Mohon tunggu...
Hesdo Naraha
Hesdo Naraha Mohon Tunggu... Freelancer - Sharing for caring by "Louve" from deep Instuisi-Ku

God Is Good All The Time 💝

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

#1 Memaknai Pertemanan

4 Februari 2023   08:00 Diperbarui: 4 Februari 2023   08:00 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"It is equally faulty to trust everyone and to trust no one"

(Lucius Seneca)

Akhir-akhir ini saya terus termenung dan mencoba memahami setiap hal dalam hidup dengan jujur dan apa adanya. Ada begitu banyak peristiwa yang mengajarkan saya untuk melihat kehidupan lebih dekat, kadang saya merasa diri ini terlalu jauh dari apa yang dijalani, sampai-sampai saya pun tidak mampu mengenali kehidupan dengan jelas. Menurut saya hal ini bukanlah persoalan 'seberapa saya sudah tahu' atau 'justru saya memang belum tahu', mungkin saja inilah persoalan karena saya dan -banyak orang dengan situasi yang sama, sejujurnya benar-benar tidak paham saja atau belum menemukan makna di balik setiap peristiwa itu.

Saya begitu senang diperjumpakan dengan banyak orang, dalam relasi yang begitu luas, saya diterima dan dicintai oleh sahabat dan teman-teman dari segala latar belakang yang berbeda-beda. Ketika pulang ke rumah di Tual (Kepulauan Kei), saya lebih nyaman untuk bertemu dengan para sahabat dari kalangan generasi senior -mereka adalah ibu-ibu, kakak-kakak yang bertahun-tahun jarak usianya dengan saya. Ketika di Jogja, saya senang untuk bertemu dengan anak-anak, teman-teman sepantaran usia, adik-adik di pelayanan maupun di kampus dan siapa saja di mana saja.

Perjumpaan demi perjumpaan terus terjadi begitu saja, ada yang kemudian menjadi teman cukup lama, ada yang menjadi teman sebentar saja, ada juga yang sekadar lewat dan tersenyum singkat, sambal memberi salam "Hai".* Bagiku setiap perjumpaan berapapun waktunya, tidak mungkin sia-sia dan berlalu begitu saja, tentu ada seberkas kenangan dan kepedihan atau kebahagiaan yang mengesankan.

"Kalau ternyata perjumpaan sedetik, dua detik atau tiga detik bisa sangat berkesan, lalu bagaimana dengan dengan perjumpaan sekian waktu yang terjadi antara kita? Bukankah harus lebih bermakna dan berarti, kan?"

Apa yang 'bermakna?'

Bersandar di pelukmu

Menatap di matamu

Apakah kau ragu padaku

Kini aku ragu padamu

(Sumber: Kapanlagi.com)

Kalimat pendek yang terdiri dari empat baris di atas adalah kutipan bait pertama lagu "Selalu untuk selamanya", lagu ini dipopulerkan oleh Fatur tahun 1996, sebuah nyanyian lawas yang indah.

Pembuka lagu ini seakan mengajak kita untuk merefleksikan arti dari sebuah relasi yang terjalin dalam kehidupan kita. Apakah di antara begitu banyak waktu yang mempertemukan kita dengan orang-orang terdekat, justru masih saja menyisahkan sebuah ruang kosong -yang mungkin saja disebut 'keraguan'. Mungkin saja inilah paradoks dalam relasi sosial yang kita jalani selama ini, bahwa frekuensi waktu tidak selalu menjamin adanya keterikatan yang benar-benar kuat.

Oleh karena itu, pertanyaan yang seharunya kita ajukan dalam relasi pertemanan ataupun persahabatan, yaitu "Apakah yang sebenarnya bermakna?" bermakna dalam relasi yang terjalin selama ini? Jangan-jangan kita memang bertemu hanya untuk mengisi kesepian, mengurangi ketakutan, meramaikan keheningan dan hanya sekadar senang-senang saja. Mungkin terkesan penuh sangka dan curiga, tetapi bagi saya, ketika menyoal 'makna' maka kita perlu bertanya dengan lebih jelas dan menduga secara mendalam.

Ada temuan menarik yang kemudian sedikit mengonfirmasi dugaan di atas. Ketika saya mencari kata kunci 'Quarter Life Crisis pada orang dewasa' di Google Cendikiawan, maka ditemukan sebanyak 616 hasil penelitian dalam rentang lima tahun terakhir (2012-2022) terlacak di sana. Saya kemudian menduga, mungkin saja memang rumor tentang kesepian dan ketakutan, yang kabarnya sering mewarnai keseharian kita masih ramai dialami oleh banyak orang.

Mungkin saja inilah sebabnya, sebuah relasi dijalani bukan untuk memenuhi dan melengkapi nilai-nilai yang saling membangun, justru hanya untuk mengisi kesepian dan mengusir ketakutan di atas. Jika demikian adanya, tentu kita perlu memikirkan kembali bahwa sebaik-baiknya, relasi semacam itu dicukupkan atau sebaik-baiknya disudahi saja; menurut saya, itu hanya mereduksi waktu dan hal-hal yang penting dalam hidup kita.

Memilih yang 'bermakna'

 

Adakah cinta yang tulus kepadaku

Adakah cinta yang tak pernah berakhir

Adakah cinta yang tulus kepadaku

Adakah cinta yang tak pernah berakhir

Selalu untuk selamanya

(Sumber: Kapanlagi.com)

Lagi, izinkan saya menuliskan bait kedua lagu Fatur (1996) ini, saat menuliskan artikel ini saya tidak menghitung sudah berapa kali lagu ini memang berulang-ulang terputar secara otomatis, sengaja saya atur supaya demikian.

Ketika bagian awal lagu ini mengajak kita untuk melihat makna di balik sebuah kehangatan yang terjalin melalui 'sandaran' dan 'tatapan'. Selanjutnya bagian di atas yang merupakan refrain lagu 'Selalu untuk selamanya', seakan-akan menjadi penegasan yang kembali bertanya tentang sebuah keintiman dan kedalaman relasi yang terjalin. Memaknai relasi tidak harus terjadi diantara sepasang kekasih yang menjalin cinta saja, memaknai relasi seharusnya juga terjadi di antara setiap kita yang terhubung dan terkoneksi dengan orang lain di dalam dunia ini.

Ketika melihat kembali kedalam relasi dan orang-orang yang saya jumpai di kehidupan ini, maka saya merasa memang sudah seharunya 'Saya hanya memilih yang bermakna". Kedewasaan tentu mengajak kita untuk melihat hidup dengan lebih dekat dan jujur, bahwa segala sesuatu yang sia-sia patut kita singkirkan dan segala sesuatu yang memberi nilai-nilai positif memang patut diperjuangkan.

Melepaskan orang-orang yang hanya mengisi kekosongan dan meramaikan keheningan tidak selalu bermakna buruk, tidak juga dipahami sebagai upaya mengisolasi diri. Justru menurut saya, itulah tindakan yang tepat bagi orang-orang yang memilih menjalani hidup dengan bermakna.

Jangan sampai diri mu hanya menjadi objek penghibur bagi orang-orang yang kesepian, jangan sampai waktu mu hanya terbuang untuk menemani orang-orang kurang kerjaan merasakan tawa yang sia-sia, dan jangan sampai kebaikan mu kemudian dimaknai sebagai kewajaran yang tak perlu dihargai dan dianggap biasa-biasa saja. 

Memang benar kita diajarkan oleh kehidupan ini melalui siapa saja, bahwasannya berbuat baik tak harus mengharapkan imbalan yang baik juga. Tetapi kita juga perlu menjadi manusia yang benar-benar memaknai kehidupan dengan jelas dan tepat, jangan sampai kita menjadi butiran debu yang terbang kesana-kemari (perjalanan kita ramai dan sibuk) tetapi tak ada nilainya sama sekali. 

Lucius Seneca yang bijaksana menulis dalam bab 'On true and false friendship' pada buku 'Letter from a Stoic' mengatakan bahwa seorang teman yang baik akan memperlakukan kita sama seperti dirinya sendiri. Oleh karena itu seseorang yang menjalani hidupnya dengan bermakna, tentu akan memilih kita menjadi temannya karena sama seperti nya yang baik, kita pun adalah orang-orang baik yang patut mendapatkan sahabat yang memberi nilai-nilai positif dalam hidup kita.

Pada akhirnya memaknai pertemanan seharusnya dilakukan oleh setiap orang, kata pepatah tua "siapa berkawan dengan pencuri akan menjadi pencuri, siapa berkawan dengan orang pandai akan menjadi pandai." Mungkin saat ini kita tidak terlalu bodoh untuk menjadi kawan seorang pencuri, mungkin kawan yang sekarang tak juga pandai, tetapi setidaknya kita harus mampu memilih orang-orang yang bermakna untuk menjadi sahabat dan teman yang baik dalam kehidupan yang kita jalani.

------------------------

Referensi beberapa kutipan di atas:

1) *(Bacalah 'Hospitality: Adakah keramahan itu?' Aku menulisnya beberapa bulan lalu, sila menemuinya di beranda akun ini juga.)

2) Buku Letter from a Stoic, berisi kumpulan surat yang ditulis oleh Lucius Seneca. Dipublikasi oleh HarperCollins Publisher (2020). 

3) Lirik lagu Selalu untuk Selamanya (Fatur, 1996). Dikutip dari Kapanlagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun