Mohon tunggu...
Hery Supriyanto
Hery Supriyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Warga net

Liberté, égalité, fraternité ││Sapere aude ││ Iqro' bismirobbikalladzi kholaq ││www.herysupri.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Urusan Penyensoran Tidak Sepenuhnya Tanggung Jawab LSF

1 September 2016   21:52 Diperbarui: 2 September 2016   12:22 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahmad Yani Basuki saat memberikan pemaparan. Sumber: Dok panitia Roadblog

Di era internet ini mencari film yang tergolong porno akan mudah didapat. Tinggal streaming atau diunduh pun bisa. Tak hanya bisa dinikmati di komputer bahkan di smartphone sudah menjadi hal yang jamak. Bebasnya rekaman video yang tidak hanya menyuguhkan pornografi, kekerasan, ataupun hal yang dirasa kurang pastas akibat regulasi yang tidak begitu ketat. Mantra kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi menjadi tameng tersendiri agar konten tidak mudah diberangus.

Karena tidak ada yang mengawasi dengan ketat, berbagai konten tentang pornografi, kekerasan, sadisme menjadi bola liar yang sulit diatur. Dengan kebebasan itulah terutama mudahnya akses dan tanpa pengawasan dan pengaturan yang ketat terkadang imbasnya kepada remaja yang belum cukup umur. Akibatnya sudah bisa ditebak remaja saat ini menjadi dewasa sebelum waktunya. Pergaulan bebas dan seks pranikah kadang menjadi sesuatu yang biasa di kalangan muda. Itu kadang yang membuat kita miris.

Peran LSF di Ruang Publik

Untuk urusan film bahkan sinetron yang diputar di bioskop dan televisi memang memerlukan penyensoran dan negara berperan di situ. Adalah Lembaga Sensor Film (LSF) yang merupakan “campur tangan” negara untuk menyeleksi film atau sinetron yang akan ditayangkan. Peran LSF sangat berarti dalam menjaga ataupun menyelamatkan warganya terutama generasi muda untuk dapat menikmati tayangan yang “layak” dan tidak.

Tugas LSF tidak saja menyensor film, tetapi juga memberikan klasifikasi film disesuaikan dengan usia penonton. Layak ditonton pada usia 21 tahun karena sudah dianggap dewasa, tetapi tidak layak untuk usia 16 tahun. bukannya dilarang tetapi setidaknya menunda sampai pada usia yang cukup. Hal ini dilakukan karena jelas sesuai peraturan yang ada bertujuan untuk menyelamatkan generasi muda untuk mendapatkan tayangan yang sesuai dengan usianya.

Serbapermisif di Lapangan

Namun, pada kenyataannya harapan tidak sesuai kenyataan. Bisa jadi LSF sudah bekerja dengan benar tetapi kondisi di lapangan banyak hal yang dilanggar oleh penonton sendiri. Kondisi itu juga diperparah oleh pengelola gedung bioskop yang tidak begitu ketat menyeleksi penontonnya. Acap kali kita melihat bahwa anak kecil dibawa nonton oleh orangtuanya, padahal film tersebut tidak sesuai dengan usianya. Tidak melulu urusan pornografi tetapi juga mempertimbangkan unsur kekerasan ataupun sadisme.

Di pertelevisian juga menyalami hal yang sama. Pengelola TV terkadang “khilaf” dalam menayangkan suatu program jam tidak tepat jam tayangnya. Jika diputar tengah malam mungkin tidak menjadi persoalan kadang tayangan tersebut berada pada jam belajar. Kejadian ini tentu sangat miris karena televisi berada pada frekuensi terbuka, berbeda kiranya dengan bioskop yang lebih tertutup dan tidak semua dapat mengaksesnya.

Ahmad Yani Basuki saat memberikan pemaparan. Sumber: Dok panitia Roadblog
Ahmad Yani Basuki saat memberikan pemaparan. Sumber: Dok panitia Roadblog
Budayakan Sensor secara Mandiri

Dilihat dari kondisi lapangan tersebut tugas LSF dirasa cukup berat. Peranan LSF hanya sebatas menyensor dan paling “kejam” adalah tidak mengizinkan untuk ditanyangkan. Batasan LSF tidak dapat memberikan sanksi yang lebih lanjut lagi bila terjadi pelanggaran. Ada institusi lainnya yang lebih berwenang.

Dan kiranya tetap bila LSF melakukan sosialisasi kepada publik agar membudayakan sensor secara mandiri. Berbagai acara dilaksanakan seperti seminar dan workshop. Beberapa waktu lalu LSF bersama excite berpartisipasi dalam acara roadblog di beberapa kota dalam rangka sosialisasi tersebut. Saya berkesempatan hadir yang dilaksanakan di Surabaya 9 April lalu.

Dalam acara sosialisasi tersebut, Ketua LSF Ahmad Yani Basuki sendiri yang menyampaikan paparannya. Ia menyatakan ada pro dan kontra dalam penyensoran. Bagi yang kontra menyatakan bahwa seni dan kreativitas apa pun tidak boleh dipasung. Sedangkan yang pro menyatakan bahwa perlu adanya perlindungan terhadap masyarakat terhadap tayangan yang disajikan.

Menurutnya, penyensoran bisa tajam ataupun tumpul, dan itu juga menjadi pro dan kontra. Pekerja seni pun tidak ingin karyanya “diacak-acak”. Sebagai jalan tengah biasanya LSF memberikan saran agar pekerja seni tersebut dapat menyajikan hal yang lebih halus tidak vulgar tanpa mengurangi subtansinya.

Perlu Dukungan Semua Pihak

Karya seni memang perlu dihargai. Atas nama keindahan seni dan kebebasan berkarya harus juga dipahami tidak semua orang bisa mengaksesnya. Tiap orang mempunyai cara pandang berbeda. Untuk itu bagi kalangan yang “lemah” senantiasa harus dilindungi, terutama genersi muda. Bagi pekerja seni sah-sah saja membuat karya yang sensasional, namun juga diperhatikan siapa khalayak yang menontonnya. Jika disuguhkan kepada kalangan terbatas tidaklah masalah. Jika disebar secara tidak terkontrol jelas akan membuat gaduh di masyarakat. Untuk itu kiranya para pekerja seni memperhatikan hal tersebut terutama yang berkenaan karya sinema.

Masyarakat pun harus punya standar yang jelas dalam mengakses sebuah karya. Jika itu termasuk tontonan yang katagori dewasa, perlu berhati-hati dalam mengajak rekan yang diajak menonton. Hindari mengajak anak-anak di bawah umur bila menonton di bioskop. Bila mendapati di televisi, diupayakan segera mengganti saluran sembari memperketat tontonan pada anak-anak.

Pengelola bioskop diharapkan memperketat penonton yang akan menonton. Tidak sekedar ingin memperoleh keuntungan. Jika perlu penonton menunjukkan kartu identitas sebelum membeli tiket. Bagi pengelola televisi diharapkan memperhatikan jam tayang yang pantas bagi tontonan yang sesuai dengan jam tayangnya.

Dukungan semua pihak jelas diperlukan karena urusan sensor-menyensor jangan hanya dibebankan tanggung jawab kepada LSF. Pelarangan terlalu ekstrem juga tidak baik yang akan menghambat kreativitas. Jalan tengah yang ditempuh adalah semua pihak turut serta dalam urusan penyensoran tersebut sehingga siapa yang menontonnya akan tepat sasaran. Generasi muda perlu diselamatkan untuk tidak mengakses sesuatu yang memang belum waktunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun