Mohon tunggu...
Hery Supriyanto
Hery Supriyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Warga net

Liberté, égalité, fraternité ││Sapere aude ││ Iqro' bismirobbikalladzi kholaq ││www.herysupri.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Perlu "Win-win Solution" atas Kasus Rempang

21 September 2023   10:25 Diperbarui: 21 September 2023   20:28 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar Kompas.id (16/09/23)

Bentrokan antara masyarakat dan aparat Kamis lalu (7/09/23) di Pulau Rempang, Kepri, setidaknya menyisakan dua polemik. Yang pertama, perihal kampung tua perlu digusur atau tidak. Yang kedua adanya isu akan hengkangnya investor, yang berakibat hilangnya potensi investasi sekitar ratusan triliun rupiah.

Kedua masalah itu sama-sama pelik dan rumit. Yang pertama berkenaan dengan keberadaan kampung tua di Pulau Rempang, setidaknya sudah ada sebelum lahirnya Republik Indonesa. Hal ini setidaknya diperkuat oleh adanya catatan dari masa kolonial Belanda serta keberadaan bukti fisik berupa perladangan dan pemakamam kuno.

Posisi masyarakat hukum adat itu sebenarnya sudah kuat di konstitusi (Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3), Pasal 32 ayat (1) dan (2)). Masih ada pertanyaan tersisa, apakah keberadaan masyarakat dan kampung tua di Pulau Rempang itu termasuk katagori masyarakat hukum tua sesuai konstitusi atau tidak? Dan itu memang perlu pengkajian lebih lanjut.

Yang kedua berkenaan dengan perihal investasi. Walaupun dana itu dari luar negeri, dampaknya cukup besar dari segi ekonomi, mulai dari terciptanya lapangan pekerjaan, penerimaan pajak, dan juga adanya alih teknologi dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA).

Adanya investasi yang jumlahnya ratusan triliun di Pulau Rempang itu diharapkan dapat menciptakan kesejahteraan tidak saja masyarakat sekitar secara khusus, tetapi juga masyarakat Indonesia pada umumnya secara keseluruhan. Artinya, masyarakat yang di luar Rempang, bahkan yang jaraknya berjauhan, langsung atau tidak langsung bisa merasakan dampaknya.

Ditilik secara umum, memang dampak positifnya cukup besar rencana investasi di Pulau Rempang itu. Namum demikian, kita harus memikirkan dampak yang lain (ada pihak yang dirugikan). Dari kasus ini, banyak pihak yang menyayangkan adanya kekerasan dari pihak aparat. Dua ormas keagamaan -- NU dan Muhammadiyah-- sudah memberikan pernyataan agar kasus ini ditangani dengan cara yang lebih manusiawi.

Oleh karena itu, dalam menyikapi masalah di Pulau Rempang ini, khususnya pemerintah pusat, bisa memberikan jalan keluar yang sifatnya win-win solution. Selain itu, cara yang dipakai harus elegan dengan pendekatan dialogis.

Sumber Kompas.id (16/09/23)
Sumber Kompas.id (16/09/23)

Kampung tua bisa dipertahankan

Dalam rencananya, Pulau Rempang ini seluruhnya akan diserahkan ke pihak investor untuk dikelola. Artinya, seluruh masyarakat yang sebelumnya tinggal di Pulau Rempang, termasuk di kampung tua, harus pindah tempat (relokasi).

Bisa jadi solusinya adalah Pulau Rempang tidak seluruhnya dikelola oleh investor. Beberapa bagian yang terdapat kampung tua tidak perlu menjadi bagian proyek itu. Kawasan yang sudah terlanjur menjadi kampung tua biarlah menjadi apa adanya.

Dalam hal ini, pemerintah bisa menggandeng lembaga adat untuk menginventarisasi warga dan kebudayaan di dalamnya. Sekitar tujuh ribuan warga Rempang bisa didata dengan detail. Jika memang itu pendatang, harus mau direlokasi. Sedangkan penduduk aslinya nantinya bisa mendiami kawasan kampung tua itu dengan status "keistimewaan" misalnya. Lebih mudahnya bisa dibuat seperti kawasan Suku Badui di Banten, Kampung Naga di Tasikmalaya, atau masyarakat Samin di daerah irisan Bojonegoro dan Blora.

"Kesalahan paradigma pembangunan yang semata-mata diorientasikan untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi adalah mengabaikan proses pembangunan yang baik dan berpihak pada kesejahteraan rakyat. Hal ini kemudian menyebabkan pelaksanaan pembangunan dilakukan dengan wajah yang bengis dan durhaka,"
-Cendekiawan Ali Syariati-

Investasi bisa dikaji ulang

Seperti yang sudah banyak diberitakan bahwa Pulau Rempang akan dibuat Kawasan Rempang Eco City yang terdiri atas kawasan industri dan wisata. Solusi normatif yang sama enaknya adalah industri tetap bisa dilanjutkan dengan tidak mengambil kawasan kampung tua yang telah ditetapkan itu.  

Industrialisasi bisa dilanjutkan dengan pemanfaatan SDA yang dikabarkan kaya akan pasir kwarsa sebagai bahan baku kaca. Dan selain itu pengembangan PLSTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) bisa diteruskan yang output listriknya bisa diekspor ke Singapura. Yang kita tahu Singapura sebagai negara maju perlu tenaga listrik yang mensyaratkan listrik ramah lingkungan.

Artinya, investasi tetap bisa dilanjutkan. SDA dan pasar juga sudah ada di depan mata. Hanya saja perlu negosisi khusus dan perjanjian baru yang mana semua pihak tidak merasa dirugikan.

Dalam hal ini pemerintah dapat melobi investor untuk tetap berinvestasi di Pulau Rempang dengan memberi catatan khusus yang telah dikaji ulang. Bahwa tidak seluruhnya Pulau Rempang dikuasai investor, ada bagian kecil yang tetap dipertahankan sebagai kampung. Yang intinya pemerintah bisa memberikan kepastian hukum kepada kedua belah pihak, baik warga asli dan kepada investor, demi ketenangan warga dan pengusaha.

Jalan layang yang terdapat rumah di tengahnya yang berlokasi di Haizhuyong Bridge, di kota Guangzhou, Provinsi Guangdong, China. Sumber foto ussfeed.c
Jalan layang yang terdapat rumah di tengahnya yang berlokasi di Haizhuyong Bridge, di kota Guangzhou, Provinsi Guangdong, China. Sumber foto ussfeed.c

Hidup berdampingan dalam dua kutub

Tidak selamanya hidup itu harus homogen. Sudah menjadi hukum alam di dunia ini ada dua keadaan yang saling berhadapan: kaya-miskin, baik-buruk, bodoh-pintar, gila-waras, dan seterusnya. Dua keadaan itu harus dikelola dengan baik, agar satu sama lain tidak saling menindas, dengan atas nama kelemahan dan kekuatan.

Jika win-win solution bisa diterapkan dengan baik, tentu konflik Rempang bisa diredakan. Penduduk asli yang boleh dibilang tradisional bisa mempertahankan tanah dan jati dirinya, sedangkan investor bisa memberikan modernisasi yang bisa berujung kesejahteraan yang berdampingan dalam dua kutub.

Dua kutub itu berupa kepentingan penduduk asli dan investor, yang diharapkan bisa hidup beriringan dalam dalam kondisi "kontras" sekalipun. Dalam pandangan konstitusi bisa mewujudkan keduanya dalam satu tarikan napas. Dalam pembukaan UUD 45 juga sudah digambarkan dengan lugas: melindungi segenap bangsa Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum.

Antara tradisional dan modern sebenarnya tidak perlu dipertentangkan begitu dalam. Tidak selamanya yang modern berlimpah harta itu bisa membuat kebahagiaan. Bisa jadi yang sederhana, atau terbelakang sekaligus tidak menyurutkan untuk berbahagia. Dalam konteks penduduk asli Pulau Rempang, adanya pemberian "harta" justru mereka tolak. Bisa jadi itu bukan yang diperlukan. Lahir, hidup, dan mati di tanah leluhurnya itu -bisa jadi yang diinginkannya. Dan biarkan mereka berbahagia dengan caranya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun