Mohon tunggu...
Hery Sinaga
Hery Sinaga Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri Sipil

-Penulis konten -saat ini sedang suka-sukanya menggeluti public speaking -Sedang menyelesaikan buku motivasi -karya novel : Keluargaku Rumahku (lagi pengajuan ke penerbit)

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Bekerja Hari Senin-Kamis, Bisa Pacu Produktivitas Kerja

12 Februari 2021   19:00 Diperbarui: 12 Februari 2021   23:41 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mulai dari menyiapkan sarapan, baju sekolah anak, mengantar anak sekolah karena kebetulan memang sekolah anaknya dan kantor dimana kami bekerja searah dan tidak terlalu jauh.

Setiap hari setibanya dirumah pulang dari kantor, teman saya itu hanya punya waktu bermain dengan anak-anak sekitar 30 menit dan paling lama hanya 1 jam. Karena setelah itu anak-anaknya sudah waktunya untuk tidur.

Hari Senin sampai jumat dilalui dengan rutinitas seperti itu pulang kantor selalu diatas jam 6 sore atau matahari sudah menampakkan sinar wajahnya, tiba waktunya untuk berakhir pekan dari segala rutinitas.

Bahkan akhir pekan pun tidak lagi memberikan kesempatan untuk bersantai kepada teman saya itu. karena setiap hari sabtu, dia selalu disibukkan dengan pekerjaan dirumah yang cukup banyak. Mulai dari mencuci baju yang ditumpuk sejak hari Senin sampai dengan jumat, hingga menyetrika pakaian yang kering dicuci minggu yang lalunya.

Belum lagi setiap hari sabtu harus belanja ke pasar untuk kebutuhan persediaan makanan selama beberapa hari harus dijalaninya setiap akhir pekan yaitu hari sabtu.

Bekerja keras bagai kuda, cerita lirih dari teman saya itu mengisi hampir satu jam obrolan kami disore itu. ungkapan itu sepertinya memang masih memiliki relevansi dalam kehidupan manusia terkhusus para pekerja pria terlebih pekerja wanita.

Sebagai contoh negara jepang yang memiliki budaya gila kerja yang berpengaruh terhadap tingkat stres yang tinggi karena jam kerja yang berlebihan. Tadashi Ishii, Presiden dan CEO Dentsu mengundurkan diri lantaran kasus bunuh diri seorang pekerjanya. Pengunduran diri itu dilakukan sebagai pertanggungjawaban sang CEO, karena pemicu bunuh diri karena jam kerja yang berlebihan di perusahaan periklanan berbasis di Tokyo itu.

Bunuh diri itu dilakukan oleh Matsuri Takahashi seorang perempuan berusia 24 tahun yang baru lulus pendidikan, yang mengakhiri hidupnya pada Natal 2015 silam karena lembur 105 jam setiap bulan.

Tentu ini tidak diharapkan terjadi dan dialami oleh pekerja di indonesia. Karena bagaimanapun bekerja itu penting tetapi tetap mengutamakan worklife balance dan kesehatan tubuh dan jiwa.

Meniadakan worklife balance karena waktu quality time tersita oleh pekerjaan dikantor, merupakan masalah serius yang harus dipikirkan oleh para pemberi kerja atau perusahaan terkhusus oleh pemerintah untuk membuat sebuah regulasi yang mengakomodir keluh kesah dan kebutuhan para pekerja.

Karena ketika situasi ini dibiarkan terlalu lama, akan membuat tingkat stres pekerja itu akan semakin tinggi tentu mempengaruhi tingkat produktivitas para pekerja dan akan berdampak kepada tinggi atau rendahnya pencapaian tujuan sebuah perusahaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun