Mohon tunggu...
Hery Supriyanto
Hery Supriyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Warga net

Liberté, égalité, fraternité ││Sapere aude ││ Iqro' bismirobbikalladzi kholaq ││www.herysupri.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Yowis Ben", Film Cita Rasa Lokal yang Digarap Profesional

6 Maret 2018   09:18 Diperbarui: 6 Maret 2018   19:01 2016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walaupun itu cerita fiksi, sebisa mungkin dibuat paling realistis. Sesuai dengan kenyataan sehari-hari merupakan hal yang tersulit dalam menggarap sebuah film. Hal yang begitu terasa dekat dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa. Jika mengambil film tentang Ken Arok misalnya, maka yang paling original tentu menggunakan bahasa Jawa kuno. Dalam konteks kekinian, inilah yang ingin diangkat dalam film Yowis Ben dalam memperkokoh realitas cerita yang berlatar belakang di Malang, Jawa Timur.

Kehidupan keseharian di Malang adalah berbahasa Jawa yang punya karakter sendiri yang tidak sama dengan Jawa Solo ataupun daerah pantura. Menggunakan bahasa persatuan Indonesia di Jakarta merupakan suatu yang lazim yang merupakan Indonesia kecil. 

Dalam Yowis Ben ini malah sampai begitu detailnya sampai pada kebiasaan bergurau dalam kehidupan sehari-hari. Maka jangan heran bisa sering terdengar pisuhan jancok dalam setiap adegan ceritanya. Suatu gaya yang biasa dalam pergaulan di Jawa berbudaya arek dalam hal ini Jawa Malangan dan Suroboyoan.

Sumber: twitter.com/starvisionplus
Sumber: twitter.com/starvisionplus
Jika mengacu cerita, sifatnya bisa universal yang biasa terjadi di mana saja. Dikisahkan seorang anak yatim usia SMA Bayu (Bayu Skak) yang kehidupannya begitu sederhana yang tinggal di kampung. Ibunya hanya berjualan pecel di warung sederhana di rumah. Dan Bayu tergolong anak yang tidak tahu malu, maksudnya mau membantu jualan ibunya itu ke sekolah untuk dijual ke temen-temannya. Maka di sekolah Bayu di juluki pecel boy.

Celakanya lagi, tampang Bayu juga pas-pasan. Selayaknya anak baru gede (ABG) ia juga menyukai lawan jenis. Jurus gombalan melalui puisi arahan paklik (paman) nya justru tak mempan. Ia butuh eksistensi diri agar bisa dianggap punya nilai oleh teman-temannya, apalagi di sekolahnya ada anak baru yang kece dari Jakarta Susan (Cut Meyriska). Sahabat karibnya Doni (Joshua Suherman) juga punya masalah krisis kepercayaan diri, yang dikeluarganya merasa tidak diperhatikan orangtunya.

Ahirnya mereka berdua besepakat untuk membuat band untuk menunjukkan eksistensi mereka, sekaligus untuk menyaingi Roy (Indra Wijaya) pacar Susan yang juga jago nge-band. Personil tambahan pun dicari dan didapatkan Yayan (Tutus Thomson)  yang alim si penabuh bedug masjid menjadi drummer.

Karena tampang mereka bertiga pas-pasan, perlu dibantu satu lagi yang tampangnya keren. Dan didapatkan Nando (Brandon Salim) yang jago bermain keyboard.Dan berempat bersepakat band dinamai Yoswis Ben, yang dalam bahasa Indonesianya kurang lebih artinya ya sudah biarkan.

Untuk menujukkan eksistensi maka Yowis Ben ikut dalam festival band antar sekolah. Dan ternyata demam panggung yang terjadi, hasilnya amburadul yang justru band milik Roy yang berkibar. Dalam keterpurukan itu justru mereka punya jalan lain yaitu eksis di dunia maya. Band mereka disebar melalui Youtube. Hasilnya pun tak mengecewakan, viewer pun makin bertambah. Kece di dunia maya membuat Susan tertarik ke Bayu, dan akhirnya bisa saling lebih dekat.

Tujuan Bayu sudah tercapai bisa menggaet Susan. Dan ini yang menjadi pokok persoalan. Bayu lebih sering jalan bareng Susan dan Yowis ben jadi terbengkalai terutama sesi latihan. Yang membuat kesal rekan lainnya adalah Bayu yang tidak jujur ketika akan latihan, ia ngeles bilang sakit nyatanya jalan bareng Susan. Konflik pun terjadi yang membuat Yowis Ben menjadi vakum. Cerita pun bergulir dengan menarik dengan aneka drama yang diselingi rasa humor.

                                                             ***

Yowis Ben boleh dibilang film yang menggabungkan idealisme dan profesialisme. Film yang dibidangi Bayu Skak mulai dari cerita dan skenario ia yang garap. Dan untuk sutradara sepertinya ia masih tidak dapat terjun langsung, masih diserahkan kepada ahlinya Fajar Nugros, Bayu sendiri sebagai co-sutradara. Film ini hampir 80 persen berbahasa Jawa ala Malangan dan Suroboyoan. Namun jangan khawatir menikmati film ini sama dengan menikmati film bahasa asing, ada subtitle bahasa Indonesia yang begitu jelas.

Jika dibilang film yang pertama dalam berbahasa daerah setempat juga tidak tepat. Film yang berbahasa Jawa untuk nangking di bioskop sudah pernah ada seperti Siti (film tebaik FFI 2015) dan  Ziarah (2017)  yang berlatar budaya Jawa mataraman. Ada pula Turah (2017) yang berlatar Tegal (Jawa ngapak).

Selain itu aja juga Uang Panai (2016) dari Makassar. Yang lebih tepat adalah Yowis Ben ini pertama digarap oleh perusahaan rumah produksi besar dalam hal ini Star Vision. Film berbahasa daerah sebelumnya masih digarap studio sekala kecil bahkan tergolong indie.

Dengan keberadaan Starvision maka film tidak digarap main-main, dan tentu produser tak mau rugi. Untuk pemainnya pun beberapa melibatkan wajah yang tidak asing yang sering tampil di sinetron. Untuk promosi pun tidak kalah gencarnya di berbagai media massa dan sosial. Yang bisa jadi pula pengemasan yang bagus membuat penonton berbondong-bondong datang menontonnya.

Film rasa Malang begitu kental syuting hampir terlihat jelas berada di kota Malang dan kota Batu. Lokasi seperti kawasan Jalan Ijen, Kampung Warna-warni, serta Museum Angkut Batu menjadi kerap terlihat. Untuk gaya bahasa masih disesuaikan dengan bahasa arek Suroboyo. Tidak begitu tampak gaya Malangan seperti bahasa walikan (kata yang dibalik) seperti sam, ngalup, ojob, tahes, ker. Ataupun idiom lain seperti ebes (bapak) ataupun ojir (uang). Film rasa Jawa timur-an mungkin lebih pantas. Kehadiran tokoh ludruk legendaris Sapari dan Kartolo menambah suasana lebih segar untuk lintas generasi.

Penonton menonton sampai habis

Menikmati film yang benar adalah mulai dari awal sampai akhir. Namun kadang kala belum sampai selesai penonton sudah beranjak dari tempat duduknya. Namun Yowis Ben ini terasa lain. Editing film begitu bagus sehingga bisa membuat rangkaian cerita benar-benar utuh. Credit title pun dibuat dengan begitu samar dan tidak biasanya. Dan sepertinya penonton begitu menikmati film Yowis Ben itu sampai layar benar mati.

Perlu diacungi jempol film ini yang berani tampil beda. Film yang tidak saja menghibur juga diselingi nilai-nilai tentang kebersamaan, kesetiakawanan, toleransi SARA, serta multikultur yang dikemas alaABG zaman milenial. Walaupun memang tidak seheboh film Dilan, Yowis Ben bisa menjadi contoh untuk bisa diangkat film lain yang berlatar belakang lokalitas.

Kita perlu tahu juga guyonan ala Batak, Ambom, Aceh, sampai Papua. Maka film pun bisa menjadi sarana untuk saling mengenal budaya antar suku. Jika dikemas dengan baik tentu rumah produksi besar akan mau menggarapnya.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun