Mohon tunggu...
Hery Azwan
Hery Azwan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Liburan di Kampung Gajah

4 Januari 2011   04:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:59 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Tempat sebesar dan sebagus ini, musholanya  kecil banget deh”, kata seorang ibu yang sebel gara-gara dia harus berhimpit-himpitan saat melaksanakan ibadah sholat lohor di Kampung Gajah.

“Tolong bilang ya sama atasannya agar musholanya diperbesar dan tempat wudunya dipisah antara laki-laki dan perempuan”, tunjuk sang ibu kepada seseorang berbaju putih yang diduga sebagai pegawai cleaning service tempat wisata tersebut.

Ternyata orang tersebut pengunjung juga. Gakpapalah, yang penting si ibu telah menumpahkan uneg-unegnya. Untung orang yang diduga pegawai tersebut tidak marah diteror seperti itu.

Kampung Gajah merupakan nama baru dalam peta wisata di Bandung. Belum sampai setahun, gemanya telah menyebar kemana-mana sehingga pas pada tanggal 1 Januari yang lalu, pengunjung tumplek di sini. Tak ada ruang tersisa untuk sekadar bergerak dengan leluasa. Parkiran di sepanjang bukit telah penuh. Saat itu sekitar pukul 12.00, kami harus menunggu lebih setengah jam untuk mencari tempat parkir setelah masuk dengan tiket seharga 5.000 per orang dan 10.000 per mobil.

Kurang jelas bagaimana asal usul nama Kampung Gajah. Menurut pemiliknya, Jeffry Kurniawan, nama ini secara tidak sengaja mencuat gara-gara banyak patung gajah menghiasi pintu gerbang. Gajah identik dengan besar, jadi sesuailah dengan lokasi wisata ini yang luasnya sekitar 85 hektar dan akan dikembangkan lagi hingga 220 hektar. Wow, kebayang kan luasnya.

Kami berangkat dari rumah sekitar pukul 11 dan tiba sekitar pukul 12 lewat jalur tengah yang melewati Cihanjuang, Cimahi sehingga tidak terkena macet. Padahal, jika lewat Setiabudi, macetnya sudah dimulai dari sebelum terminal Ledeng. Barulah menjelang tiba di gerbang masuk, terlihat sedikit antrian. Kendaraan yang masuk dan keluar silih berganti memenuhi jalan yang sempit di lereng bukit jalan Sersan Bajuri. Saat malam  pergantian tahun, konon kemacetan berlangsung hingga pukul 04 pagi.

Wisata Kuliner

Kampung Gajah memang tempat wisata yang lengkap. Wisata kuliner di sini bukan sebagai pelengkap seperti di tempat wisata lain, tetapi jadi suguhan utama. Semua jenis menu dapat ditemukan di sini dari menu tradisional, menu Asia dan menu Eropa. Bakso, sate, nasi timbel, berdiri sejajar dengan teriyaki, bento, unagi, dan udon.  Sosis bakar dapat ditemukan di gerai-gerai, sementara wagyu seharga Rp 350.000 juga dapat ditemukan di restoran Jepang yang ada di sini.

Bisa dibilang, harga makanan di sini setara dengan harga makanan di café-café dan restoran di sepanjang Sersan Bajuri seperti the Peak, Kampung Daun dan Sapu Lidi. Sate ayam 5 tusuk dengan lontong dijual seharga Rp 23.000. Jus-jusan dijual seharga 15.000 s.d. 20.000. Cappucino dan Latte dijual mulai dari harga Rp 23.000-an.

Karena masih pendatang baru, kami sekeluarga tidak punya gambaran akan duduk di mana untuk melepas lelah. Begitu melihat ada restoran kosong, langsung kami datangi. Di sebuah restoran Jepang kami mengincar sebuah saung ala tatami. Tak dinyana, seorang waitress datang dan memberitahu bahwa syarat untuk duduk di saung nilai transaksi minimal 500.000. Bah, mahal kali? Kami kan tak semuanya doyan makanan Jepang. Akhirnya kami memilih pindah ke kursi dan meja biasa.

Wahana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun