Menyebut riba, istilah itu seakan tiada habisnya terus diperdebatkan. Dalam kaca mata agama disebutkan haram, ada eksploitasi dan penerapan yang tidak adil di dalammnya. Namun demikian praktik di lapangan justru diterapkan baik dengan cara "halus" ataupun terang-terangan. Tak banyak orang yang teguh dalam menjalankan ketetapan agama yang diyakininya itu. Ibu muda bernama Enik Purwanti mampu menerapkan di toko yang dimilikinya itu dengan baik dengan menghindari riba. Saking hati-hatinya, Menik (panggilan akrabnya) tidak mau berutang dalam mengembangkan tokonya itu. Â
Semua diawali dari nol. Sekadar berjualan tabung gas, bensin eceran, dan minuman Pop Ice di tahun 2013. Dengan segala ketelatenan berusaha, lambat laun tokonya akhirnya menjadi besar. Dari usahanya itu ia sudah bisa "nyelengi" beberapa bidang tanah, bercocok tanam dari lahan tetelan(istilah sederhana konsesi tanah Perhutani), serta membangun rumah sekaligus toko yang ditempati saat ini. Saya sempat mengunjungi dan berbincang dengannya saat mendampingi rekan dari Lazismu kota Batu.
Ia hanya lulusan SMP di tahun 2004, namun dalam mengelola toko yang diberi nama Fatir begitu telaten. Toko berukuran sedang yang berlokasi di Dusun Tegalsari (Gandon) Desa Sumbergondo Kecamatan Bumiaji Kota Batu ini berkembang begitu pesat. Pemasukan bruto saat ini bisa bekisar 2 jutaan sehari. Cara pengelolaannya cukup unik, mengandalkan ingatan yang kuat. Ia begitu hafal semua barang dagangan dan harganya yang berjumlah ratusan jenis. Felling keuntungan seakan di luar kepala dalam melayani pembelinya, tidak jarang ia memberi potongan atau hadiah bila dirasa pantas.
Bicaranya ceplas-ceplos seakan tak ada beban pada dirinya. Percakapan kebanyakan menggunakan bahasa Jawa pasaran sehingga suasana lebih cair dan santai. Salah satu kesukaannya adalah mendengarkan pengajian setiap hari dari beberapa stasiun radio. Ia begitu hafal mana pengajian yang dibawakan dengan "keras" dan juga "halus". Yang ia sukai adalah model yang adem yang membuat hati tentram. Yang membuat salut padanya adalah bagaimana ajaran agama itu diamalkan dalam keseharian tidak sekadar diimani saja.
Dan hebatnya lagi, tidak ada catatan keuangan dalamnya. Mengelola keuangan begitu cermat untuk ditempatkan di beberapa pos pengeluaran dan pemasukan. Semua dilakukan apa adanya dan sangat mematuhi perintah agama : jual beli yang tidak pakai riba. Â Â
Segala barang dagangannya yang disediakan didapatkan dari para pemasok melalui sales yang rutin datang ke tokonya. Sejak awal membuka toko sedari kecil sampai besar saat ini, ia kulakan dengan langsung bayar tunai. Tidak mau menerapkan sistem jatuh tempo (pemasok dibayar di kemudian hari) seperti yang dilakukan toko lainnya. Dan untuk beberapa barang kadang ia dapatkan dari para tetangga yang kebetulan punya hajat, berlimpahan barang buwuhan yang diterimanya.
Modalnya pun dari pengembangan usaha, ia bersikeras untuk tidak berutang terutama ke bank walaupun banyak yang menawarinya. Alasannya adalah sikap yang berhati-hati dan menghindari bersinggungan dengan riba. Demikian pula bila membeli barang ia tidak mau memakai sistem kredit. Seperti beberapa sepeda motor yang dimiliknya selama ini ia selalu membelinya dengan tunai. Untuk menyimpan uang ia tempatkan di lemari saja, dana yang diperoleh diutamakan untuk memutar roda usaha. Selebihnya untuk kebutuhan sehari-hari dan menyisihkan untuk dibelikan tanah, sekadar perhiasan untuk investasi.
Sering jadi jujukan utang
Tokonya boleh dibilang menyediakan barang kebutuhan yang cukup lengkap --dengan lingkup kampung- walau penataannya kurang rapi yang terkesan "berantakan". Aneka sembako, camilan, pulsa, serta kebutuhan rumah tangga lainnya tersedia di toko ini. Dengan sedikit bercanda ibu satu anak ini menyatakan bahwa penampilan tidakkah penting, banyak pelanggan adalah utamanya. Dan kenyataannya tokonya kerap didatangi para pembeli. Kadang kala sewaktu ia sholat pembelinya pun bersedia menunggu, sampai ia menuntaskan kewajibannya.