(Jakarta, 19 April 2024 – 23.41 WIB)
Waktu berjalan sesuai tabiatnya. Kini, saya mulai berhitung dan akhirnya tiba pada hari ke-24 berada di Jakarta.
Sejak akhir Maret yang lalu, saya memulai petualangan yang baru dengan bertandang ke Jakarta atas panggilan pekerjaan.
Saya tidak menduga bahwa dinamika kehidupan di sini sungguhlah mempesona, ada banyak pelajaran mengenai kedisiplinan, keberanian, kepekaan diri, dan ketangguhan.
Tidaklah asing ditelinga, ketika ada yang berkata “Jakarta itu keras banget. Kamu harus bisa survive, kalau enggak kamu akan terlindas habis oleh orang lain yang bekerja keras.” Seminggu pertama, saya masih merasa bahwa kalimat itu hanyalah afirmasi positif yang berikan sebagai kekuatan semata. Namun di minggu ketiga, saya lalu menyadari bahwa betapa menaklukan Jakarta adalah sebuah prestasi dalam hidup.
Sebagai seorang penikmat hidup yang santai (slow living), saya merasa bahwa hidup di Jakarta adalah sebuah pilihan untuk bunuh diri.
Rasa-rasanya Jakarta terlalu jauh dari ritme yang pelan, santai, tidak terburu-buru, hening, teduh, dan ramah. Kesemuanya itu adalah realitas yang saya jumpai setiap hari selama berada di sini.
Awalnya saya merasa ragu dengan kesanggupan diri sendiri, namun seiring waktu berjalan, kini saya merapalkan doa dalam hati ‘semoga kelak masih berkesempatan tinggal di Jakarta lagi.’
Semua manusia harus beradaptasi
Irama Jakarta yang serba cepat, penuh perhitungan akan waktu, dan tingginya tuntutan untuk terus bergerak, pada awalnya menjadi sebuah kekhawatiran dalam hati saya.