Seruan Muhammadiyah tersebut membuat pro-kontra di masyarakat, yang justru kebanyakan malah bersikap cuek saja. Ada beberapa hal tentang seruan boikot itu yang kemudian dikritisi oleh beberapa kalangan, yang membuat Muhammadiyah menjadi "bulan-bulanan". Beberapa diantaranya seperti yang diulas Jalal di geotimes.com, yang sedikit mempertanyakan mengapa hanya Starbucks yang diboikot. Padahal seperti Mark Zuckerberg (Facebook, Whatsup, Instagram) dan juga perusahaan lainnya juga mempunyai pendapat yang sama dengan CEO Starbucks itu, tetapi produknya tidak turut diboikot pula.
Di kalangan internal Muhammadiyah sendiri aksi boikot Starbucks juga dikritisi secara proposional. Seperti pendapat dari Ust. Nurbani Yusuf yang merupakan Ketum Pimpinan Daerah Muhamadiyah Kota Batu, yang sekaligus dosen dan pimpinan media televisi, yang ditulis di laman Facebooknya. Ulasannya begitu jernih bahwa secara implisit aksi boikot Starbuks tersebut sebenarnya tidak perlu dilakukan.
Sebagai orang "ndeso" dan mengetahui persis jamaahnya, ia menyatakan bahwa tidaklah semua mengenal apa itu Starbucks itu. Kenal saja tidak apalagi mengkonsumsinya. Penikmat Starbucks hanyalah "kaum elit", jadi aksi boikot itu tidaklah tepat sasaran. Malah ia menyatakan bahwa aksi boikot itu adalah keputusan panik yang bermula dari rasa putus asa dan pikiran cemas karena merasa sudah tak punya jalan keluar. Menurutnya masyarakat membutuhkan solusi yang cerdas, seperti saat persyarikatan berdiri yang membawa cita-cita kemajuan.
Jika ditelisik lebih dalam, sebenarnya dikalangan Muhammadiyah sendiri tidak satu suara mengenai aksi boikot terhadap Starbucks itu. Jangankan boikot Starbucks, fatwa haram oleh Muhammadiyah terhadap rokok pun tidak banyak dipatuhi oleh -kebanyakan- jamaah dan pengurusnya. Artinya jamaah Muhammadiyah tersebut merupakan orang merdeka yang bisa "berijtihad" sendiri untuk menentukan pilihannya. Mereka bukanlah seperti kerbau yang dicocok hidungnya yang bisa digiring ke sana-kemari.
Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah kontribusi apa yang telah dilakukan Muhammadiyah kepada petani kopi tersebut ? Jangankan kepada petani kopi kepada -merupakan komoditas vital- petani beras, jagung, dan komoditas lainnya masih belum kelihatan. Pertanyaan selanjutnya adalah jika memang Starbucks bisa diboikot, apakah Muhammadiyah bisa mengambil alih urusannya kepada petani kopi itu ?
Jika ingin memberdayakan petani kopi bisa banyak hal yang dilakukan Muhammadiyah. Buat saja amal usaha sekelas Starbucks sehingga nantinya mampu bersaing secara sehat. Ini yang menjadi kelemahan Muhammadiyah dibidang ekonomi yang masih belum ada greget-nya. Suharusnya Muhammadiyah itu bisa membuat amal usaha ekonomi seperti yang sukses pada bidang kesehatan (rumah sakit, poliklinik) dan pendidikan (sekolah, perguruan tinggi). Sudah banyak diketahui dan teruji, di kedua bidang itu Muhammadiyah bisa melayani dengan baik tanpa diskriminasi SARA.
Atau bisa pakai cara lain dengan melakukan pendampingan terdapat petani kopi tersebut yang selama ini mempunyai nilai tawar rendah terhadap para pemilik perusahaan. Entah bentuknya seperti apa, yang pasti kesejahteraan petani bisa meningkat. Bukannya malah melakukan seruan boikot yang terbukti tidak ada efeknya sama sekali.
Mudah-mudahan ini bisa menjadi pelajaran kepada Muhammadiyah untuk mengelola organisasi dengan baik dan efektif. Terutama kepada Anwar Abbas yang selalu "menko perekonomian" Muhammadiyah agar lebih teliti dan berhati-hati dalam mengambil keputusan yang urusannya begitu kompleks. Ia adalah personal yang paling bertanggung jawab atas "kegaduhan" aksi boikot ini, sehingga Muhammadiyah turut kena getah terkena "celaan".
Alangkah baiknya melakukan hal yang kongkrit seperti para sineas Filosofi Kopi tersebut. Kopi ternyata mempunyai sisi filosofi, untuk jelasnya bisa baca cerpen karya Dewi Lestari tersebut dan menonton filmnya. Sesempurnanya kopi yang dibuat masih tidak bisa menghilangkan rasa pahitnya, begitulah kira-kira beberapa makna yang didapat.
Bisa jadi bukan maksud Starbucks memberikan rasa "pahit" terutama untuk konteks Indonesia. Perbedaan budaya barat dan timur turut mempengaruhinya. Satu cocok di belahan lain namun tidak di belahan lainnya, begitu sebaliknya. Bisa jadi rasa "pahit" itu pula yang dirasakan Muhammadiyah atas isu LGBT yang begitu sensitif yang kemudian bereaksi kurang proporsional. Yang diharapkan adalah jangan sampai kedua "gajah" itu bertarung (Starbucks dan Muhammadiyah) penyebabkan "pelanduk" itu mati paling tidak menjadi korban, dalam hal ini petani kopi yang akan merasakan rasa "pahit" itu.