Bisa-bisa kepalanya yang lebih dulu berlubang. Sebelum dapat ia melubangi kepala orang. Jangankan mengejar mereka, berdiri pun tak lagi ia sanggup. Sudah agak lama ranting tajam yang diinjaknya hingga melubangi kaki dicabut. Namun rasa sakitnya tentu belum hilang, malahan tambah parah. Hampir dua hari perutnya belum ada diisi. Kecuali rerumputan yang ditelannya beberapa kali. Bukan perkara yang mudah untuk keluar dari hutan pohon-pohon karet, pikirnya. Ia tak ingat mana jalan yang benar. Keadaannya juga tak memungkinkan untuk bergerak. Tak ada lagi rasanya asa yang tersisa, ia memejamkan mata, menahan rasa sakit.
Menyesal rasanya karena ikut mengejar sisa-sisa PKI itu. Hanya dengan bermodal pistol usang, bergerak secara kelompok, walau akhirnya ia tetap terpisah dari kelompoknya itu. Dalam pada itu, ia ingat-ingat waktu mengejar sesalah satu orang yang diduga komunis. Ya, hanya berdasar dugaan. Beberapa daftar orang dikumpulkan, lengkap dengan ciri fisiknya. Bahkan beberapa ada fotonya. Entah benar mereka paham kiri atau tidak yang penting ditangkap dahulu. Barulah mulai mengusut. Tanpa menunggu polisi atau militer sekali pun.
Ia tak lebih dari sekadar Vigilante, tapi bukan bergerak karena hukum yang dilanggar. Melainkan demi nama, atau uang, atau hanya ingin sedikit berguna. Bukan paham benar ia akan Gerakan 30 September. Bukan kenal ia akan jenderal-jenderal yang dicampakkan ke dalam sumur itu. Melihat orang-orang di sekitarnya bergerak, maka ia pun bergerak. Apakah komunis itu pun tak lagi perlu dicerna katanya. Tapi nasib malah menempatkan Vigilante dalam posisi sekarat seperti sekarang. Sekarang haruskah ia bersumpah pada siapa pun yang menolongnya, jika perempuan akan dinikahi, jika lelaki akan dijadikan saudara. Agar ada agaknya yang datang menyelamatkan.
Di tengah-tengah lamunan sekaratnya itu, ada seorang yang mendekat. Lelaki. Komunis. Si Vigilante benar-benar yakin. Tak terbantah, karena lelaki itu juga yang membuatnya harus masuk ke hutan karet untuk mengejar. Sekarang tamatlah ia, pikirnya. Tak mungkin Komunis itu akan diam saja melihat dirinya sekarat. Rasa ingin meronta, tapi tak ada lagi sisa tenaga. Tamat sudah.
Benar saja. Komunis itu memang tak tinggal diam. Dia merobek lengan kemejanya, dan mengikat kaki Vigilante. Membaringkan tubuh sekarat itu di tanah. Menuangkan segenggam demi segenggam air yang dituangnya dari botol kaca. Entah dari mana Komunis mendapatkan itu. Dari saku celana kainnya yang hitam, dia mengeluarkan ubi, yang juga entah dari mana ia dapati. Kelihatan jelas ubinya masih mentah. Namun tetap disodorkannya pada si Vigilante.
Tak ada tanda-tanda akan dikulumnya ubi itu. Vigilante bahkan tak sanggup makan. Tentu saja, apa lagi dengan ubi keras yang mentah. Komunis itu yang mengunyahnya sekarang. Giginya cukup keras untuk melakukan itu. Sampai dirasanya sudah empuk, dikeluarkannya sari ubi itu dan dimasukkannya dalam mulut Vigilante. Jijik. Benar-benar jijik Vigilante melihatnya. Namun tanpa diinsafi lagi, langsung ditelannya semua. Bahkan sisa kunyahan seperti itu sangat enak baginya sekarang. Lambat laun sakit di kakinya berkurang. Darahnya tak lagi mengucur. Perutnya pun kekenyangan.
***
Pelan sekali. Sambil terengah-engah, membawa orang yang lebih besar dari dirinya. Sambil digendong pula di punggung. Si Komunis tak sanggup terus berjalan. Sebab itu dia berhenti agak berapa kali. Sejurus saja lamanya, untuk mengatur nafas. Ingat jelas dia bahwasanya Vigilante ini, yang digendongnya ini, yang mengejarnya tadi pagi. Tapi siapa sangka sekarang dia malah menolongnya. Tidak nyaman baginya meninggalkan seseorang yang hampir sekarat.
"Pergi saja. Tinggalkan aku di pinggiran hutan. Kalau yang lain melihat, bisa-bisa kamu langsung ditangkap. Anggap rasa terima kasihku, aku tak melihat seorang komunis pun di sini," kata Vigilante yang setengah berbisik di telinga Komunis.
"Saya memang kucing-kucingan tadi. Sudahlah. Mau sampai kapan saya lari. Ditangkap pun tak apa," tolak Komunis memaksakan senyum.
"Kenapa menolongku? Lebih baik kalau tidak usah, bagaimana jika tahu-tahu aku yang menangkapmu setelah kakiku bisa digerakkan."
"Saya tidak bisa meninggalkan orang yang lagi susah. Tidak nyaman rasanya. Di pinggiran hutan ada kampung. Terserah kalau mau menangkap saya, yang penting saya bawa dulu ke sana. Siapa tahu ada yang bisa mengobati."
Merasa tak enak Vigilante jika harus membiarkan Komunis ini tertangkap nantinya. Sampai diputuskannya pula, kalau harus selamat Komunis ini. Tak mau ia dihantui rasa bersalah, karena telah ditolong.
Sampai mereka di pinggiran hutan. Begitu keluar langsung terlihat kampung yang sepi. Rumah tepas bisa dihitung pakai jari. Komunis berjalan menuju sebuah rumah yang tampak sedikit lebih bagus dari yang lain. Seorang tua menunggu di depan rumah itu. Ada kemungkinan kalau Komunis mengenalnya, pikir Vigilante. Tapi tetap terkejut ia, ada orang yang mau menerima seorang komunis.
"Jadi ini temanmu? Baringkan dia," ujarnya lalu melanjutkan, "beruntung punya teman yang seperti dia. Tadi sore dia pamit mau ke hutan lagi, tak enak meninggalkan teman katanya."
Memang benar. Awalnya Komunis yang dikejar-kejar. Begitu dia melihat Vigilante terjerembap ke tanah, langsung dia lari. Tak terpikir bagi Vigilante untuk melihatnya kembali lagi. Menolong malahan.
Duduk Komunis itu di sebelah Vigilante. Sekarang sudah bulat keputusan yang dibuat Vigilante rasanya. Berkali-kali ia meyakinkan Komunis untuk segera lari. Sebab sebentar lagi mungkin kawanannya melihat Komunis. Sampai di situ sudah tak ada lagi kesempatan untuk lari. Bahkan Vigilante sebenarnya tak tahu bagaimana nasib yang telah tertangkap nantinya. Tapi dapat diartikan kalau itu buruk.
"Saya lelah berlari ke sana ke mari. Sampai-sampai tadi pun saya meninggalkan orang yang lagi ditimpa musibah. Bersyukur saya karena tak lagi dikejar tadi. Bersyukur melihat orang lain lagi susah. Padahal dulu ada yang meminta saya untuk tak menutup mata dan telinga saya, saat ada orang yang lagi susah."
Seperti itu katanya. Vigilante merasa tak bisa meyakinkan lagi. Sudah bulat keputusan ia tadi untuk membiarkan Komunis tadi. Sudah bulat pula keputusan Komunis untuk tidak lari. Besar sekali agaknya keinginan dia untuk ditangkap. Berbaring saja Vigilante. Sampai ia terperanjat mendengar suara kerumunan orang di luar, yang masuk tiba-tiba ke dalam. Memukuli Komunis tanpa ada basa-basi. Vigilante mengenal orang-orang itu. Kawannya, yang ikut mengejar para komunis. Sepertinya sudah tak ada lagi kesempatan untuk menolong Komunis, batinnya.
"Di sebelahnya itu juga komunis! Tadi katanya dia harus menolong teman," teriak orang tua yang punya rumah.
Komunis? Vigilante berusaha mencerna-cerna maksudnya. Berusaha ia membela diri. Berulang kali dibilangnya bahwa ia Vigilante. Tapi tak ada yang mendengarnya. Sepertinya tak menyangka mereka kalau seorang komunis ada di kawanan mereka. Mereka mengarak-arak Vigilante dan Komunis. Dicampakkan ke tanah. Orang-orang kampung meneriaki, melempari batu, memaki-maki. Sakit di kakinya makin menjadi.
Ia melirik ke arah Komunis. Sedari tadi orang itu hanya diam. Gara-gara ditolong oleh Komunis ini ia sekarang dianggap kawannya. Ingin ia memakinya, memukulinya, membunuhnya. Tak ada gunanya ia selamat. Atau pun bisa jadi Komunis sengaja menolongnya agar ia ditangkap juga, pikirnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H