Mohon tunggu...
Herya Media
Herya Media Mohon Tunggu... -

Penulis, Editor, Penerbit, Self-Publishing House, Komunitas Kreatif HeryaMedia

Selanjutnya

Tutup

Money

Penerbitan Indie Vs Penerbit Major

24 Februari 2014   19:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:31 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Penerbitan Indie Vs Penerbit Major–Bagi Anda yang sudah punya naskah, jika disodorkan pertanyaan diatas, apa jawabannya? Lebih memilih menerbitkan naskah di penerbit major atau penerbit indie?

Tentu saja jawabannya terserah Anda. Adapun kami tidak bermaksud untuk mempengaruhi atau bahkan sampai mengintervensi karena tidak punya kuasa untuk itu. Dalam tulisan sederhana ini kami hanya akan menjelaskan secara ringkas apa beda antara penerbitan major dan penerbit indie—yang sangat disayangkan sekali sekarang ini belum banyak diketahui oleh mayoritas penulis (kalaupun sudah diketahui hanya bagian permukaannya saja).

Untuk lebih mudahnya, perbedaan antara penerbit indie dan penerbit major ibarat tukang bandros perseorangan (atau lebih) dengan tukang bandros dalam skala besar (industri). Tukang bandros perseorangan (indie) tentu saja bebas mengkreasikan segala inovasi terkait produknya, terkait gerobaknya, terkait harga jualnya, terkait bahan baku, jadwal berdagang dan seterusnya. Segalanya ditentukan sendiri.

Alhasil karena apa-apanya dikerjakan sendiri maka segala keuntungan yang masukpun dinikmati sendiri. Keuntungan yang dia peroleh paling banter dipotong biaya modal yang memang harus dikeluarkan. Tak ada biaya promosi. Tak ada biaya calo dan seterusnya. Rumus profitnya sangat sederhana: pendapatan kotor – biaya modal = keuntungan bersih. Misalnya saja, dalam sehari dia mampu menjual 500 buah bandros dengan harga @Rp 500. Maka total perhari itu ia mendapatkan pendapatan kotor sebesar Rp 250.000. katakanlah biaya modal sebesar Rp 50.000. Maka keuntungan bersihnya = Rp 250.000 – Rp 50.000 = Rp 200.000.

Berbeda dengan tukang bandros dalam skala industri. Banyak variabel yang terlibat didalamnya mulai dari proses produksi yang melibatkan banyak orang sampai proses penjualannyapun (karena bandrosnya banyak) tentu melibatkan banyak orang juga. Paling tidak ada banyak agen atau penjual yang bernaung dibawahnya, yang tentunya harus membagi sebagian keuntungannya bagi mereka. Sangat mungkin pendapatan kotornya besar. Namun berbanding lurus dengan pengeluaran yang juga besar nominalnya. Misalnya pendapatan kotor perhari Rp 5.000.000. Bisa saja pengeluarannya setengahnya. Artinya dia hanya memperoleh Rp 2.500.000.

Kelihatannya memang besar namun tahukah Anda bahwa industri menengah atau besar diawali dengan modal yang besar pula. Kalau modal yang besar itu berasal dari uang pinjaman yang berbunga maka keuntungan bersih itu harus disisihkan sebagiannya untuk membayar utang pokok dan bunganya. So, sami mawon dengan keuntungan tukang bandros perseorangan yang memang memperoleh untung lebih kecil namun tidak usahanya tidak diawali dengan hutang yang besar sehingga kewajiban mencicil hutan menjadi nol (0).

Kurang lebih seperti itu gambaran perbandingan antara penerbitan indie dengan penerbitan major. Penulis yang menerbitkan bukunya secara indie harus mengurus segala sesuatunya sendiri (atau jika tak mau repot Anda bisa menunjuk Herya Media untuk mengurus tetek bengek naskah Anda sampai akhirnya menjadi buku laiknya di toko-toko buku besar: Gramedia). Penerbitan indie harus mengurusi naskah mulai dari naskah ketikan microsoft word, pengeditan, setting/ layout, pembuatan cover, masuk ke percetakan sampai akhirnya binding.

Penerbit indie juga harus menentukan harga jual bukunya dengan hitung-hitungan tersendiri, plus merumuskan bagaimana cara menjualnya. Menjadi penerbit indie dengan kondisi infrastruktur yang serba terbatas harus kreatif dan inovatif supaya paling tidak mampu mengimbangi agresifitas penerbit dan toko buku besar (syukur-syukur bisa memenangkan persaingan). Apa yang telah dikerjakan oleh Dewi “Dee” Lestari atau Ust. Toha Nasruddin yang memiliki nama pena Abu al-Ghifari ialah role model pebisnis self-publishing ideal.

Mereka mampu meramu ide di kepala, diturunkan lewat tulisan menjadi buku kemudian menjualnya secara mandiri. Ust. Toha Nasruddin bahkan jarang menjual buku-bukunya di toko buku besar seperti Gramedia, Gunung Agung dan lainnya. Dia lebih memilih memasarkan buku-bukunya dengan menggandeng toko ritel di daerah-daerah (captive market yang tidak terjangkau toko buku besar seperti Gramedia).

Hasilnya? Silakan Anda datang sendiri ke rumah plus kantornya di daerah Bandung Selatan. Dalam 3 tahun dia mampu mengumpulkan omset Rp 5 miliar dan sekarang bisnisnya makin menjadi. Yang dia punya bukan hanya penerbitan, tapi juga percetakan, bisnis online, dan lainnya. Dia bisa seberhasil itu karena memang passionnya ada disitu. Seorang self-publisher memang harus memiliki passion sebagai seorang pemasar juga. Jadi tidak hanya menulis saja melainkan memikirkan dari hulu sampai hilirnya. Dari produksi sampai marketingnya.

Kami kira kerja keras untuk menerbitkan dan menjual buku secara mandiri akan sebanding dengan profit di depan mata yang siap dipetik. Anda harus yakin bahwa dalam setiap kerja keras disitulah tangan-tangan Tuhan bekerja. Akan ada banyak keajaiban yang diperoleh secara tak terduga. Akan ada banyak pertolongan Tuhan meskipun sebelumnya tak terfikirkan. Orang-orang yang sudah terbiasa bekerja keras sudah mafhum dengan keajaiban-keajaiban dimaksud.

Bagaimana dengan menerbitkan buku di penerbit major. Penerbit besar yang sudah punya nama. Tentu sah-sah saja jika Anda memiliki keinginan untuk menerbitkan di penerbit besar karena memang seperti itulah cita-cita penulis pemula. Mereka, para penulis pemula itu sangat ingin menerbitkan karyanya di penerbit besar yang jika itu terjadi maka namanya sebagai penulis akan langsung menanjak. Pun dengan pemasaran bukunya yang sudah pasti akan dipajang di jaringan toko buku besar.

Idealnya memang seperti itu. Naskah Anda diterbitkan di penerbit besar dan beken kemudian buku Anda dipajang di rak-rak toko buku mereka. Namun tahukah Anda bagaimana prosesnya?

Ketahuilah bahwa perlu waktu lama untuk menerbitkan satu naskah dari penulis pemula—sebagus apapun naskah itu. Mengapa? Yang namanya penerbit itu lembaga bisnis dan bukan lembaga swadaya yang tak masalah sekalipun rugi. Keputusan menerbitkan buku dari seorang penulis pemula—kecuali bila naskahnya dianggap sangat marketable—seperti berjudi dengan risiko. Menerbitkan naskah seorang penulis pemula seperti mempromosikan calon presiden dari daerah yang sebelumnya nama dan wajahnya tak pernah tampil di media massa.

Makanya keputusan ya dan tidaknya sangat lama (minimal 3 bulan) karena selain alasan diatas, juga menimbang begitu banyaknya naskah yang masuk. Jadi Anda bisa membayangkan antrian panjang di ATM atau di stasiun kereta api ketika membeli tiket. Seperti itulah antrian naskah yang masuk ke penerbit besar itu. Jadi ada banyak pertimbangan yang mereka lakukan untuk menerbitkan naskah Anda.

Okelah, andai naskah Anda lolos untuk diterbitkan (silakan bergirang ria dulu). Akankah langsung mendapatkan uang atau royalti? Tunggu dulu. Kebelakangkan dulu pertanyaan soal royalti. Anda harus menunggu penjualan selama 6 bulan dulu baru setelah itu royalti akan dibayarkan. Meskipun memang tidak semua penerbit memberlakukan kebijakan seperti itu. Ada juga diantara mereka yang memberikan uang muka kepada penulisnya.

Setelah 6 bulan baru hitung-hitungan royalti boleh Anda harapkan. Syukur kalau bukunya sangat bagus di pasaran. Anda akan mendapatkan royalti berjuta-juta. Bagaimana kalau jeblok penjualannya, yang 2 minggu hanya kejual 10 atau 20 eksemplar saja? Tentu buku Anda akan segera menghilang dari rak di toko buku karena tersalip oleh buku-buku baru lainnya.

Penerbit besar itu hanya akan memberikan royalti sebesar 10% saja kepada penulis. Berarti jika buku Anda dalam 6 bulan terjual sampai jumlah nominal Rp 5 juta maka hak Anda atas royaltinya hanya Rp 500 ribu. Pertanyaannya, cukupkah uang Rp 500 ribu untuk hidup selama 6 bulan? Kalau Anda hidup di zaman batu sih uang segitu leluasa buat bangun rumah juga. Nah sekarang?

So, mulai saat ini berfikirlah untuk mencari cara bagaimana supaya bulir-bulir pemikiran Anda segera dinikmati oleh khalayak. Pun dengan uang hasil penjualannya supaya segera masuk dompet. Satu-satunya jalan ya self-publisher. Anda menerbitkan buku sendiri (dengan menggandeng Herya Media sebagai mitra) dan juga menjualnya sendiri. Jika Anda memercayakan penerbitan naskah Anda kepada kami maka kamipun akan membantu memasarkan buku tersebut secara online (di website sendiri maupun di jaringan toko buku online kami yang sudah punya nama), bisa juga dibedah, diresensi oleh tim penulis resensi andal kami dan seterusnya.

Info lebih lanjut klik DISINI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun