3.Tumpang Tindih Kepemilikan:
Hukum positivis tidak mengakui kepemilikan sosial yang kuat di kalangan masyarakat adat, yang menyebabkan konflik meskipun secara hukum HGU dianggap valid.
4.Persoalan Keadilan:
Hukum positivisme sering di kritik karena mengabaikan keadilan sosial. Proses hukum yang benar tetap dapat menghasilkan ketidakpuasan jika hak-hak masyarakat tidak diakui.
5.Kesimpulan:
Hukum yang sah secara formal tidak selalu menciptakan keadilan. Solusi untuk konflik di Pulau Rempang memerlukan integrasi antara hukum positif dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat untuk mencapai keadilan yang lebih inklusif.
Argumen tentang Mahzab Hukum Positivisme dalam hukum di Indonesia
Mazhab hukum positivisme memiliki pengaruh signifikan dalam perkembangan dan penerapan hukum di Indonesia. Positivisme menekankan bahwa hukum adalah produk dari otoritas yang sah, yang tercermin dalam sistem hukum Indonesia yang diatur oleh undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif. Hal ini memberikan kepastian hukum, dengan adanya kitab undang-undang sebagai rujukan utama yang memudahkan masyarakat memahami hak dan kewajiban mereka. Selain itu, positivisme memisahkan hukum dari nilai-nilai moral, memungkinkan penerapan hukum secara objektif meskipun terkadang menimbulkan kritik terkait kurangnya perhatian terhadap keadilan sosial. Hukum positivis juga memungkinkan adanya perubahan dan reformasi hukum sesuai dengan perkembangan masyarakat, seperti pengesahan undang-undang baru yang mencerminkan perubahan sosial dan teknologi. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam mengintegrasikan hukum adat dan menjaga keadilan sosial, menunjukkan bahwa meskipun hukum positif memiliki kekuatan, penting untuk mengakui nilai-nilai lokal agar dapat mencapai keadilan yang lebih holistik di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H