Menjalani peran sebagai guru dengan jam terbang yang lama atau sebentar, rasanya hampir semua orang terutama yang seprofesi sependapat bahwa bukan hal mudah menghadapi banyak siswa dengan karakter dan pribadi yang beragam.
Maka bukan menjadi rahasia umum dari sekian banyak siswa, biasanya guru akan lebih mudah mengenal dan mengingat siswa yang pandai, berbakat, unik atau memiliki kekhasan tersendiri, kreatif, rajin, berprestasi, menjadi andalan dalam beragam kompetisi, dan tak ketinggalan pula siswa yang dikenal dan diingat dari jalur ‘bermasalah’. ‘Bermasalah’ di sini dapat berupa tindakan kurang disiplin dalam menaati tata tertib sekolah yang bahkan pada level tertentu, sampai pihak sekolah harus mengirimkan ‘surat cinta’ kepada orang tua atau wali karena yang bersangkutan dirasa perlu mendapatkan bimbingan konseling. Namun, tentu tidak ada siswa yang ingin diingat dan dikenang dengan cara terakhir tadi, bukan?
Kalau tak ada api, masakan ada asap. Demikian sebuah peribahasa yang bermakna barang sesuatu yang terjadi mestilah ada sebabnya. Pun demikian adanya dengan kata ‘bermasalah’ di atas. Rasanya akan lebih tepat jika terlebih dahulu mengidentifikasi penyebab atau latar belakang siswa melakukan hal-hal yang terkesan negatif dan memberi efek kerugian bagi diri sendiri bahkan orang lain. Berikut hal-hal yang perlu menjadi perhatian:
1. Faktor Keluarga
Di antara guru, pasti pernah menemukan fakta bahwa di kalangan siswa, ada yang merasa keberadaannya di rumah seolah terabaikan. Selain itu, ada saja siswa yang merasa tertekan baik karena ekspektasi orang tua yang terlalu tinggi, kerap dibanding-bandingkan dengan pencapaian saudara atau teman, dan merasa kurang perhatian baik dari segi materi maupun non materi.
Hal-hal tadi dapat menjadi potensi siswa melampiaskan kekesalan, kesepian, kekecewaan, ketidakadilan, atau keterpurukan dengan merisak temannya yang mengakibatkan ketidaknyamanan dan kekhawatiran orang-orang sekitarnya.
2. Faktor Pergaulan
Pergaulan menjadi faktor penting karena dinilai cukup memengaruhi perilaku siswa khususnya di sekolah. Selain itu, lingkungan pergaulan yang kurang sehat juga dapat memengaruhi pola pikir mereka. Siswa yang saat di luar sekolah bergaul dengan orang-orang yang lebih dewasa dari usianya, yang putus pendidikannya, biasanya akan memandang pendidikan bukan sebagai bagian dari prioritas kehidupan sehingga dapat memengaruhi keaktifan, fokus, dan kualitas belajar siswa baik di sekolah maupun di rumah.
3. Perkembangan Sosial Emosional yang Belum Stabil
Masa-masa remaja biasanya identik dengan pencarian jati diri sehingga siswa masih berada dalam tahap mempertanyakan siapa dirinya, akan jadi seperti apa ketika mereka dewasa, penasaran dengan banyak hal sehingga ingin mencoba sesuatu yang baru dan menarik minatnya, ingin terlihat menonjol sebagai bukti eksistensi diri, mulai memunculkan sisi-sisi pemberontakan, dan lain sebagainya.
Di tahap ini, umumnya mereka belum sepenuhnya memahami bentuk tanggung jawab dan konsekuensi dari sesuatu hal yang ia lakukan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Dalam implementasi Kurikulum Merdeka, penting bagi guru membuat asesmen awal pembelajaran di antaranya asesmen diagnostik non kognitif. Asesmen jenis ini berfungsi sebagai media pencari informasi tentang profil siswa mulai dari karakter, suasana lingkungan rumah dan lingkungan sekitar, kondisi sosial, ekonomi dan emosi, serta hal-hal lain yang dibutuhkan guru dalam menggali informasi siswa secara lebih detail. Informasi-informasi yang terkumpul dapat digunakan sebagai bahan monitor, kontrol, dan evaluasi siswa dari segi karakter dan perkembangan proses belajarnya.
Sebagai contoh, jika seorang siswa terlibat masalah tertentu di sekolah, hal bijak yang patut dilakukan pertama kali adalah mengonfirmasi alasan atau latar belakangnya terlibat masalah tersebut. Jangan-jangan ada korelasinya dengan data yang terkumpul dari asesmen diagnostik non kognitif. Bahkan hasil asesmen bisa dimanfaatkan untuk membantu memperbaiki keadaan atau justru memudahkan mencari solusi dari masalah yang dialami siswa tersebut.
Berikut langkah yang yang bisa menjadi referensi bagi guru dalam menghadapi siswa yang terlibat masalah:
1. Bicarakan empat mata, lalu minta ia menceritakan kronologi terjadinya masalah. Meski  berat dan tentu memerlukan waktu yang tidak sebentar, tak ada salahnya menyediakan ruang dengar yang apik dan mengesampingkan sejenak untuk terburu-buru menghakimi sehingga ia merasakan kenyamanan untuk bersikap jujur. Seandainya ada masalah dengan pihak lain yang turut terlibat sebagai korban, temui secara terpisah. Coba dengarkan kisah mereka dari sudut pandang berbeda.
Pada tahap ini, mendapatkan kejujuran dalam menceritakan kronologi dan alasan sudah dapat dinilai lebih dari cukup dalam membantu mengumpulkan informasi awal sebab musabab terjadinya sebuah masalah.
2. Setelah sesi dengar selesai, ajak ia merefleksikan diri apakah perbuatannya benar atau salah. Beri pemahaman bahwa ada konsekuensi yang harus bisa dipertanggungjawabkan sehingga timbul dari hati nuraninya kesadaran untuk mengakui kekhilafan.
3. Lakukan pendekatan persuasif dan edukatif. Ajak siswa menjadi sosok yang lebih baik. Ajakan ini dapat melalui nasihat, motivasi, maupun perbuatan. Misal, guru dapat melibatkannya secara langsung untuk  menjadi ‘asisten’ dalam kegiatan belajar mengajar, atau melibatkannya sebagai ‘agen’ dalam kegiatan seperti Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), kegiatan kebersihan, kegiatan keagamaan, dan kegiatan sekolah lainnya.
Dengan demikian, diharapkan secara perlahan, ia merasa keberadaannya diakui, sisi kebaikannya terlihat, merasa dipercaya, dan membentuk karakter yang bertanggung jawab tidak hanya kepada diri sendiri, tetapi juga kepada orang lain. Jangan lupa untuk memberi apresiasi dalam setiap perkembangan yang ia tunjukkan.
4. Sentuhan akhir dari proses di atas ialah mendoakannya agar menjadi pribadi yang lebih baik. Mohonkan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk membuka, melembutkan hatinya, dan memudahkan setiap proses perkembangan sosial emosional ke arah yang lebih baik di masa mendatang sehingga proses belajarnya tuntas dengan baik di sekolah sebagai bekal hidup di lingkungan masyarakat yang lebih luas dan kompleks.
Demikian beberapa hal yang dapat dijadikan referensi bagaimana cara menghadapi siswa yang bermasalah. Percayalah bahwa dalam proses belajar manusia, tidak ada yang ingin mendapat citra buruk di mata orang lain. Dalam hal ini, siswa yang menunjukkan perilaku-perilaku negatif, tujuan hidup dan belajarnya mereka belum terarah. Mereka belum sepenuhnya mengerti arti tanggung jawab dan konsekuensi perbuatan serta pentingnya memanusiakan manusia dengan baik.
Untuk itu, peran guru sebagai sahabat siswa juga penting agar mereka bisa terbuka, nyaman, dan aman berada di sekitar kita untuk menjadi sosok yang tidak hanya memfasilitasi kebutuhan belajar secara akademik belaka, namun juga kebutuhan perkembangan sosial emosional mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H