Di akhir hidupnya, Galilo pernah berkata, "Kitab Suci mengajarkan kita untuk sampai ke surga, dan bukan menjelaskan kepada kita, hukum-hukum yang menggerakan langit dan surga tersebut."
Pendek kata, agama, dan Kitab Sucinya, bukanlah buku ilmiah, melainkan kesaksian iman. Galileo sendiri adalah orang yang sangat religius dan spiritual, walaupun ia justru terkena fitnah dari agama yang ia peluk sendiri.
Sampai mati, ia memegang teguh keyakinan imannya, sambil melakukan eksperimen ilmiah untuk mencari kebenaran tentang alam semesta.
2000 Tahun Sebelumnya
Sekitar 2000 tahun sebelum Galileo, lahirlah seorang pangeran salah satu kerajaan di India. Namanya adalah Siddharta Gautama. Ia juga memiliki dorongan kuat untuk memahami arti dari segala yang ada di dalam hidup ini.
Terlebih, ia ingin mencari jalan untuk keluar dari penderitaan yang mencengkram semua manusia di dunia ini.
Ia pun menekuni jalan spiritualitas pada jamannya, yakni spiritualitas Vedanta yang sudah berkembang ribuan tahun di India. Ia menemukan, bahwa jalan spiritualitas Vedanta pada masanya terlalu keras, sehingga justru menghalangi orang untuk keluar dari penderitaan kehidupan.
Ia pun menantang cara-cara lama pada jamannya, dan berusaha menemukan jalannya sendiri untuk sampai pada pencerahan. Jalan itulah yang nantinya kita kenal sebagai Buddha-Dharma, atau jalan sang Buddha.
Buddha-Dharma adalah jalan untuk menyadari kembali, siapa kita sebenarnya. Ia memberikan pencerahan, dan melepaskan manusia dari penderitaan.
Di dalam jalan ini, orang juga menemukan pemahaman yang mendalam tentang alam semesta. Di titik ini, sains dan spiritualitas menjadi satu, dan melebur menjadi satu titik, yakni "bangunnya jati diri alamiah kita sebagai manusia", atau awakening.
Adaptasi dan Tranformasi