Di dalam salah satu seri Podcast-nya, Professor Rhenald Kasali berbagi perspektif mengenai nilai dan pesan yang diperolehnya selepas menonton film Ngeri-Ngeri Sedap. Saya tidak mengingat secara lengkap penjelasan Prof Rhenald, namun salah satu pesan yang dikemukakan oleh beliau, kini menjadi sangat melekat dan relevan dengan kehidupan saya. Kira-kira begini katanya:
"Jika setiap orangtua menginginkan anak-anaknya menjadi mandiri dan berhasil, maka bersiaplah untuk rumahnya menjadi seperti sarang Elang. Namun, jika orangtua menginginkan anaknya untuk tidak jauh darinya, maka cukuplah untuk memanjakan mereka, maka bersiaplah untuk rumahnya menjadi sarang kepompong." (Prof Rhenal Kasali)
Ketika mendengar kalimat di atas, saya lalu teringat dengan buku "Strawberry Generation" karya beliau. Melalui buku itu, sebenarnya kita dapat mengerti makna dibalik penjelasan di atas. Ada sebuah kritik yang keras dan halus terhadap pengasuhan orangtua modern, sehingga tak heran semakin kesini persoalan yang dihadapi oleh generasi muda (anak-anak, remaja, pemuda) menjadi semakin pelik dan beragam.
MENJADI KEPOMPONG
Sewaktu Sekolah Dasar (SD) dulu, saya teringat akan pelajaran mengenai metamorfosis hewan. Secara umum -sejauh saya mengingatnya, terdapat dua jenis metamorfosis; ada yang disebut metamorfosis sempurna dan tidak sempurna. Kupu-kupu dan katak merupakan dua jenis serangga yang termasuk dalam proses metamorfosis sempurna. Jika dilihat melalu penjelasan sains, maka tentu hal ini sungguh mengagumkan. Namun, ada kritik dalam pandangan Prof Rhenald Kasali mengenai 'menjadi kepompong'.
Menurut Prof Rhenald, kepompong adalah sebuah dinamika kehidupan yang tidak ideal, meskipun proses metamorfosisnya sempurna, namun tidak berdampak baik bagi kehidupan. Hal ini tentunya sejalan dengan fakta bahwa kepompong akan menghabiskan waktu yang cukup panjang di dalam sarangnya yang hangat dan aman itu, selepas itu sang kepompong akan keluar sebagai seekor kupu-kupu cantik yang menawan hati.
Di tengah realitas dunia modern yang semakin mengeluk-elukan keindahan rupa, maka anak-anak akan memilih menjadi Kupu-kupu daripada seekor Singa. Karena bagi mereka, kupu-kupu jauh lebih cantik dan bersayap ringan, daripada menjadi singa yang menakutkan dan sering berkelahi dengan musuhnya di alam liar.
Bagi Prof Rhenald Kasali, pandangan yang demikian sejatinya lahir dari pemikiran anak-anak Mami (sebutan bagi anak-anak yang manja) yang sukar diperhadapkan dengan tantangan, kesulitan, dan penderitaan. Akhirnya, mereka kerap beranggapan bahwa sesuatu yang ideal, baik, hebat, berkualitas tinggi adalah hal-hal yang indah, 'yang penting bagus, yang penting cantik.' Kesadaran semacam ini tanpa disadari telah membentuk anak-anak, bahkan seorang dewasa untuk menjadi tidak kritis dalam menilai, menelaah, hingga menetapkan pilihan mengenai apa saja.
Saya jadi ingat percakapan Okky Madasari di Rumah Perubahan, dia menjelaskan secara gamblang bagaimana generasi muda masa kini (Gen Z, Gen Alpha) cenderung hanya tertarik pada hal-hal yang indah; apalagi hal itu gemoy.
Apabila seseorang memilih untuk menjadi kepompong, maka pada prinsipnya orang tersebut telah menentukan pilihan yang tidak mendewasakannya. Mengapa? Karena kepompong akan masuk kedalam sarungnya yang hangat dan nyaman, lalu kemudian dalam waktu yang panjang akan menjadi seekor kupu-kupu cantik, namun hidupnya hanya bertahan 30 hari.
Jika demikian adanya, maka sia-sialah kita bertumbuh dan menjadi manusia. Oleh karena kita lebih memilih hal-hal yang mudah dan berumur pendek -eksistensi yang sementara, daripada menjadi yang bertahan lama dan mampu melawan badai yang dahsyat.
MENJADI ELANG
Tidak semua orang selalu menyukai ketinggian, bahkan dalam penelitian psikologis pun terdapat kondisi di mana seseorang memiliki ketakutan atau fobia terhadap ketinggian -disebut sebagai akrofobia. Jika hal ini terjadi, maka seseorang akan menolak untuk melakukan perjalanan yang menyenangkan seperti mendaki gunung, atau memilih untuk tidak menggunakan lift dan eskalator. Tentu ada sederet penjelasan psikologis dan psikiatrik yang mampu menjawab alasan di balik terbentuk akrofobia, namun hal tersebut tidak berarti kita dapat membatasi diri untuk tidak terbang yang lebih tinggi.
Seekor burung Elang betina, biasanya akan mengerami telur-telurnya selama 35 hari, lalu selepas itu anak-anaknya akan mulai diajarkan untuk terbang, kemudian dibebaskan hidup secara individual di alam liar.
Menurut Prof Rhenald Kasali, kehidupan semacam inilah yang seharusnya dimiliki oleh generasi muda. Hal ini dipaparkan dalam Strawberry Generation mengenai pentingnya melatih anak-anak mengalami kesulitan, menghadapi tantangan, dan tumbuh dalam keterbatasan. Karena dengan proses yang sulit, penuh tantangan, dan keterbatasanlah maka seseorang akan belajar untuk bertahan atau survive.
Memilih menjadi Elang adalah sebuah gambaran mengenai dinamika kehidupan yang kuat, tahan banting, dan persisten. Seandainya seeokor anak elang tidak pernah diajarkan oleh induknya untuk terbang dari ketinggian, maka tentunya anak elang tersebut hanya akan menjadi elang kecil yang kehilangan nature-nya sebagai hewan bebas serta tangguh. Sebagai hewan liar, elang dikenal dengan ketajaman penglihatannya, kekuatan cakarnya yang tajam dan cekatan, serta kepakkan sayapnya yang lebar juga tangguh menerjang angin kencang.
Jika ditanya ingin menjadi hewan apa? Maka saya akan memilih "jadi Elang aja!"
Menjadi seperti elang adalah sebuah kesadaran dan pilihan hidup. Sebab jika tidak menjadi elang, maka kita akan terlena dalam kehangatan, kenyamanan, dan keindahan yang sementara. Akhirnya, di saat banyak elang sudah terbang lebih tinggi, seekor kupu-kupu hanya mampu mencari bunga di taman kecil lalu bertahan hidup sampai 30 hari yang tidak lama.
MENJADI 'SANG ELANG'
Hari ini terhitung dua hari saya berada di Jakarta. Sebuah pilihan yang tidak mudah, namun tidak juga sulit untuk diputuskan. Seperti halnya lirik lagu Tulus "tak sulit mendapatkanmu, karena sejak lama kau pun mengincarku". Saya memang tidak lagi berkeinginan untuk tinggal di Jakarta, dulu rencana itu pernah ada sewaktu masih SMK, namun selepas lima tahun terakhir berdomisili Yogyakarta; saya telah mengubur keinginan itu.
Alasan saya sederhana, Jakarta merupakan kota yang terlalu sibuk, terlalu ramai, penuh tekanan sosial (misalnya jalanan macet, biaya hidup tinggi), hingga tidak lagi ramah lingkungan. Mendiami Jakarta sama saja dengan menyakiti Jakarta itu sendiri. Inilah persoalan ekologis yang juga membuat saya bersedih hati, sehingga saya menolak untuk tidak tinggal di Jakarta.
Kendati demikian, saya tidak bisa melawan sebuah kekuatan yang dengan penuh kejutan hadir dalam jawaban doa-doa saya. Sudah beberapa bulan pasca lulus dari Prodi S1 Psikologi, saya belum memiliki pekerjaan tetap yang menghasilkan banyak uang (impian semua anak moeda). Saya kadang merasa malu untuk 23.000 rupiah yang dikorbankan atas segelas Moccacino hangat kesukaan saya di Alogo Caf (salah satu kafe andalan saya, di Jalan Kledokan, Sleman, DIY). Karena itulah, saya lalu menuntut kepada Tuhan "saya ingin segera bekerja."
Lamaran demi lamaran -tapi bukan ajakan nikah, telah saya kirimkan ke mana-mana. Beberapa telah direspons dengan baik, saya bahkan telah melewati proses wawancara, ada pula yang telah memberikan kontrak kerja. Namun entah mengapa hati saya belum juga tertambat padanya.
Ibarat saya telah menyatakan cinta, sang pujaan pun menerimanya, namun saya tidak yakin dengan hal tersebut.
Tentu, ini bukan persoalan normal atau bukan! Lagi pula normalitas itu tidak pantas diukur dengan pertimbangan yang irasional, oleh karena ada kebenaran dibalik sebuah pilihan untuk menjawab 'tidak' atau 'menolak'. Inilah realitas yang saya jumpai, ada sebuah keraguan yang tumbuh dalam hati. Tetapi saya tidak hanya membatasi diri pada perasaan saja, saya mendengar pertimbangan akal budi, saya membaca buku-buku yang memberikan kekuatan hati, dan saya juga berdiskusi dengan beberapa orang lainnya.
Setelah melalui pergolakan yang berulang kali, ada penolakan, ada kata tidak yang berulang. Saya akhirnya memutuskan untuk menjawab "ya" pada sebuah panggilan ke Jakarta. Kota yang bahkan saya hapus dari keinginan untuk hidup di sana.
Jika direnungkan, kini saya sadar menjadi manusia itu memang unik. Saya bisa menolak menjadi sesuatu, saya bisa berkeinginan terhadap sesuatu, namun kadang pun di antara penerimaan atau penolakan itu, terdapat sebuah ruang negosiasi (pertimbangan) yang membuat saya perlu memikirkan kembali.
Pada hari kedua di Jakarta ini, saya mulai merasakan sedikit tantangan dikhawatirkan itu. Biaya transportasi ojek online jauh lebih mahal daripada Jogja (tentu saja tidak patut dibandingkan).
Namun biar bagaimana pun, saya telah menerimanya, maka kini Jakarta adalah sahabat baru saya. Bahkan saya tidak perlu mencintainya seperti Jogja, karena keduanya tentu berbeda, dan jauh di dalam lubuk hati; saya percaya keduanya akan selalu menjadi rumah yang nyaman.
Saya bukan lagi elang kecil yang masih nyaman di dalam sangkar di atas pohon tinggi. Kini, saya telah menjadi elang dewasa yang terbang tinggi, bentangan lebar sayap saya mampu membuat badai di depan sana ketakutan dan mundur cepat-cepat. Namun sekali lagi, saya tetaplah manusia yang bisa salah, bisa gagal, bisa jatuh, bisa membuat kecewa, dan bisa marah atas apa pun. Tetapi saya tidak seperti elang di alam liar yang akan mencakar dengan penuh kekerasan,
Sebab saya adalah elang yang berlaku baik pada alam yang mendewasakan saya.
-Selamat Merayakan Hidup-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H