Setiap mudik mempunyai ceritanya sendiri. Menjelang mudik kali ini ada kisah yang menarik perhatian luas. Yang sudah pasti ada sesuatu (baik peristiwa atau seseorang) itu terjadi atau dilakukan karena tidak biasa.
Ramadan kali ini kita dapat perhatian ada berita di medsos dan media massa --terlepas katagori viral atau tidak- yang mengabarkan ada pengusaha asal Grobokan, Jawa Tengah yang membangun jalan desa sepanjang 1,8 km dengan lebar 4,5 meter. Â Yang menjadi perhatian lebih adalah biaya senilai Rp 2,8 miliar itu, dari dana pribadi.
Ia adalalah Joko Suranto seorang pengusaha sukses yang merantau ke Bandung. Bidang usahanya adalah real estate. Â Hatinya terketuk manakala sewaktu pulang kampung --beberapa waktu lalu- jalan dalam keadaan rusak. Keputusan pun diambil, dilakukan pengecoran jalan desa. Dan pada akhirnya sebelum mudik tahun ini, jalanan kampung halamannya sudah layak dipakai sebagaimana mestinya.
Mudik ajang "pamer" sukses
Tidak dapat dipungkiri bahwa ada sisi lain dari mudik yaitu ajang pamer kesuksesan. Pamer dalam hal ini bisa bermakna ganda: positif atau negatif.
Melakukan mudik tentu ada rasa bangga bila merantau itu ada hasilnya (baca: sukses). Berkelana di negeri orang biasanya melecut untuk sukses. Dan beberapa di antaranya tidak akan pulang sebelum sukses.
Maka tidak heran bila ajang mudik membawa hasil kesuksesan itu, untuk dapat "dipamerkan" dikampung halaman. Ajang "pamer" bisa berupa wujud yang bisa diperlihatkan: seperti membawa mobil, aksesoris, dan aneka barang oleh-oleh.
Ada rasa kebanggaan tersendiri -selain melepas rasa kangen- di kampung halaman bila bisa dinilai sukses. Tidak hanya untuk dirinya sendiri tapi bisa untuk kerabatnya turut merasa bangga.
Mudik yang keren
Apa yang dilakukan Joko Suranto boleh dibilang  cukup keren.  Ada ajang "pamer" dari arti dan maksud yang positif. Ia adalah figur perantau yang sukses. Dan ia ingin menunjukkan kesuksesannya dengan membangun kampung halamannya.
Ia rupanya ingin berbagi keseksesan dengan cara bisa membahagiakan orang banyak. Masalah jalan rusak yang berlarut, ia pecahkan dengan cepat. Dan tak tanggung tanggung dalam pengecoran jalan itu --hampir semua- berasal dari dana pribadinya.
Cara Joko Suranto ini diharapkan bisa menjadi contoh dan teladan, bagaimana mencintai kampung halamannya. Kesuksesan seseorang ditunjukkan dengan cara yang tidak sekadar membusungkan dada, yang terkadang membuat sinis lingkungan sekitar.
Dengan cara model memberi ala Joko Suranto ini akan membuat warga senang. Karena ada efek secara langsung ataupun tidak, yang bisa dirasakan oleh orang banyak. Kesuksesan model ini tentu yang diharapkan. Â Tidak hanya dinikmati sendiri tetapi bisa berbagi.
Ritual mudik bila dikemas dengan bagus maka akan ada saja jalan keluar dari permasalahan yang ada di kampung halaman. Jika ada yang tergetuk dan mau bertindak, masalah akan dapat selesai. Di sini kita perlu orang-orang seperti Joko Suranto, yang tidak sekadar hanya omong doang apalagi kritik.
Mudik kali ini merupakan mudik akumulasi yang tertunda. Maklum selama dua tahun lebaran, ada "larangan" mudik karena masa pandemi. Di sini akan ada ribuan orang yang mudik ke kampung halamannya masing-masing. Mereka akan membawa kesuksesan versinya sendiri.
Mudah-mudahan akan ada efek mudik yang lebih kreatif dan bermanfaat. Yang masih tetap menerapkan esensi sesungguhnya: silaturahmi. Jika belum bisa "sekelas" Joko Suranto, bisa juga "keroyokan" jika itu berhubungan dengan dana. Jika memang belum bisa,diupayakan dengan cara yang lain, atau setidaknya tidak membuat kehadiran kita merugikan orang lain dan sekitar.
Artikel ini merupakan bagian dari ikut serta dalam even Donasi Bolang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H