Di sisi lain, ia menyampaikan belum ada pemenuhan hak pemulihan yang komprehensif baik secara sistem maupun fasilitas fisik. Proses eksekusi pemulihan dan re-integrasi sosial pun masih belum terjadi secara menyeluruh bagi korban anak.
Ia menyebut, pada tanggal 12 Oktober 2016, Pemerintah melalui DPR-RI telah melakukan Pengesahan PERPPU No 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, yang kemudian dijadikan Undang-undang No. 17 Tahun 2016.
Ia juga mengatakan, perubahan kedua dari Undang-Undang Perlindungan anak ini mengatur mengenai penghukuman bagi pelaku, sekali lagi pemerintah hanya memikirkan penghukuman bagi pelaku kejahatan seksual anak, pemerintah masih belum memprioritaskan perlindungan bagi korban, pemulihan atau rehabilitasi, pemenuhan hak-hak korban yang sampai saat ini belum terlaksana secara baik karena adanya kepincangan hukum dan juga mengenai persoalan re-integrasi korban kembali ke keluarga dan masyarakat yang belum terlaksana dengan baik, mulai dari proses pemulangan sampai pada proses pengawasan saat korban kembali ke keluarga atau masyarakat.
"Maka dapat pula disimpulkan bahwa negara sampai saat ini belum memberikan keadilan yang maksimal dan sesungguhnya bagi korban, keadilan bagi korban bukan dengan memberikan penghukuman bagi pelaku semata, namun keadilan bagi korban adalah korban dapat menikmati hidupnya kembali secara normal maka sangat diperlukan pemulihan, rehabilitasi dan pemenuhan hak-hak korban lainnya." Katanya.
Ia menyebut, ada sebanyak 19 Jenis Kekerasan Seksual Tercantum dalam UU TPKS, Hanya 9 yang Diatur Pidananya Menurut Pasal 68 UU TPKS, hak korban atas penanganan dijabarkan menjadi 7 bentuk, rinciannya yakni:
Hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan; pelindungan; dan pemulihan; hak mendapatkan dokumen hasil penanganan; hak atas layanan hukum; hak atas penguatan psikologis; hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis; hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus korban; dan hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan media elektronik.
Kemudian ia juga menjelaskan, merujuk Pasal 69, hak korban atas pelindungan mencakup 7 hal, yaitu: penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan; penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan pelindungan; pelindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan; pelindungan atas kerahasiaan identitas; pelindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan korban; pelindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik; dan pelindungan korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas tindak pidana kekerasan seksual yang telah dilaporkan.
Lanjutnya, hak korban atas pemulihan dijabarkan dalam Pasal 70 Ayat (1), meliputi: rehabilitasi medis; rehabilitasi mental dan sosial; pemberdayaan sosial; restitusi dan/atau kompensasi; dan reintegrasi sosial.
Ayat (2) pasal yang sama mengatur soal pemulihan korban sebelum dan selama proses peradilan, yang mencakup: penyediaan layanan kesehatan untuk pemulihan fisik; penguatan psikologis; pemberian informasi tentang hak korban dan proses peradilan; pemberian informasi tentang layanan pemulihan bagi korban serta pendampingan hukum pemberian aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi korban penyandang disabilitas.
Tambahnya, penyediaan bantuan transportasi, konsumsi, biaya hidup sementara, dan tempat kediaman sementara yang layak dan aman, penyediaan bimbingan rohani dan spiritual, penyediaan fasilitas pendidikan bagi korban, penyediaan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lain yang dibutuhkan oleh korban, hak atas informasi dalam hal narapidana telah selesai menjalani hukuman dan hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan sarana elektronik.
Selanjutnya, pemulihan setelah proses peradilan diatur pada Pasal 70 Ayat (3) yang mencakup: pemantauan, pemeriksaan, serta pelayanan kesehatan fisik dan psikologis korban secara berkala dan berkelanjutan; penguatan dukungan komunitas untuk pemulihan korban; pendampingan penggunaan restitusi dan/atau kompensasi; penyediaan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lainnya yang dibutuhkan oleh korban; penyediaan layanan jaminan sosial berupa jaminan kesehatan dan bantuan sosial lainnya sesuai dengan kebutuhan berdasarkan penilaian tim terpadu; pemberdayaan ekonomi; dan penyediaan kebutuhan lain berdasarkan hasil identifikasi UPTD PPA dan/atau Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat.