meyakini, bahwa Tuhan tak akan menelantarkan makhluknya yang telah diciptakannya di bumi ini. Sejauh mau berusaha, aku yakin sepenuhnya bahwa aku tak akan kekurangan makan. Tak sadarkah mereka, bahwa cicak dan juga katak tak pernah kekurangan akal, demi menangkap mangsa berupa nyamuk yang terbang?

Sudahlah Zam. Tak usah kau banyak berharap!

Apa hak manusia sehingga berani melarang manusia yang lain untuk berharap? Sedangkan Tuhan, maha pemberi hidup memberikan kesempatan seluas-luasanya kepada setiap ummat-Nya untuk menggapai setiap harapannya? Seperti yang Tuhan janjikan, "Berdoalah kepadaku, niscaya akan Aku kabulkan." Tak sadarkah manusia ini akan kelemahannya?

Dan aku, Azam, dengan segenap kemampuan, akan tetap berusaha menggapai setiap harapanku. Kemiskinan yang sekarang ini harus kutanggung, bukanlah satu hambatan besar yang tak bisa kulewati. Dengan segenap keteguhan jiwa, akan kusibak kabut kegelapan yang menghantui kehidupan dan masa depanku. Akan kubuktikan bahwa, sikap mereka yang meremehkan  keluargaku yang kurang mampu dan bukan keturunan ningrat,  adalah hal yang sangat salah. Aku yakin, dengan seyakin-yakinnya, Allah bersama orang-orang yang berani berharap.

Jangan menangis, Shafa, dan aku berharap masih ada waktu yang tersisa untuk kita...

_____________________________________________________________________________________

Penulis : Hesti Edityo & Sailaga Rahadian (no. 208)

NB : Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun