Mohon tunggu...
Hery Azwan
Hery Azwan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ada Adegan Mesra di Emirgan Park

19 Agustus 2015   20:41 Diperbarui: 19 Agustus 2015   20:41 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah merasa cukup beristirahat di hotel kami bergegas menuju Emirgan Park. Waktu menjukkan pukul 15.30, tapi azan Ashar belum terdengar. Waktu ashar di Istanbul rupanya sekitar pukul 17.00. Kami menyetop taksi di depan hotel dan memastikan kalau sopir taksi paham tujuan yang kami maksud. Sopir taksi yang sudah sepuh membawa taksi dengan kecepatan tinggi di highway Istanbul yang mulus dan masih kosong. Konon, jika kita berada di jalan ini bertepatan dengan waktu pulang kerja, kita harus siap terjebak macet. Sebagian besar perkantoran ada di sisi Eropa dari Istanbul. Sementara perumahan ada di sisi Asia yang lebih murah harga tanahnya. Karena itu, setiap pagi terjadi mobilisasi masa yang besar dari Asia ke Eropa, begitu juga sebaliknya di sore hari, dari Eropa ke Asia.
Jarak sekitar 20 km dari hotel cukup sesuai dengan argo sekitar 40 lira. Bandingkan dengan apa yang kami alami sebelumnya, taksi dari Taksim Square tadi yang cuma 500 meter tapi dikenakan 30 lira karena harus berputar2 tak jelas.

Petunjuk jalan menuju Emirgan Park relatif jelas sehingga kami merasa yakin kalau taksi menuju arah yang benar. Petunjuk jalan menuju Ankara juga terlihat jelas. Hanya saja, jalan ke Ankara belok kanan, menyeberangi selat Bosphorus, di wilayah Asia. Sementara Emirgan tidak sampai menyeberang, tapi masih di wilayah Eropa.

Menjelang tiba di Emirgan ada juga park yang lain yakni Istinye Park. Awalnya kami mengira Istinye taman juga, tapi ternyata sebuah mall kelas atas. Penamaan mall saat ini, termasuk di Indonesia memang tidak terpaku pada kata mall atau plaza tapi bisa juga kata lain seperti Place, Kota, Festival, City, Walk, Square, dsb.

Tak sampai 30 menit perjalanan, tibalah kami di Emirgan Park yang merupakan taman umum terluas di Istanbul. Sebenarnya banyak taman di Istanbul yang menyajikan tulip sebagai andalannya, tapi Emirgan Park lah yang paling kesohor.

Setelah turun dari taksi dada kami langsung bergemuruh melihat dari kejauhan hamparan tulip warna warni yang menyerupai karpet. Betapa indahnya. Beberapa pengunjung mencoba mendekat dan memetik bunga tulip tapi security dengan cekatan menghalau dan meniup pluit tanda peringatan.

Terlalu banyak spot indah di taman ini sehingga kita bingung harus berfoto di mana.

Taman ini dibangun di masa pemerintahan Turki Usmani, dan terus dipelihara hingga kini. Menariknya, taman ini tidak memungut tiket masuk, jadi pengunjung benar2 dimanjakan. Rombongan keluarga berhijab hitam terlihat sedang makan bersama alias botram. Sekumpulan anak SD juga sedang dihalau oleh gurunya. Semuanya cantik dan ganteng. Ingin rasanya aku bawa satu untuk oleh2 ke Indonesia.

Samar2 terdengar alunan musik tradisional Turki. Iramanya mirip lagu padang pasir. Aku menduga musik ini hanya disetel dari CD, tetapi ternyata dimainkan secara live.

Dari sebuah spot di Emirgan ini kita dapat memandang dari kejauhan selat Bosphorus, meski terhalang oleh pepohonan. Jembatan Sultan Mehmet Fatih yang menghubungkan selat Bosphorus juga terlihat dengan perkasanya. Tingginya dari permukaan laut sekitar 96 meter sehingga kapal bisa leluasa berlalu lalang di bawahnya. Kalau malam barangkali pemandangannya akan lebih indah. Kelap kelip mobil yang berseliweran dan lampu penanda di jembatan menghasilkan pemandangan yang menakjubkan.

Di taman ini kita juga bisa melihat beberapa pasangan yang sedang melakukan foto prewedding. Jangan bayangkan pengantin yang menggunakan jilbab seperti di Indonesia karena di sini pakaiannya biasanya ala Barat, yang pria mengenakan jas hitam, yang wanita mengenakan gaun putih berdada rendah.

Pemandangan yang lebih menakjubkan adalah beberapa pasang muda-mudi yang sedang memadu kasih. Tak jarang mereka saling memagut selama beberapa menit, tak menghiraukan pengunjung lain yang lewat di sekitar mereka. Ya, Turki memang sangat sekulernya. Selama tidak merugikan orang lain, kita boleh melakukan apapun tanpa khawatir ditegur apalagi digelandang.

Tulip hanya mekar setahun sekali, yakni di bulan April-Mei. Di luar bulan itu, kita tak bisa menyaksikan tulip. Setiap tahun diselenggarakan festival tulip atau Lale dalam bahasa Turki. Tahun ini, festival yang cukup kesohor adalah festival tulip motif karpet yang terletak di depan museum Hagia Sofia. Jika difoto dari atas, hamparan tulip ini akan terlihat seperti karpet. Sungguh indah.

Di Emirgan, dan setiap tempat wisata di Turki pada umumnya, dijual berbagai souvenir, mulai dari gantungan kunci, tshirt, hiasan kulkas, keramik, foto, kartu pos, dsb.

Kontur tanah di Emirgan memang turun naik. Posisinya memang di atas bukit. Karena itu, dibutuhkan stamina yang kuat untuk mengelilingi taman. Tak sampai setengah taman yang kami kelilingi, eh ternyata lelah juga. Terpaksa kami memutuskan untuk pulang. Kali ini kami akan mampir ke Istinye Park lebih dulu untuk cuci mata sekaligus santap malam.

Jalanan menuju Istinye Park ternyata sudah macet. Perlahan kami mendekat ke Istinye Park. Sebelum masuk ke mall ini kita discan dulu dengan XRay layaknya di bandara. Ini dilakukan dengan serius, bukan seperti di mall Indonesia yang terkadang cuma basa-basi. Sebagai negara yang dekat dengan konflik, apalagi bertetangga dengan Syuriah yang sedang terlibat perang, Turki mau tak mau harus mengantisipasi keamanan dengan baik. Jangan sampai ada teroris yang membawa bom ke mall.

Mall ini dihuni oleh berbagai brand ternama, termasuk kedai kopi yang ada di mana2 itu. Kedai kopi ini bisa kita jadikan penanda untuk saling menunggu atau janjian. Biasanya kaum hawa belanja, kita kaum adam menunggu di kedai kopi ini.

Sekitar pukul 20.00 kami bersantap malam di foodcourt yang terletak di lantai dasar. Beberapa kedai waralaba internasional ada di sini, tentu saja tanpa menu nasi. Karena tertarik dengan tampilannya, aku memesan menu daging panggang ala Turki. Setelah dicoba, ternyata rasanya hambar, dan bau prengus daging masih terasa. Memang masakan Turki hanya menang di tampilan. Masalah rasa, masakan Indonesia jauh di atas. Ya iyalah wong kita dibesarkan dengan masakan Indonesia.

Menjelang pukul 21.00 kami keluar mall dan menyetop taksi. Jam segini belum terlalu gelap rupanya karena magrib baru saja lewat. Perjalanan ke hotel sangat lancar. Arus pulang kerja sudah mulai mencair. Di sepanjang jalan terlihat stadion Turk Telecom, tempat pertandingan liga champion sering dimainkan. Sesampai di hotel kami langsung tumbang kecapekan dan harus memulihkan tenaga untuk city tour besok di seputar Sultanahmet Square.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun