Mohon tunggu...
Hery Sinaga
Hery Sinaga Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri Sipil

-Penulis konten -saat ini sedang suka-sukanya menggeluti public speaking -Sedang menyelesaikan buku motivasi -karya novel : Keluargaku Rumahku (lagi pengajuan ke penerbit)

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Bekerja Hari Senin-Kamis, Bisa Pacu Produktivitas Kerja

12 Februari 2021   19:00 Diperbarui: 12 Februari 2021   23:41 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi(DragonImages)

Supaya kita bisa makan, maka kita harus bekerja. Namun terkadang pekerjaan yang kita punya cukup menyita hampir seluruh waktu yang kita punya.

Kantor itu seperti rumah kedua buat kita dan rumah kita sendiri secara klise bisa dianggap sebagai tempat beristirahat dari segala aktivitas setelah lelah bekerja setiap harinya.

Bekerja Senin sampai dengan Kamis dengan jumlah jam kerja 8 jam setiap harinya atau selama 40 jam setiap minggu nya membuat rutinitas kita itu kita habiskan dijalan pergi untuk ke kantor, di kantor dan dijalan untuk pulang kerumah.

Kadang-kadang padatnya jam kerja di kantor, belum lagi kalau sudah membutuhkan jam lembur, seakan waktu untuk bersantai untuk diri sendiri, menghabiskan waktu santai bersama kerabat, teman dan terlebih utama untuk keluarga sepertinya sudah sangat sedikit bahkan hampir tidak ada karena sudah tersedot oleh rutinitas di kantor.

Dan terkadang, menjalani rutinitas yang itu-itu melulu pada akhirnya menimbulkan kebosanan dalam diri karena sepertinya hidup itu datar saja, tidak berwarna, monoton, ini dan itu.

Ketika kebosanan muncul dalam diri, tentu akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja di kantor. Ketika hari esok menjelang, rasa bosan yang masih betah singgah dalam diri, membuat semangat untuk menyambut hari esok dan kembali bekerja dikantor seperti hari-hari sebelumnya menjadi melayu.

Mungkin sebagian besar pekerja mengalami rutinitas seperti yang dijelaskan di atas, karena realitas yang terjadi hampir di semua lini pekerjaan apalagi pekerja yang berada di kota-kota besar.

Beban dan jam kerja yang padat, hingga kemacetan yang dihadapi ketika berkendaraan semuanya berakumulasi menjadi faktor pemicu terjadinya kejenuhan, kebosanan hingga pada tingkat tidak memiliki semangat yang bisa saja berimplikasi kepada tindakan mengundurkan diri dari pekerjaan karena merasa tidak terpenuhi nya worklife balance dalam kehidupannya.

Suatu sore hari saat sebelum menjelang pulang dari kantor, teringat ketika saya bercerita panjang lebar dengan teman kantor yang adalah seorang ibu dari 3 orang anak yang masih kecil dimana yang satu masih sekolah dasar, yang dua sekolah SMP dan yang ketiga sudah sekolah SMA.

Kebetulan memang kami selalu pulang diatas jam 6 sore dari kantor bahkan sesekali bisa pulang hingga jam 8 malam, tergantung banyak atau tidaknya pekerjaan. Sudah barang tentu, teman saya itu nyampe di rumah ketika matahari sudah terbenam.

Dalam cerita nya, teman saya itu sebagai seorang ibu terkadang mengeluh karena setiap hari itu seakan-akan dikejar oleh waktu. Setiap pagi harus bangun cepat untuk memasak nasi dan lauknya, dan mempersiapkan keperluan anak-anaknya berangkat ke sekolah.

Mulai dari menyiapkan sarapan, baju sekolah anak, mengantar anak sekolah karena kebetulan memang sekolah anaknya dan kantor dimana kami bekerja searah dan tidak terlalu jauh.

Setiap hari setibanya dirumah pulang dari kantor, teman saya itu hanya punya waktu bermain dengan anak-anak sekitar 30 menit dan paling lama hanya 1 jam. Karena setelah itu anak-anaknya sudah waktunya untuk tidur.

Hari Senin sampai jumat dilalui dengan rutinitas seperti itu pulang kantor selalu diatas jam 6 sore atau matahari sudah menampakkan sinar wajahnya, tiba waktunya untuk berakhir pekan dari segala rutinitas.

Bahkan akhir pekan pun tidak lagi memberikan kesempatan untuk bersantai kepada teman saya itu. karena setiap hari sabtu, dia selalu disibukkan dengan pekerjaan dirumah yang cukup banyak. Mulai dari mencuci baju yang ditumpuk sejak hari Senin sampai dengan jumat, hingga menyetrika pakaian yang kering dicuci minggu yang lalunya.

Belum lagi setiap hari sabtu harus belanja ke pasar untuk kebutuhan persediaan makanan selama beberapa hari harus dijalaninya setiap akhir pekan yaitu hari sabtu.

Bekerja keras bagai kuda, cerita lirih dari teman saya itu mengisi hampir satu jam obrolan kami disore itu. ungkapan itu sepertinya memang masih memiliki relevansi dalam kehidupan manusia terkhusus para pekerja pria terlebih pekerja wanita.

Sebagai contoh negara jepang yang memiliki budaya gila kerja yang berpengaruh terhadap tingkat stres yang tinggi karena jam kerja yang berlebihan. Tadashi Ishii, Presiden dan CEO Dentsu mengundurkan diri lantaran kasus bunuh diri seorang pekerjanya. Pengunduran diri itu dilakukan sebagai pertanggungjawaban sang CEO, karena pemicu bunuh diri karena jam kerja yang berlebihan di perusahaan periklanan berbasis di Tokyo itu.

Bunuh diri itu dilakukan oleh Matsuri Takahashi seorang perempuan berusia 24 tahun yang baru lulus pendidikan, yang mengakhiri hidupnya pada Natal 2015 silam karena lembur 105 jam setiap bulan.

Tentu ini tidak diharapkan terjadi dan dialami oleh pekerja di indonesia. Karena bagaimanapun bekerja itu penting tetapi tetap mengutamakan worklife balance dan kesehatan tubuh dan jiwa.

Meniadakan worklife balance karena waktu quality time tersita oleh pekerjaan dikantor, merupakan masalah serius yang harus dipikirkan oleh para pemberi kerja atau perusahaan terkhusus oleh pemerintah untuk membuat sebuah regulasi yang mengakomodir keluh kesah dan kebutuhan para pekerja.

Karena ketika situasi ini dibiarkan terlalu lama, akan membuat tingkat stres pekerja itu akan semakin tinggi tentu mempengaruhi tingkat produktivitas para pekerja dan akan berdampak kepada tinggi atau rendahnya pencapaian tujuan sebuah perusahaan.

Bukan hanya tingkat produktivitas yang ditimbulkan, pada level yang parah, stres yang diakibatkan oleh rutinitas yang terbebani oleh jam kerja akan mempengaruhi kesehatan tubuh dan jiwa. Kelelahan karena tidak ada waktu untuk bersantai lebih cenderung mudah bagi penyakit untuk menyerang tubuh.

Apakah saatnya memberlakukan hari kerja hanya 4 hari yaitu hari Senin sampai dengan Kamis?

Ini semua tergantung kepada pemerintah selaku pembuat regulasi sebagai pelaksana hubungan tripartit, yaitu pengusaha, pekerja dan pemerintah.

Kalaupun tidak mengubah undang-undang tentang ketenagakerjaan yang mengatur jam kerja itu 40 jam selama seminggu, setidaknya bisa dipadatkan jam kerja yang biasanya hanya 8 jam Senin sampai dengan jumat menjadi 10 jam dengan hari kerja Senin sampai dengan Kamis.

Atau alternatif yang paling ekstrim adalah merevisi undang-undang ketenagakerjaan yang mengurangi jumlah jam kerja dari 40 jam kerja Senin sampai dengan Kamis menjadi 32 jam dengan hari kerja Senin sampai dengan Kamis.

Perpetual Guardian, firma yang berbasis di Selandia Baru yang bereksperimen memotong satu hari kerja dengan menerapkan hari kerja Senin sampai dengan Kamis.

Adapun cara kerjanya adalah selama dua minggu di bulan Mei, perusahaan meminta 240 pekerja kantornya untuk bekerja sepanjang delapan jam selama empat hari, bukan lima hari. (Para pekerja dibayar selama lima hari)

Para peneliti dari University of Auckland dan Auckland University of Technology mensurvei para karyawan sesudahnya.

Hasilnya: 24% mengatakan keseimbangan kehidupan pribadi dan pekerjaan mereka telah meningkat, dan 7% merasa stresnya berkurang. Sementara itu, pimpinan perusahaan melaporkan tidak ada penurunan produktivitas.

Perusahaan yang mencoba bereksperimen dengan penerapan hari kerja sebanyak 4 hari adalah Microsoft. Perusahaan software raksasa itu mengimpelentasikan uji coba program empat hari kerja dalam seminggu.

Dilansir dari kompas.com, dalam eksperimennya mulai bulan Agustus lalu, sebanyak 2.300 pekerja di Microsoft mendapat jatah libur tambahan pada hari Jumat setiap pekannya, tanpa dipotong gaji. Ide itu diistilahkan mereka dengan sebutan "Work Life Choice Challenge".

Alhasil, selama eksperimen yang dilakukan berbulan-bulan, produktivitas pegawai meningkat 40 persen dengan cara ini. Bukan cuma itu, kosongnya perkantoran selama tiga hari dalam sepekan membuat konsumsi listrik di kantor Microsoft turun 23 persen.

Hasil dari eksperimen yang dilakukan oleh 2 perusahaan raksasa diatas adalah bukti bahwa mengurangi hari kerja dari 5 hari bahkan 6 hari kerja di Indonesia menjadi 4 hari kerja dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi tingkat stres pekerja.

Ini menjadi perhatian serius dari pemerintah dan perusahaan agar dapat mempertimbangkan dan segera mewacanakan perubahan sistem jam kerja dan saatnya memberlakukan hari kerja Senin sampai dengan Kamis bagi pekerja.

Pekerja yang sehat dan produktif tentu akan membawa dampak positif bagi pencapaian tujuan sebuah perusahaan.

Semoga...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun