Selain itu perspektif budaya kami yaitu bahwa anak laki-laki memiliki tanggung jawab untuk membawa nama baik keluarga. Alasan-alasan tersebut menjadi pembenaran saya untuk bersikap tegas.
Hal tersebut bukan tidak beralasan mengingat beberapa contoh nyata di keluarga saya bahwa sikap yang "lembek" akan menjadikan anak manja dan tidak patuh terhadap peraturan. Apalagi apabila suami dan istri memiliki pola asuh yang berbeda.Â
Misalnya ketika ayah memarahi anak maka si ibu akan membelanya, begitupun sebaliknya. Hal tersebut akan membuat anak berlindung di balik kesalahannya dan selalu berusaha mencari pertolongan untuk mentolerir kesalahannya.
Sementara di lain sisi, istri saya berpendapat bahwa saya terlalu keras mendidik anak dan pengalaman hidup yang saya lalui dulu kurang relevan dengan psikologis anak-anak masa kini.Â
Istri saya beranggapan bahwa sikap kritis dari anak dalam berargumen seharusnya dipandang sebagai hal yang positif, bukan malah dianggap sebagai sebuah pembangkangan.Â
Kata-kata seperti "kamu kenapa kurang pintar" dan "dasar pemalas" juga ternyata berkontribusi membuat anak saya tidak percaya diri akan kemampuan yang dia miliki.Â
Setelah melalui berbagai evaluasi bersama istri, saya menyadari bahwa ucapan tidak dapat ditarik kembali. Ibarat paku yang sudah tertancap lalu dicabut maka akan meninggalkan bekas.Â
Semua terekam dalam memori anak dan sadar atau tidak, akan membentuk caranya mempersepsikan dirinya. Misalnya ketika seorang anak disebut kurang pintar atau bodoh maka akan mempersepsikan dirinya menjadi seorang yang bodoh dan pada akhirnya membentuknya menjadi pribadi yang minder.
SOLUSI MANAJEMEN KONFLIK DALAM PEMBENTUKAN KONSEP DIRI ANAK
Setelah melalui serangkaian evaluasi terkait cara mendidik anak yang benar, proporsional berdasarkan umur, dan memperhatikan fase tumbuh kembang anak yang berbeda-beda, maka pada akhirnya saya dan istri menemukan  solusi.Â
Manajemen konflik yang kami terapkan yaitu teknik kolaborasi yang berusaha mencari titik temu suatu permasalahan  atau konsep win-win solution (Devito, 2015) . Kuncinya cukup sederhana namun ternyata sulit dipraktikkan apabila suami dan istri tidak merendahkan ego masing-masing.Â