[caption id="" align="aligncenter" width="350" caption="alienshift.com"] [/caption] "Perhatian-perhatian, para penumpang dengan nomor penerbangan K11 Malaysia Airline tujuan Kuala Lumpur dipersilakan memasuki ruangan tunggu!" sebuah suara lembut terdengar dari pengeras suara yang ada di seluruh pojok Bandara Soekarno Hatta itu. Mendengar suara itu, seketika ada semburat senyum tipis terlintas di wajah Ruminah yang sangat khas itu. Kegembiraan seorang gadis desa yang tak lama lagi akan menikmati hingar bingar negara super power. Negara yang selama ini hanya ada di impiannya semata.
Pesawat yang mereka tumpangi melakukan dua kali persinggahan, Kuala Lumpur dan Taipei. Untuk mencapai Bandara John F. Kennedy New York memakan waktu tidak kurang dari 23 jam. Perjalanan yang sungguh amat panjang dan tidak pernah dilakukan seorang gadis desa seperti Ruminah.
"Aduh, kakiku pegel-pegel, Bu." keluhnya pada Mbak Indah.
Mbak Indah yang sedang asyik dengan majalah Vogue seakan tak mendengar. Matanya terus asyik memelototi majalah yang memang disediakan Malaysia Airlines itu.
Tak berapa lama kemudian, kota Manhattan di bawah sana sudah terlihat. Kerlap-kerlip cahaya lampu yang luar biasa banyaknya membuat Ruminah terpana. Takjub. Hatinya berdebar mengingat sebentar lagi kakinya akan menginjak negeri yang selama ini hanya dilihat lewat film-film. Akhirnya suara dari pengeras suara kembali terdengar "Attention, attention. Ladies and gentleman please fasten your seat belts! In a few minutes we are going to reach our destination." Lima menit kemudian Malaysia Airline mendarat dengan selamat.
Koridor panjang di salah satu bandara tersibuk di Amerika membuat Ruminah bingung. John F Kennedy Airpot yang besarnya mungkin tiga kali besarnya Bandara Soekarno Hatta itu menimbulkan rasa was-was dan cemas. "Rum, jangan jauh-jauh dari saya!" ujar Mbak Indah. "Waduh, mana berani saya jalan terpisah bu. Padat banget nih. Asing banget lagi!" keluh Ruminah. Takut benar jika terpisah dan tersesat.
"Excuse me?" seorang pemuda tinggi tegap memotong jalan Ruminah yang hampir saja terjatuh dibuatnya. Semua orang terlihat berjalan dengan cepatnya. Tergesa-gesa. Terburu-buru. Itulah hectic dan busynya New York City. Time is money.
"Taxi, mam?" seorang sopir taxi yellow cab menawarkan jasanya.
***
Apartement bernomor 67 Sunrise drive, tepat sebelah kanan crossing road, Woodbridge Avenue di kota Edison New Jersey adalah tempat di mana mereka akan tinggal selama di Amerika. Tempat ini diberikan oleh perusahan tempat suami Mbak Indah bekerja. Sangat strategis. Selain dikelilingi pusat-pusat perbelanjaan semacam Menlo Mall, Woodbridge Mall, Â Edison Town Square yang sementara sedang dibangun, juga dilalui berbagai jalan utama seperti Rt.1, Garden State Parkway , NJ Turnpike, Interstate 287 dan beberapa jalan utama lainnya.
"Alhamdulillah, akhirnya sampai sudah kita dengan selamat!" ucap Ruminah dengan penuh syukur sembari mengatur semua barang-barang bawaan yang luar biasa banyak itu.
Bulan pertama di Amerika berjalan dengan penuh tantangan bagi Ruminah. Pengenalan lingkungan sekitar, penguasaan jalan-jalan utama, upaya memperlancar bahasa Inggris dan seabrek-abrek kegiatan adaptasi lainnya. Belum lagi kewajibannya mengasuh dan menjaga Vio. Semuanya itu dijalani Ruminah dengan penuh rasa syukur. Mbak Indah sendiri sudah memulai studi S2-nya dan suaminya juga jarang di rumah, maklum ia termasuk jajaran managerial di perusahaan barunya itu. Sehingga tak jarang hari-hari Ruminah dijalani sendiri hanya dengan si kecil Vio.
