Mohon tunggu...
Heru Kesuma
Heru Kesuma Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Seorang penggemar berat Harutya. Menulis untuk hidup, selain mengisi waktu. Karena ia hanya seorang pengangguran yang hampir dua puluhan. Setiap apa yang ditulisnya membuatnya merasa dirinya punya alasan atas eksistensinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Adiknya Tetap di Sini

13 September 2023   11:35 Diperbarui: 13 September 2023   11:39 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: unsplash.com

Ia mempercepat larinya, tapi tetap saja terlambat. Kaca besar di mobil bak terbuka itu jatuh hingga pecah. Pecahan besar mengenai seorang gadis di sebelah mobil bak terbuka itu yang mendongak ke atas. Kaca itu menembus lehernya, beberapa beling juga mengenai bagian tubuhnya yang lain. Gadis itu terhempas ke tanah sambil berlumur darah.

Ia melangkahkan kaki perlahan, lelaki ini mengenal gadis yang mati itu. Gadis itu, adik tirinya, juga orang yang ia sukai. Dengan kaki yang gemetar, ia mendekati gadis itu. Ia tak tahu apakah ini benar-benar nyata, tapi ia berharap tidak. Tubuhnya seketika lemas, pandangannya kabur, ia tumbang di sebelah adiknya. Bahkan di saat terakhir adiknya, tak ada kata-kata yang  diucapkannya. Beberapa orang di sekitar berteriak histeris melihatnya.

***

Algea---lelaki itu duduk di sofa tanpa bergerak sedikit pun. Ruangan kosong tempatnya sekarang begitu gelap, tanpa pencahayaan. Sampah berserakan di lantai dekat kakinya. Selimut kumal menutupi seluruh tubuhnya. Sudah lebih sebulan sejak kehilangan adik tirinya, gadis yang juga ia sukai, juga satu-satunya keluarga yang ia miliki.

Kekosongan terlihat di matanya. Menambah kekelaman di ruang itu. Rambut panjangnya yang berantakan menutupi matanya. Ia melamun memikirkan adiknya, mengingat kenangannya.

Seketika angin menerpa dari jendela yang terbuka. Menyadarkannya dari lamunan. Ia beranjak, meninggalkan selimut kumalnya di sofa. Dengan langkah gontai mendekati jendela. Tanpa disadarinya, hari sudah malam. Rasanya masih pagi ketika ia baru duduk di sofa. Di luar juga begitu gelap, hanya beberapa rumah yang menghidupkan lampu. Rumahnya sendiri juga sangat gelap, tapi ia lebih suka begitu. Baginya lebih mudah untuk mengingat adiknya dengan kegelapan itu.

Pikirannya kembali berkelebat. Mungkinkah adiknya mati? Dia bukannya menghilang atau pergi entah ke mana? Tapi, Algea memakamkannya. "Algea ...." Algea terus mendengar itu di kepalanya. Suara yang begitu halus, menenangkannya, ia ingin adiknya tetap di sisinya mengucapkan namanya. Angin malam kembali menyadarkannya. Niat untuk menutup jendela, urung dilakukannya.

Ia kembali berjalan menuju sofa. Seketika tubuhnya gemetar, mengingat adiknya. Ia tersungkur ke lantai. Mata kosong itu mengeluarkan cairan bening yang terus mengalir. Ia bangkit dan duduk di lantai. Sementara punggungnya bersender ke dinding.

Adiknya menunggu sidang itu. Ia berjanji untuk makan siang di restoran favorit mereka sepulang sekolah. Jika saja ia lebih cepat, jika saja ia tak terlalu lama di perpustakaan membantu klubnya .... Ia ingin adiknya. Ia ingin seseorang yang selalu menemaninya itu kembali. Ia berharap adiknya ada bersamanya. Sambil menjambak rambutnya, ia terus menangis.

Seketika angin malam kembali menyadarkannya. Tangisnya berhenti, ia menoleh ke arah jendela sambil berharap adiknya ada di sana. Memang, ada seseorang di sana, seorang gadis yang tak asing di matanya. Seorang gadis yang tak diinginkannya untuk pergi. Adiknya, yang begitu disayanginya.

Menyadari ada yang menatapnya, sang gadis---adik Algea---berbalik melihat ke arah kakaknya. Dia tersenyum, senyum yang persis dengan yang di ingatan Algea, senyum yang diinginkannya. Algea berdiri, mendekati adiknya. Berbagai pertanyaan muncul di kepalanya. Apakah dia adikku? Dia tidak mati? Dia tetap bersamaku? Dia bukan orang lain, kan? Tidak, aku memang menginginkannya, ingin dia ada di sini, dia tidak akan pernah pergi.

Sang adik masih tersenyum padanya. "Algea?" Darahnya berdesir keras, gadis ini benar adiknya. Langkahnya dipercepat, ia segera memeluk adiknya. Kehangatan dan kelembutan yang hilang, kini kembali. Ia tak ingin berpisah lagi dengan adiknya. Ia ingin terus memeluknya. Khayalannya, akan kembalinya sang adik benar-benar terjadi. Ia menyentuhnya, rambut hitam milik adiknya terasa halus. Aroma adiknya, semuanya membangkitkan memori kenangan mereka.

"Aku di sini. Kenapa kau memelukku seperti aku akan pergi?" ujar sang adik.

Algea meminta dengan suara serak, "Jangan pergi lagi!" Algea kembali berpikir ia tak akan pernah kehilangan adiknya. Perlahan ia mulai mengantuk dan ingin segera tidur.

***

Cahaya matahari tampak masuk melalui jendela yang belum tertutup beberapa hari itu. Algea membuka matanya, tak ada sesiapa pun. Ia ingin adiknya membangunkannya, seperti hari-hari itu. Algea kembali menutup mata, tapi seketika ia terkejut dengan tangan lembut yang menyentuh pipinya. Ketika membuka matanya, adiknya mendekatkan diri dengannya. Wajah mereka begitu dekat. Inilah yang ia inginkan.

"Bangun, sudah pagi!" seru adiknya sembari tersenyum.

Algea kembali teringat. Seperti inilah ketika ia dibangunkan untuk segera ke sekolah. "Hei, sebentar lagi bel sekolah berbunyi. Jangan sampai terlambat!" ujar adiknya lagi.

Bangun dari tidurnya, Algea bergegas. Ia bahkan lupa sarapan. Ketika keluar dari rumah, ia teringat adiknya. Tapi, ternyata gadis itu tengah menunggu Algea seraya melambaikan tangan. Algea segera mendekatinya, ia tak ingin jauh dari adiknya.

Algea menggenggam erat tangan adiknya. Mereka berjalan ke sekolah. Sesekali Algea melirik adik tirinya yang terus tersenyum itu. Lalu, ia heran dengan pandangan orang-orang yang berpapasan dengannya. Mereka memandang aneh pada mereka---padanya.

Di kelas, Algea bahkan tak melepas genggamannya. Adiknya terus mengikutinya tanpa berkeluh kesah ataupun menolak. Ia memangku adiknya, yang seharusnya segera ke kelasnya sendiri. Tapi, siswa di kelas Algea kembali memandangnya aneh seperti orang-orang di jalan tadi. Mungkin memang berlebihan hingga memangkunya? Algea tak menghiraukan.

"Kau mau tetap di sini? Atau kita keluar?" tanya Algea pada adiknya, yang sebenarnya ia ingin ke atas sekolah bersama adiknya.

"Aku mau bersamamu." Adiknya memandang Algea sambil tersenyum.

Bel berbunyi, tapi bukannya tetap di kelas, Algea keluar menaiki tangga hingga sampai di atap sekolah. Mereka berdua membicarakan segala hal, hanya Algea yang berbicara. Sedangkan adiknya hanya mengiyakan dan terkadang menjawab sesuai apa yang dipikirkan oleh Algea. Ini seperti dia hanya memikirkan dan mengatakan apa yang kuinginkan, batin Algea.

Sadar hari sudah mulai sore, Algea mengajak adiknya pulang. Mereka hanya membolos hari ini. Begitu membuka pintu menuju tangga, ada seorang perempuan yang berdiri di hadapannya. Algea ingat orang ini, anggota klub perpustakaan seperti dirinya. Perempuan ini yang meminta bantuan pada Algea hingga ia terlambat menemui adiknya. Lalu, adiknya terkena kaca besar yang terjatuh dari mobil bak terbuka ....

Tidak, adiknya ada di sini bersamanya. Ia tengah menggenggam tangan adiknya, ia memegangnya! Algea berkeringat dingin memikirkannya.

"Aku di sini, jangan khawatir!" ujar adiknya.

"Algea? Akhirnya kau ke sekolah lagi. Aku khawatir, kau tidak datang sebulan ini. Beberapa kali aku ke rumahmu, tapi pintunya selalu tertutup," ucap perempuan dari klub perpustakaan itu, "aku turut berduka atas kematian adikmu."

"Apa maksudmu? Kematian adikku? Adikku di sini, jangan gunakan candaan seperti itu!" balas Algea sembari menunjuk adiknya.

Terperanjat mendengar ucapan Algea dan tak dapat melihat siapa pun, perempuan itu meneruskan, "Apa maksudnya? Tapi, adikmu sudah mati. Ini memang berat, tapi---"

"Diam! Kau kelewatan!" potong Algea.

Dengan tatapan sedih, perempuan itu bertanya, "Algea, bulan berapa sekarang ini?"

"Apa-apaan pertanyaan itu?"

"Bulan berapa sekarang?" ulangnya lagi, yang dijawab Algea bahwa sekarang bukan April.

"Dari yang dikatakan orang-orang aku sudah dua ada yang aneh. Saat ini sudah Juni. Apa kau ingat kegiatanmu kemarin?"

"Aku membantumu di perpustakaan lalu menemui adikku untuk makan siang bersama," balas Algea.

Perempuan dari klub perpustakaan itu menangis sejadi-jadinya. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku dan menunjukkan sebuah foto. Itu adalah diri seorang gadis yang mati terkena pecahan kaca, gadis itu ... adiknya.

Bayangan masa itu kembali memenuhi kepala Algea. Itu adiknya. Ia ingat, adiknya telah mati. Ia ingat, mereka tak jadi makan siang bersama. Ia ingat, tak pernah ke sekolah sepak kematian adiknya. Ia ingat, setiap harinya ia terus beranggapan bahwa adiknya ada bersamanya. Ia sadar, saat ini tangan yang ia genggam bukankah tangan adiknya, tapi hanya imajinasinya sendiri.

Seseorang memeluknya dari belakang. Adiknya---adik imajinasinya membisikkan sesuatu di telinganya, "Aku di sini."

Algea berbalik memandangi adiknya---adik imajinasinya. Senyum manis tadi bertukar dengan wajah cemas. Perlahan, dengan menangis dan suara yang gemetar ia berkata, "Tidak apa-apa. Kau boleh pergi."

Wajah cemas itu berganti dengan senyum hangat. Adiknya---adik imajinasinya berkata, "Aku hanya mengatakan apa yang ingin kau dengar. Tapi, tetaplah ingat ini. Aku di sini."

Perjanjian adiknya---adik imajinasinya itu lenyap. Air mata Algea berhenti mengalir. Ia berpikir, mungkin adiknya yang asli akan mengatakan untuk tetap tersenyum. Karena dia selalu ada bersamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun