Setiap orang memiliki perspektif yang berbeda-beda dalam memaknai, arti “Kemerdekaan”. Merdeka tidak selalu terbatas pada realita historis, bahwa sebuah kaum, golongan atau bangsa pernah dijajah. Pandangan semacam ini membuat makna kemerdekaan hanya terbatas pada keadaan ketika penjajah telah pergi. Menurut saya, kemerdekaan memiliki makna yang jauh lebih filosofis dan menyentuh landasan paling fundamental dalam diri seorang manusia.
Tanggal 17 agustus adalah momentum paling bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal ini, Indonesia selalu diingatkan akan peristiwa pembacaan teks Proklamasi oleh dua tokoh paling berjasa, yaitu Bung Karno dan Bung Hatta. Fakta ini sudah menjadi pelajaran paling penting sejak seorang Warga Negara Indonesia (WNI) masih berpendidikan pada tingkat TK/PAUD sampai kapan pun, akan selalu didengungkan dalam hati.
Saya mencoba melihat makna lain di balik peristiwa kemerdekaan, secara khusus dalam usia ke-76 tahun kemerdekaan Indonesia. Kata merdeka memiliki makna sebagai sebuah keadaan bebas atau mengalami kebebasan. Adelbert Snijders menyatakan bahwa bebas berarti “tidak ada hambatan, tidak ada paksaan, tidak ada halangan, tidak ada aturan”. Artinya kemerdekaan atau kebebasan adalah kondisi dimana seseorang “seharusnya” bisa merdeka atau bebas dalam menentukan pilihan hidupnya sendiri.
Ketika para pahlawan di masa lalu berjuang untuk memperjuangkan kemerdekaan, hal ini tentunya didorong oleh situasi pada masa itu, di mana penjajahan membuat kebebasan hidup mereka menjadi terbatas.
Menurut Sigmund Freud (1856-1939) seorang tokoh psikologi paling populer di akhir abad-19 sampai saat ini. Kondisi dijajah memicu seseorang atau sekelompok orang akan berusaha melawan. Sebab situasi tersebut mengancam hilangnya kesenangan atau kebahagiaan dalam diri seseorang. Sehingga seseorang akan menggunakan semua daya dalam dirinya untuk berusaha melawan, dan mencapai kebebasan.
Saat ini kita sudah merdeka, tetapi sampai hari ini masih menjadi pertanyaan “apakah kita benar-benar merdeka?”
Diri yang merdeka: jiwa dan raga
Kebebasan atau kemerdekaan adalah konsep yang membentuk kesan tertentu, sesuai dengan proses kognitif atau cara berpikir. Bagaimana seseorang memaknai situasi hidupnya sebagai kondisi yang merdeka atau dijajah, semuanya disesuaikan dengan perspektifnya dalam memandang dan memaknai kemerdekaan itu sendiri.
Ketika seseorang merasa dirinya terbebas dari belenggu penjajahan, tetapi dalam pikirannya dia terperangkap oleh segudang rutinitas yang membuat jiwanya tidak bebas, maka kemerdekaannya menjadi bias, dan sangat subjektif.
Dalam upaya memahami sesuatu, kita harus bisa menggunakan kacamata yang tepat, upayakan untuk tidak kabur apalagi tidak fokus. Sebab objek yang ditangkap oleh mata kita akan membentuk persepsi, sehingga dampaknya dirasakan dalam tiga aspek paling fundamental: thought, emotion, behavior. Ketiganya saling berkaitan, dan berpengaruh secara signifikan.
Diri yang merdeka adalah suatu kondisi di mana seseorang secara sadar, penuh dan utuh menerima dirinya sendiri. Lebih dari itu, diri yang merdeka berarti seseorang berada dalam kondisi yang terbebas dari tekanan secara mental. Misalnya seorang pekerja keras, mereka sudah terbiasa dengan kondisi ketika harus berhadapan dengan begitu banyak tuntutan pekerjaan. Namun, mereka bisa merasakan makna kemerdekaan ketika manajemen kerjanya baik, maka dampaknya stres kerja juga lebih kecil, dan selalu merasa bahagia setiap kali mengerjakan pekerjaannya. Menurut saya inilah makna yang sebenarnya tentang diri yang merdeka.
Sekali lagi, kemerdekaan adalah konsep yang sangat abstrak dan juga subjektif, sehingga perspektif adalah kunci untuk memahami dimana letak diri kita [masih dijajah] atau [sudah merdeka].
Jadilah dirimu dalam keadaanmu
Saat ini kita hidup ditengah realita bahwa, kita bebas untuk hidup sesuai dengan nilai, sistem dan prinsip yang diyakini oleh diri sendiri. Ada banyak orang yang telah menyadari hal ini, lalu men-designe hidupnya sesuai kemauannya, tetapi ada juga yang akhirnya dijajah oleh pikirannya sendiri.
Fenomena mengikuti trend masa kini, secara signifikan terjadi dalam diri generasi muda. Sayangnya originality value dalam diri menjadi hilang, sebab generasi muda cenderung mengikuti secara penuh role model-nya sampai-sampai melupakan jati dirinya yang sebenarnya. Dalam pandangan psikologi, perilaku semacam ini dikenal sebagai imitasi. Ketika bertemu dengan beberapa teman-teman yang cukup gesit mengikuti perubahan fashion style, mereka bercerita tentang adanya konflik batin yang cukup kuat dan bergejolak dalam diri mereka. Menurut saya, mereka adalah orang-orang yang sudah merdeka, namun berada dibawah penjajahan pikirannya sendiri.
Sudah seharunya kita hidup dalam sebuah kepastian bahwa diri yang merdeka, berarti hidup sesuai dengan keadaan diri kita yang sebenarnya, saya menyebutnya dengan originality value. Dulu saya sangat takut menggunakan celana pendek diluar rumah, apalagi ketika berada di kosan. Sebab dalam pikiran saya orang-orang akan melihat bentuk kaki saya, mengomentari bulu kaki yang sangat lebat, termasuk membicarakan bintik-bintik bekas luka akibat jatuh dengan sepeda. Itu semua membuat saya malu, takut dan sering menutup diri.
Suatu ketika saya mencoba berpikir lebih rasional, maka saya tiba pada satu pemahaman bahwa orang-orang di dunia ini tidaklah gabut untuk sekadar menilai kaki saya. Inilah kondisi yang disebut sebagai insecure, suatu keadaan dalam diri yang menunjukan rasa malu karena menurut kita orang akan menganggap kita rendah. Insecure tidak hanya terbatas pada perasaan rendah diri akibat perbandingan diri dengan keberhasilan orang lain. Saat kita merasa takut atau malu dengan keadaan diri yang sebenarnya, maka kita sedang merasa insecure juga.
Sekarang saya jauh lebih nyaman dengan apapun yang saya gunakan, karena menurut saya kenyamanan bagi diri sendiri adalah hal yang paling penting. Bodo amat dengan apa kata orang, toh memang banyak orang di dunia ini yang juga berbulu lebat. Akhirnya saya bisa merasa nyaman dengan berbagai kondisi tanpa harus merasa malu atau takut. Sampai disini, maka saya sudah cukup meyakini bahwa merdeka itu benar adanya dan dapat dirasakan sepanjang waktu.
Memilih menjadi diri sendiri: ‘Kemerdekaan yang sebenarnya’
Tadi malam, saya menyelesaikan sebuah tulisan yang membahas tentang apresiasi terhadap orang-orang di sekitar. Saya memilih topik perempuan, sebab menurut saya perempuan itu sudah merdeka tetapi mereka masih sering dijajah. Saya bercerita tentang perempuan yang memilih didapur, bukan karena dia mengalah tetapi dia menerima dirinya sebagai seseorang yang merdeka dengan pilihannya sendiri.
Ada satu quotes yang paling berkesan dalam film Harry Potter. Saya selalu mengingatnya dan membuat saya menjadi percara diri, setiap kali perasaan rendah diri muncul dan menyerang.
“Yang membuatmu hebat bukanlah sebagai siapa kamu terlahir, tetapi pilhanmu. Sebagai apa yang kamu mau, itulah yang membuat mu berbeda”
–Albus Dumbledore.
Memilih untuk menjadi diri sendiri bukanlah hal yang mudah. Saya selalu kagum dan terinspirasi dengan Marisa Annita seorang aktris cantik, cerdas dan multitalent. Dia merupakan selebriti pertama di Indonesia yang menjalani hidup tanpa media sosial, padahal dulunya dia sangat aktif menggunakan media sosial. Alasannya sederhana, dia hanya ingin hidup dalam dunia yang sebenarnya serta menikmati hari-hari tanpa adanya kecemasan. Hampir setiap hari saya menonton video-videonya di Yotube, dia selalu bercerita tentang kehidupannya yang jauh lebih baik, karena bisa hidup bebas dan merdeka dari pengaruh media sosial, yang menurutnya toxic.
Menjadi diri sendiri bukanlah hal yang mudah. Kita membutuhkan waktu yang sangat panjang, walaupun faktanya: setiap detik kita selalu bersama-sama dan berada di dalam diri sendiri. Sayangnya, belum semua orang sadar akan keberadaan dirinya. Karena pada kenyataannya kita terlalu memaksakan diri untuk memenuhi tuntuntan orang lain, menurut saya tindakan ini adalah sebuah bentuk penyangkalan terhadap diri sendiri. Bukankah kita seharusnya hidup sesuai standar dan prinsip dalam diri sendiri? Penyangkalan terhadap diri sendiri seringkali terjadi, karena kita tidak memiliki self compassion atau rasa cinta pada diri.
Suatu ketika saat saya masih di Jogja, kakak saya yang sulung menelepon dan meminta saya mengecek harga behel. Cukup terkejut karena jarang sekali ada topik se-random ini, rupanya ponakan saya yang masih SD kelas empat sedang menangis meminta dipasangkan behel. Ketika ditanya apa alasannya? Jawabannya dia merasa insecure karena melihat artis-artis masa kini yang tampil lebih cantik ketika memakai behel.
Inilah fenomena imitasi yang sempat saya singgung di awal, bahwa kita memang hidup sebaga diri sendiri tetapi dalam kenyataannya kita dikendalikan oleh keberadaan orang lain. Situasi semacam ini sangatlah tidak sehat bagi diri, secara khusus pada keadaan mental atau psikologi.
Lebih baik untuk kita hidup sesuai keadaan diri yang sebenarnya, kalaupun memilih menggunakan behel sebagai alasan treatment maka tidaklah salah. Asalkan kita melakukannya karena diri sendiri, bukan untuk memenuhi ekspektasi orang lain apalagi sekadar mendapat pujian sementara dari orang-orang di sekitar kita.
Semoga kita semakin menghargai hidup.
Selamat merayakan Hidup “Merdeka!!!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H