"Hi, what's up?" Sebuah suara berat itu menggelegar bagaikan petir yang menyambar tepat di telinga Ruminah. Sambil terlonjak dari duduknya, Ruminah seketika berdiri dan menatap tajam. Ada perasaan takut di wajahnya. Ia melihat sosok pemuda bule yang tepat berdiri di depan teras. Perlahan Ruminah berusaha menenangkan diri.
"Yes, I'm doing fine...who are you mister?" ucap Ruminah sediki tergagap, ragu.
"Please don't call me mister!  I'm John your neighbour up stairs..." Anak muda itu menimpali sambil menunjuk-nunjuk keatas. Rupanya John adalah tetangga yang tinggal di lantai dua apartemen itu. Model apartemen di seputaran kota Edison rata-rata saling berdempetan dan tanpa pagar pembatas. Ciri khas downtown.
"Where you came from? I mean your nationality?"Â Entah sekedar berbasa-basi atau tidak pemuda tampan itu mencoba menjalin percangkapan lebih lama dengan Ruminah.
"Oh, I'm from Indonesia." Masih dengan sedikit ragu Ruminah menjawab pertanyaan John.
"Oh, wow, I know Indonesia...I know Bali as well!" Panjang lebar John menceritakan bahwa ia sudah 3 kali mengunjungi Indonesia. Tepatnya Bali. John juga bercerita tentang masakan-masakan Indonesia yang bercita rasa pedas, yang menurut John memiliki sensasi tersendiri.
Ruminah mengangguk-angguk dan  tersenyum renyah. Sepertinya John tipe orang yang ramah. "Yeah...you're very good mister if you love Indonesia. Because my country is so great!" seru Ruminah. Percakapan diantara mereka berdua pun semakin akrab.
Kembali John menegur, "Come on....I said stop calling me "mister", I'm John, remember?"
Dengan senyum tipis Ruminah membalas "Oh OK, sorry mister...Oops, I mean John!"
Ruminah senang, ia sudah punya teman pertama di Amerika. Yang bisa diajak ngobrol dan tahu banyak tentang Indonesia. Hari-hari yang biasanya hanya diwarnai dengan kegiatan beres-beres rumah, memasak dan mengasuh Vio, kini sedikit  berbeda semenjak mengenal John.
***
Enam bulan pertama telah berlalu. Pergaulan Ruminah semakin luas. Temannya pun semakin banyak. Ia masih tetap sibuk dengan pekerjaannya membantu Mbak Indah, mengasuh Vio.
Sore itu, Vio yang kelelahan karena terus bermain sepanjang hari terlelap dalam tidur. Tak ada lagi pekerjaan yang harus dilakukan Ruminah. Gadis itu akhirnya memutuskan  membaca novel karya Sidney Sheldon berjudul Butir-Butir Pasir di Laut. Novel bagus milik Mbak Indah ini menceritakan tentang seorang gadis muda bernama Lara Cameron. Gadis yang memiliki mimpi yang sangat tinggi. Dengan susah payah, dengan tekad bulat dan kerja keras, serta dengan keyakinan yang dimilikinya, ia berhasil meraih mimpinya. Lara berhasil mendirikan Lara Cameron Enterprise yang menguasai Chicago dan kemudian menggurita di Ney York City. Wanita sukses yang tiada bandingannya.  Wanita kelas dunia yang pernah mengais rejeki di emperan toko. Wanita yang kemudian mencampuradukan mimpi dan keringatnya menjadi adonan manis kesuksesaannya. Sukses menapaki satu demi satu tangga keberhasilan. Namanya ditorehkan dengan tinta emas, sebagai wanita bisnis bertangan besi yang mampu menerjemahkan mimpinya menjadi nyata. Gedung-gedung sky scraper di New York adalah bukti cemerlangnya seorang Lara.
Tanpa sadar Ruminah membanding-bandingkan dirinya dengan Lara. Karakter Lara mengingatkan Ruminah pada mimpinya. Mimpi yang masih kuat terpatri di lubuk hati. Ia terinspirasi dengan semangat baja Lara yang berjuang dari titik nadir kehidupan. Menyemaikan mimpi sebagai suatu tujuan yang sukses diraih di kemudian hari. Sudut hati Ruminah hanya bisa berkata, ia yakin suatu ketika nanti bisa mewujudkan mimpinya meski entah darimana ia harus melangkah. Ruminah yakin mimpinya akan terwujud dari sini. Hanya soal waktu, ya waktu!
"Rum, kok sedari tadi saya lihat kamu melamun aja. Ada apa Rum? Apa yang kamu pikirkan? Rindu kampung halaman yah?" Mbak Indah tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu, menghujani Ruminah dengan rentetan pertanyaan.
"Eh, Oh ...nggak kok bu.Ibu tumben sudah pulang?" Ruminah sedikit terkejut dan salah tingkah karena malu.
Mbak Indah tersenyum tipis, "Iya. Ibu tadi dari New York University, Rum."
"Lho, bukannya Ibu kuliah di Princenton University? Atau ada acara di sana, Bu?."
Mbak Indah tertawa kecil, "Ibu kesana buat ambil hasil permohonan scholarship, atau yang kau kenal dengan sebutan bea siswa."
Kening Ruminah mengerenyit. "Oh, jadi Ibu mau ngambil kuliah lagi di University of New York toh? " Ruminah ingat, Santi putri Bu Lurah juga mengambil kuliah di dua tempat sekaligus, UGM dan UII. "Wah, Rum ikut senang, Bu. Tapi apa nggak repot ambil dua kuliah seperti itu?"
"Lho, siapa yang mau ambil dua kuliah? Beasiswa itu untuk kamu Rum! Saya sengaja minta ijazahmu tempo hari karena nilai-nilaimu bagus. Alangkah baiknya kalau kamu meneruskan kuliahmu kan? Masak sih mau jadi baby sitter terus menerus. Kau kan bisa membagi waktumu dengan mengambil kelas sore. Kita gantian jaga si Vio!" papar Mbak Linda, membuat Ruminah terkejut mendengarnya.
"Ibu? Rum nggak salah dengar, kan?" terbata Ruminah bertanya. Ia mencubit lengannya sendiri, sakit! Ini bukan mimpi!
Mbak Indah mengangguk, "Iya, Rum. Kamu nggak salah dengar. Sebenarnya permohonan itu sudah Ibu ajukan sejak 3 bulan lalu. Diproses selama 3 bulan, hasilnya baru keluar hari ini. Maaf, ya, Rum, kalau Ibu nggak pernah cerita sebelumnya. Ibu hanya ingin kamu punya bekal yang lebih baik, Rum. Pak Karjo sering cerita ke Ibu, kalau kamu selalu juara kelas dari SD dan ingin sekali melanjutkan kuliah. Ibu lihat, kamu orang yang ulet, jadi Ibu yakin kamu bisa."
Ruminah terdiam. Bulir bening muncul di sudut-sudut matanya. Baru beberapa menit lalu, kisah Lara Cameron menginspirasi dirinya. Siapa sangka, jalan meraih mimpi itu kini ada di hadapannya? Ah, gusti Allah memang welas asih!
"Tahu nggak, Rum, siapa yang bantu Ibu mengurus berkas-berkas scholarshipkamu?"
"Bapak yah?" Ruminah menggeleng dan balik bertanya.
"Oooh bukan,bukan. Mana sempat Bapak mengurus ini itu kesana kemari. Tuh,si John tetangga kita itu yang bantu semuanya." Mbak Indah tersenyum menggoda Ruminah.
Ruminah jadi tersipu malu, "Oh, kok bisa-bisanya yah dia mau bantu saya?"
"Bukan cuma itu saja. John juga kuliah di situ udah semester tiga sekarang. Nah, dia mau ajak kamu bareng ntar kalau jam kuliahnya sama. Selebihnya, ia juga bersedia antar jemput kamu ke train station terdekat." Masih dengan nada menggoda Mbak Linda melanjutkan "Sepertinya ia perhatian banget sama kamu, Rum... "
Wajah Ruminah memerah, "Ah, Ibu! Terima kasih, Bu, mimpi Rum akhirnya terwujud!" Ruminah mencium tangan Mbak Indah penuh dengan rasa hormat.
Bulir-bulir bening di sudut mata Ruminah mulai mengalir jatuh. Ingin sekali Ruminah memeluk Simbok dan bersujud di kakinya sekarang. Rasa rindu yang membuncah dan rasa bahagia atas rahmat yang diterimanya membuat perasaan Ruminah bercampur baur. Seandainya Simbok bisa melihatnya, Ruminah yakin, Simboknya pasti sangat bahagia.
Gurat-gurat wajah Simbok yang menua seakan hadir begitu jelas di pelupuk mata Ruminah. Ia hanya berbisik dalam hati, "Aku bisa kuliah, Mbok!"
***
_____________________________________________________________________________________
Penulis : Michael Sendow & Hesti Edityo (no. 23)
NB : Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini :Â Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H