Berbicara mengenai kopi tidak akan lepas dari petaninya. Tidaklah mudah menjadi petani kopi walaupun berada di negara agraris seperti di Indonesia ini. Harus penuh ketekunan mulai dari menanam, merawat, memanen, serta pasca setelah itu. Belum lagi masalah hama, cuaca, serta hal-hal lain yang tak terduga. Kondisi masih diperparah, petani kopi -kebanyakan- tidak punya nilai tawar menentukan harga kopinya tersebut. Pada akhirnya para kapitalislah yang banyak mereguk keuntungan.
Intinya petani kopi perlu perhatian. Adalah sesuatu yang menarik langkah kongkrit yang datang dari para sineas dari film Filosofi Kopi 2 (Visinema Pictures) yang begitu peduli dengan perkopian di negara kita. Langkah para sineas itu sudah banyak diberitakan di media, dan diperkuat ketika saya dapat mendengar sendiri pada acara "Special Screening Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody" pada Ahad (9/7) sore yang bertempat di lantai 3 Malang Town Square (Matos). Acara itu juga dihadiri oleh para pemain utamanya Chicco Jerikho, Rio Dewanto, dan Muhammad Aga.
Acara cukup meriah yang dihadiri para fan yang mengeributi panggung utama. Memaparkan tentang film itu sendiri sudah pasti. Namun ada yang menarik bahwa film ini dibuat dengan tujuan idealis: mengenalkan kopi tebaik nusantara. Beberapa paparan disampaikan sendiri oleh Chicco dan Rio tentang misi mulia itu.
Dan ternyata misi tersebut sudah dimulai sejak film Filosofi Kopi seri pertama. Mereka mengistilahkan corporate social responsibility (CSR) untuk membantu perkopian Indonesia. Melalui film sudah jelas, diantara rangkaian cerita terselip pesan: kopi terbaik di nusantara. Melalui film merupakan sarana yang efektif dalam menyampaikan pesan tersebut selain faktor hiburan dan seni. Dengan karya seni yang diramu budaya pop tentu akan lebih mengena tertama bagi kalangan muda (baca: generasi milenial).
Upaya kongkrit lainnya adalah profit dari film Filosofi Kopi sebelumnya digunakan untuk benih kopi terbaik kepada petani kopi, untuk kesinambungan kopi mendatang. Dan untuk sekuel selanjutnya, hasil dari penjualan tiket film Filosofi Kopi 2 beberapa bagian akan didonasikan untuk kesejahteraan petani kopi. Upaya lain adalah gerakan minum kopi dari bubuk aslinya (terutama kopi lokal) yang bisa diseduh sendiri atau di kafe yang selama ini ngopi bukanlah sesuatu yang begitu populer.
Sebagai kafe yang sudah berkelas dunia Starbucks mendapat perhatian dari khalayak. Ngopi di tempat ini tidaklah murah namun banyak juga peminatnya yang tak lepas dari gaya hidup kekinian. Adalah sesuatu yang wajar bila kafe ini meraup untung yang berlimpah.
Yang perlu diperhatikan pula kopi yang disajikan di Starbucks beberapa diantaranya merupakan hasil dari kopi nusantara yang terjamin kualitasnya. Starbucks membeli kopi di petani dengan harga yang baik, yang boleh jadi dari kacamata Starbucks dibilang murah. Dan pada kenyataannya petani mendapatkan edukasi dan perhatian untuk menanam kopi yang baik sehingga hasilnya berkualitas. Terlepas pasca panen nantinya langsung ekspor atau kemudian diolah sehingga mempunyai nilai tambah tinggi, petani kopi setidaknya merasakan hasilnya.
Seperti yang dilansir detik.com untuk para petani di Sumatera Utara yang salah satunya juga memasok ke Starbucks bisa menghasilkan omset 12 milyar setahun. Suatu angka yang fantastis, yang belum tentu pihak lain (dari domestik) yang dapat melakukan hal tersebut, membeli kopi dengan harga yang bagus. Paling tidak Starbucks bisa memberi penghargaan yang lebih baik, sembari menunggu pihak lain yang sekiranya bisa memberi yang lebih baik lagi.
Seperti yang dilansir beberapa media (salah satunya detik.com) dan menjadi perhatian publik bahwa Starbucks di serukan boikot oleh Muhammadiyah, tidak itu saja bahkan meminta pemerintah untuk mencabut izin operasionalnya di Indonesia. Yang menjadi dasar Muhammadiyah adalah pernyataan dari CEO Starbuk Howard Mark Schultz yang mendukung kesetaraan kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).
Seruan Muhammadiyah tersebut membuat pro-kontra di masyarakat, yang justru kebanyakan malah bersikap cuek saja. Ada beberapa hal tentang seruan boikot itu yang kemudian dikritisi oleh beberapa kalangan, yang membuat Muhammadiyah menjadi "bulan-bulanan". Beberapa diantaranya seperti yang diulas Jalal di geotimes.com, yang sedikit mempertanyakan mengapa hanya Starbucks yang diboikot. Padahal seperti Mark Zuckerberg (Facebook, Whatsup, Instagram) dan juga perusahaan lainnya juga mempunyai pendapat yang sama dengan CEO Starbucks itu, tetapi produknya tidak turut diboikot pula.
Di kalangan internal Muhammadiyah sendiri aksi boikot Starbucks juga dikritisi secara proposional. Seperti pendapat dari Ust. Nurbani Yusuf yang merupakan Ketum Pimpinan Daerah Muhamadiyah Kota Batu, yang sekaligus dosen dan pimpinan media televisi, yang ditulis di laman Facebooknya. Ulasannya begitu jernih bahwa secara implisit aksi boikot Starbuks tersebut sebenarnya tidak perlu dilakukan.
Sebagai orang "ndeso" dan mengetahui persis jamaahnya, ia menyatakan bahwa tidaklah semua mengenal apa itu Starbucks itu. Kenal saja tidak apalagi mengkonsumsinya. Penikmat Starbucks hanyalah "kaum elit", jadi aksi boikot itu tidaklah tepat sasaran. Malah ia menyatakan bahwa aksi boikot itu adalah keputusan panik yang bermula dari rasa putus asa dan pikiran cemas karena merasa sudah tak punya jalan keluar. Menurutnya masyarakat membutuhkan solusi yang cerdas, seperti saat persyarikatan berdiri yang membawa cita-cita kemajuan.
Jika ditelisik lebih dalam, sebenarnya dikalangan Muhammadiyah sendiri tidak satu suara mengenai aksi boikot terhadap Starbucks itu. Jangankan boikot Starbucks, fatwa haram oleh Muhammadiyah terhadap rokok pun tidak banyak dipatuhi oleh -kebanyakan- jamaah dan pengurusnya. Artinya jamaah Muhammadiyah tersebut merupakan orang merdeka yang bisa "berijtihad" sendiri untuk menentukan pilihannya. Mereka bukanlah seperti kerbau yang dicocok hidungnya yang bisa digiring ke sana-kemari.
Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah kontribusi apa yang telah dilakukan Muhammadiyah kepada petani kopi tersebut ? Jangankan kepada petani kopi kepada -merupakan komoditas vital- petani beras, jagung, dan komoditas lainnya masih belum kelihatan. Pertanyaan selanjutnya adalah jika memang Starbucks bisa diboikot, apakah Muhammadiyah bisa mengambil alih urusannya kepada petani kopi itu ?
Jika ingin memberdayakan petani kopi bisa banyak hal yang dilakukan Muhammadiyah. Buat saja amal usaha sekelas Starbucks sehingga nantinya mampu bersaing secara sehat. Ini yang menjadi kelemahan Muhammadiyah dibidang ekonomi yang masih belum ada greget-nya. Suharusnya Muhammadiyah itu bisa membuat amal usaha ekonomi seperti yang sukses pada bidang kesehatan (rumah sakit, poliklinik) dan pendidikan (sekolah, perguruan tinggi). Sudah banyak diketahui dan teruji, di kedua bidang itu Muhammadiyah bisa melayani dengan baik tanpa diskriminasi SARA.
Atau bisa pakai cara lain dengan melakukan pendampingan terdapat petani kopi tersebut yang selama ini mempunyai nilai tawar rendah terhadap para pemilik perusahaan. Entah bentuknya seperti apa, yang pasti kesejahteraan petani bisa meningkat. Bukannya malah melakukan seruan boikot yang terbukti tidak ada efeknya sama sekali.
Mudah-mudahan ini bisa menjadi pelajaran kepada Muhammadiyah untuk mengelola organisasi dengan baik dan efektif. Terutama kepada Anwar Abbas yang selalu "menko perekonomian" Muhammadiyah agar lebih teliti dan berhati-hati dalam mengambil keputusan yang urusannya begitu kompleks. Ia adalah personal yang paling bertanggung jawab atas "kegaduhan" aksi boikot ini, sehingga Muhammadiyah turut kena getah terkena "celaan".
Alangkah baiknya melakukan hal yang kongkrit seperti para sineas Filosofi Kopi tersebut. Kopi ternyata mempunyai sisi filosofi, untuk jelasnya bisa baca cerpen karya Dewi Lestari tersebut dan menonton filmnya. Sesempurnanya kopi yang dibuat masih tidak bisa menghilangkan rasa pahitnya, begitulah kira-kira beberapa makna yang didapat.
Bisa jadi bukan maksud Starbucks memberikan rasa "pahit" terutama untuk konteks Indonesia. Perbedaan budaya barat dan timur turut mempengaruhinya. Satu cocok di belahan lain namun tidak di belahan lainnya, begitu sebaliknya. Bisa jadi rasa "pahit" itu pula yang dirasakan Muhammadiyah atas isu LGBT yang begitu sensitif yang kemudian bereaksi kurang proporsional. Yang diharapkan adalah jangan sampai kedua "gajah" itu bertarung (Starbucks dan Muhammadiyah) penyebabkan "pelanduk" itu mati paling tidak menjadi korban, dalam hal ini petani kopi yang akan merasakan rasa "pahit" itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H