Standarisasi Hanya Formalitas
Tiap awal perkuliahan tak sedikit dosen yang memulai kuliah dengan kontrak belajar yang menjadi unsur penilaian dosen pada mahasiswa. Beberapa dosen menggunakan standar penilaian yang berbeda-beda. Mulai kehadiran, tugas, praktikum, hasil ujian, juga berdasarkan keaktifan dalam perkuliahan, ada pula yang menilai berdasarkan etika ataupun prilaku mahasiswa.
Masing-masing dosen memiliki aspek penilaiannya sendiri. Hal itu juga yang sempat memusingkan Deni, salah satu mahasiswa Fakultas Hukum Unhas angkatan 2008. Saat melihat kenyataan bahwa nilai E terpampang disamping namanya pada mata kuliah Hukum perancangan undang-undang. Padahal dosen pengasuh mata kuliah hanya menghadiri delapan kali dari 16 kali pertemuan yang ada, atau minimal dosen pun harus memenuhi 85% kehadiran atau 14 kali pertemuan. Dengan kondisi seperti itu, seharusnya nilai pun tak pantas keluar, artinya tidak memenuhi persyaratan. Lantas nilai yang keluar berasal dari mana, apakah hanya sekedar hasil ujian semata.
Sebenarnya standarisasi telah ada sejak mahasiswa megikuti perkuliahan. Namun sifat objektivitas dosen menjadi patokan ketika dosen memberikan nilai. Padahal Prof Dadang Ahmad Suriamihardja jelas mengatakan bahwa transparansi pemberian nilai itu menjadi tanggung jawab moral yang seharusnya dimiliki oleh setiap dosen, jika ternyata di lapangan masih ada dosen yang belum memberlakukan hal semacam ini, maka semua dikembalikan kepada dosen yang bersangkutan.
Kalau seperti ini, standarisasi yang dibuat diawal perkuliahn jadi teka-teki. Jika aktif dalam perkuliahan dan memenuhi standar, belum pasti lulus dalam suatu mata kuliah tersebut. Semoga saja pihak birokrasi mendengar riak-riak mahasiswa yang telah menjadi korban atas ketidakadilan ini. (UST, TRI/HSP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H