Mas Rahmat yang sudah dipecat dari jabatan Adipati Anom berkenalan dengan Raden Trunajaya menantu Panembahan Rama alias Raden Kajoran tahun 1670. Panembahan Rama mengusulkan agar ia membiayai Trunajaya untuk melakukan pemberontakan terhadap Amangkurat I. Diperkirakan terjadi perselisihan antara Trunajaya dan Adipati Anom, sehingga Trunajaya tidak jadi menyerahkan kekuasaan kepada Adipati Anom seperti rencana semula. Malah melakukan penjarahan istana Kartasura. Mas Rahmat yang tidak mampu lagi mengendalikan Trunajaya pun berbalik, kembali memihak ayahnya.
Pada tanggal 28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat. Jatuhnya Istana Plered, menandai berakhirnya era Kesultanan Mataram.
Amangkurat I Wafat
Amangkurat Imenyelamatkan diri dan lari dari istana. Barangali karena tekanan mental karena kehilangan kekuasaan, dalam pelarian itu Amangkurat I jatuh sakit. Menurut Babad Tanah Jawi, kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Mas Rahmat. Meskipun demikian, Amangkurat I tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai Raja Mataram selanjutnya, tetapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar.
Amangkurat I meninggal pada 10 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal. Lalu pada tanggal 13 Juli 1677 Amangkurat I dimakamkan di sebuah desa. Tanah daerah tersebut berbau harum, oleh sebab itu desa tempat Amangkurat I dimakamkan, kemudian disebut Tegal Wangi atau Tegal Arum.
Penutup
Kisah-kisah seputar Mataram sangat menarik. Kerajaan ini menghasilkan dua orag raja yang masing-masing menyimbolkan dua kondisi yang sangat bertolak belakang. Sultan Agung Hanyokrokusumo, sang ayah, dengan kepemimpinan Jawanya yang ideal, protagonis, bijaksana, populis dan layak diteladani. Sedangkan sang anak, Amangkurat I mewakili sifat ekstrim seorang pemimpin : kejam, antagonistik, paranoid, sekehendak hatinya sendiri dsbnya. Sang ayah membesarkan kerajaan, sang anak yang merusakkannya. Sang ayah melawan penjajah, sang anak menjadi kolabolator penjajah.
Walaupun demikian, ada satu hal yang selalu menarik seperti diakui para sejarawan Belanda, bahwa seburuk dan sekejam apapun pemimpinnya, rakyat Jawa selalu menghormatinya. Barangkali ini timbul dari filosofi Jawa “Mikul dhuwur, mendem jero” Menjunjung tinggi segala sesuatu yang baik, dan menguburkan semua sifat buruk, kejelekan dan aib seseorang.
Orang Jawa barangkali memang pemaaf dan mudah melupakan masa silam. Buktinya sampai saat masyarakat Jawa masih menghormati makam Amangkurat I di Tegal Wangi sebagai keramat. Tidak ada yang mengenang Amangkurat sebagai tokoh yang kejam, sadis dan menyeramkan.
Bandingkan dengan Hitler yang sampai saat ini dipandang sebagai aib sejarah oleh kebanyakan penduduk Jerman.