"It is equally faulty to trust everyone and to trust no one"
(Lucius Seneca)
Akhir-akhir ini saya terus termenung dan mencoba memahami setiap hal dalam hidup dengan jujur dan apa adanya. Ada begitu banyak peristiwa yang mengajarkan saya untuk melihat kehidupan lebih dekat, kadang saya merasa diri ini terlalu jauh dari apa yang dijalani, sampai-sampai saya pun tidak mampu mengenali kehidupan dengan jelas. Menurut saya hal ini bukanlah persoalan 'seberapa saya sudah tahu' atau 'justru saya memang belum tahu', mungkin saja inilah persoalan karena saya dan -banyak orang dengan situasi yang sama, sejujurnya benar-benar tidak paham saja atau belum menemukan makna di balik setiap peristiwa itu.
Saya begitu senang diperjumpakan dengan banyak orang, dalam relasi yang begitu luas, saya diterima dan dicintai oleh sahabat dan teman-teman dari segala latar belakang yang berbeda-beda. Ketika pulang ke rumah di Tual (Kepulauan Kei), saya lebih nyaman untuk bertemu dengan para sahabat dari kalangan generasi senior -mereka adalah ibu-ibu, kakak-kakak yang bertahun-tahun jarak usianya dengan saya. Ketika di Jogja, saya senang untuk bertemu dengan anak-anak, teman-teman sepantaran usia, adik-adik di pelayanan maupun di kampus dan siapa saja di mana saja.
Perjumpaan demi perjumpaan terus terjadi begitu saja, ada yang kemudian menjadi teman cukup lama, ada yang menjadi teman sebentar saja, ada juga yang sekadar lewat dan tersenyum singkat, sambal memberi salam "Hai".* Bagiku setiap perjumpaan berapapun waktunya, tidak mungkin sia-sia dan berlalu begitu saja, tentu ada seberkas kenangan dan kepedihan atau kebahagiaan yang mengesankan.
"Kalau ternyata perjumpaan sedetik, dua detik atau tiga detik bisa sangat berkesan, lalu bagaimana dengan dengan perjumpaan sekian waktu yang terjadi antara kita? Bukankah harus lebih bermakna dan berarti, kan?"
Apa yang 'bermakna?'
Bersandar di pelukmu
Menatap di matamu
Apakah kau ragu padaku
Kini aku ragu padamu
(Sumber: Kapanlagi.com)
Kalimat pendek yang terdiri dari empat baris di atas adalah kutipan bait pertama lagu "Selalu untuk selamanya", lagu ini dipopulerkan oleh Fatur tahun 1996, sebuah nyanyian lawas yang indah.
Pembuka lagu ini seakan mengajak kita untuk merefleksikan arti dari sebuah relasi yang terjalin dalam kehidupan kita. Apakah di antara begitu banyak waktu yang mempertemukan kita dengan orang-orang terdekat, justru masih saja menyisahkan sebuah ruang kosong -yang mungkin saja disebut 'keraguan'. Mungkin saja inilah paradoks dalam relasi sosial yang kita jalani selama ini, bahwa frekuensi waktu tidak selalu menjamin adanya keterikatan yang benar-benar kuat.
Oleh karena itu, pertanyaan yang seharunya kita ajukan dalam relasi pertemanan ataupun persahabatan, yaitu "Apakah yang sebenarnya bermakna?" bermakna dalam relasi yang terjalin selama ini? Jangan-jangan kita memang bertemu hanya untuk mengisi kesepian, mengurangi ketakutan, meramaikan keheningan dan hanya sekadar senang-senang saja. Mungkin terkesan penuh sangka dan curiga, tetapi bagi saya, ketika menyoal 'makna' maka kita perlu bertanya dengan lebih jelas dan menduga secara mendalam.
Ada temuan menarik yang kemudian sedikit mengonfirmasi dugaan di atas. Ketika saya mencari kata kunci 'Quarter Life Crisis pada orang dewasa' di Google Cendikiawan, maka ditemukan sebanyak 616 hasil penelitian dalam rentang lima tahun terakhir (2012-2022) terlacak di sana. Saya kemudian menduga, mungkin saja memang rumor tentang kesepian dan ketakutan, yang kabarnya sering mewarnai keseharian kita masih ramai dialami oleh banyak orang.
Mungkin saja inilah sebabnya, sebuah relasi dijalani bukan untuk memenuhi dan melengkapi nilai-nilai yang saling membangun, justru hanya untuk mengisi kesepian dan mengusir ketakutan di atas. Jika demikian adanya, tentu kita perlu memikirkan kembali bahwa sebaik-baiknya, relasi semacam itu dicukupkan atau sebaik-baiknya disudahi saja; menurut saya, itu hanya mereduksi waktu dan hal-hal yang penting dalam hidup kita.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!