Mohon tunggu...
Hery Sinaga
Hery Sinaga Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri Sipil

-Penulis konten -saat ini sedang suka-sukanya menggeluti public speaking -Sedang menyelesaikan buku motivasi -karya novel : Keluargaku Rumahku (lagi pengajuan ke penerbit)

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Merindukan Rantang "Wak Tuyan": Tradisi Tukar Makanan dan Simbol Toleransi

16 April 2021   21:57 Diperbarui: 16 April 2021   21:59 1139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selalu ada yang dirindukan ketika waktu sudah berlalu. Apalagi sesuatu yang berlalu itu merupakan momen yang penuh dengan kesan bahagia dan selalu membuat rindu untuk kembali ke masa-masa itu.

Setiap mendapatkan bulan suci ramadan, saya teringat dengan seorang bapak atau biasa saya panggil "Wak" karena si bapak adalah seorang beragama muslim bersuku Jawa yang sudah sangat akrab dengan keluarga kami.

Saya biasa memanggil si bapak dengan panggilan "Wak Tuyan". Ya, karena nama si bapak adalah Tuyan. Wak Tuyan adalah seorang bapak yang berprofesi atau bekerja serabutan. Kadang-kadang jualan es keliling, buka warung mie ayam, bakso, jualan es campur dan kadang-kadang bertani.

Semua Wak Tuyan kerjakan demi menghidupi istri dan anak-anaknya yang sudah remaja. Sosok Wak Tuyan adalah seorang yang baik dan jujur serta polos. Kebaikan Wak Tuyan kepada orangtua kami, menjadi faktor yang membuat kami sangat akrab dengan Wak Tuyan dan keluarganya.

Orangtua saya terkadang memberikan pekerjaan apakah itu menanam tanam-tanaman di ladang atau pekerjaan membersihkan lahan sawa dan termasuk merawat tanaman pertanian dengan memberikan sejumlah upah harian. Bukan itu saja, bahan baku untuk dagangannya, juga dia beli dari toko usaha ibu saya, juga turut menjadi faktor yang membuat keakraban itu terjalin semakin erat satu sama lain.

Mengingat Wak Tuyan, kala di bulan suci ramadan, ada selalu kebiasaan yang kami lakukan satu dengan yang lain. Ketika mereka menjalankan puasa selama sehari penuh, ketika selesai berbuka puasa, setiap sekali dalam seminggu, mereka selalu mengantarkan makanan kepada kami.

Tidak hanya pada saat selama menjalankan puasa, bahkan setelah lebaran atau setelah selesai menjalankan puasa selama sebulan penuh, Wak Tuyan dan istrinya selalu mampir kerumah kami untuk mengantarkan makanan dan bersilaturahim kepada kami sekeluarga.

Wak Tuyan bersama istrinya dengan menaiki sepeda motor astrea 73, mengantarkan makanan dalam rantang. Dalam rantang itu, selalu berisi dengan nasi, rendang, keripik, mie serta sayur dan Kadang-kadang daging ayam gulai.

Pokoknya, kalau setiap kali Wak Tuyan datang mengantarkan makanan dalam rantang andalannya, pasti kami makannya selalu lahap. Karena masakan dari istri Wak Tuyan cukup enak di lidah.

Ketika Wak Tuyan atau istrinya tidak bisa mengantarkan makanan dalam rantang, mereka pasti menyuruh anak-anaknya untuk mengantarkannya.

Kami juga merasa senang ketika sudah diberikan makanan dalam rantang itu, yang walaupun kami tahu bahwa keadaan ekonomi keluarga mereka juga tidak begitu mapan. Untuk makan saja masih harus bekerja agar dapat penghasilan.

Rasa bahagia ketika diberi makanan dalam rantang, sudah menjadi kebiasaan bagi kami juga untuk memindahkan isinya dan mencuci rantangnya. Setiap selesai rantang Wak Tuyan dicuci oleh saya atau saudara saya, ibu tidak pernah lupa untuk mengisi rantang Wak Tuyan dengan beras sampai isi rantang penuh.

Selain beras, Ibu juga memberikan tepung atau minyak secukupnya sebagai balasan ucapan terima kasih kepada mereka.

Dan tradisi tukar menukar makanan itu, sudah kami lakukan selama belasan tahun, hingga terakhir ketika kami sudah bekerja dan sudah merantau. Ditambah lagi kondisi Wak Tuyan yang sudah semakin tua, serta anak-anaknya juga sudah pada menikah dan tidak tinggal bersama mereka lagi di kampung.

Keadaan ekonomi dan usia senja membuat mereka tidak lagi mengantarkan makanan dalam rantang kepada kami. Dan itu menjadi awal hilangnya tradisi tukar makanan diantara keluarga kami. dan hingga saat ini kebiasaan itu cukup ngangenin bagi saya karena meninggalkan jejak yang membekas dalam memori ingatan.

Dan menurut saya, tradisi tukar makanan yang biasa kami lakukan adalah simbol kerukunan, keharmonisan dan toleransi diantara sesama yang berbeda agama dan suku yang harus dilestarikan dan dibudayakan dalam setiap lingkungan tempat tinggal kita. Karena itu merupakan wujud pengamalan pancasila.

Walaupun rantang Wak Tuyan tidak lagi kami terima dengan isi makanan yang enak di dalamnya, bukan berarti tali silaturahim diantara kami putus. Hubungan keakraban diantara dua keluarga berbeda suku dan agama tetap terjalin seperti biasanya.

Hanya saja intensitas bertemu sudah jarang, karena Wak Tuyan sudah semakin tua. Aktivitas yang dia lakukan hanya disekitaran tempat dia tinggal.

Kini, tradisi itu tidak bisa lagi diulang kembali karena memang situasi tidak lagi mendukung untuk melakukannya. Dan tradisi itu hanya bisa dijadikan kenanganan yang akan selalu dirindukan pada setiap momen ramadan dan lebaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun