"Apa-apaan pertanyaan itu?"
"Bulan berapa sekarang?" ulangnya lagi, yang dijawab Algea bahwa sekarang bukan April.
"Dari yang dikatakan orang-orang aku sudah dua ada yang aneh. Saat ini sudah Juni. Apa kau ingat kegiatanmu kemarin?"
"Aku membantumu di perpustakaan lalu menemui adikku untuk makan siang bersama," balas Algea.
Perempuan dari klub perpustakaan itu menangis sejadi-jadinya. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku dan menunjukkan sebuah foto. Itu adalah diri seorang gadis yang mati terkena pecahan kaca, gadis itu ... adiknya.
Bayangan masa itu kembali memenuhi kepala Algea. Itu adiknya. Ia ingat, adiknya telah mati. Ia ingat, mereka tak jadi makan siang bersama. Ia ingat, tak pernah ke sekolah sepak kematian adiknya. Ia ingat, setiap harinya ia terus beranggapan bahwa adiknya ada bersamanya. Ia sadar, saat ini tangan yang ia genggam bukankah tangan adiknya, tapi hanya imajinasinya sendiri.
Seseorang memeluknya dari belakang. Adiknya---adik imajinasinya membisikkan sesuatu di telinganya, "Aku di sini."
Algea berbalik memandangi adiknya---adik imajinasinya. Senyum manis tadi bertukar dengan wajah cemas. Perlahan, dengan menangis dan suara yang gemetar ia berkata, "Tidak apa-apa. Kau boleh pergi."
Wajah cemas itu berganti dengan senyum hangat. Adiknya---adik imajinasinya berkata, "Aku hanya mengatakan apa yang ingin kau dengar. Tapi, tetaplah ingat ini. Aku di sini."
Perjanjian adiknya---adik imajinasinya itu lenyap. Air mata Algea berhenti mengalir. Ia berpikir, mungkin adiknya yang asli akan mengatakan untuk tetap tersenyum. Karena dia selalu ada bersamanya.