Mohon tunggu...
Heru Kesuma
Heru Kesuma Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Seorang penggemar berat Harutya. Menulis untuk hidup, selain mengisi waktu. Karena ia hanya seorang pengangguran yang hampir dua puluhan. Setiap apa yang ditulisnya membuatnya merasa dirinya punya alasan atas eksistensinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bunuh Diri Bersama Seorang Pengantin

11 September 2023   22:07 Diperbarui: 11 September 2023   22:15 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin aku adalah orang yang paling beruntung di dunia, atau mungkin tidak juga. Aku tidak pernah ingat ada sesuatu yang tak sejalan dengan keinginanku. Bahkan saat itu, aku yang hanya duduk di kursi pojok kelas, mendengarkan celoteh temanku, di tengah pelajaran. Guru yang sadar kami tidak mengikuti pelajaran melemparkan penghapus papan tulis ke arahku. Aku berharap penghapus itu tidak mengenaiku, dan benar saja, temanku menepisnya dengan tangannya. Tentu saja guru tetap meneriaki kami dari depan, dan mengancam akan menghukum kami. Aku tidak ingin itu terjadi, akan sangat merepotkan jika dapat hukuman, waktu dan tenaga akan terbuang untuk sesuatu yang tak ingin kulakukan. Tentu saja, guru itu hanya menggertak, tapi aku bersyukur keinginanku terjadi.

Saat jam makan siang, semua siswa di kelas berusaha untuk makan bersamaku. Aku juga tidak tahu, rasanya aku seperti memiliki daya tarik magnet, sementara mereka adalah besinya. Secara alami memiliki sesuatu yang membuat orang-orang ingin mendekati. Bukan karena penampilan, aku tidak merendah, tapi aku benar-benar biasa saja. Kemampuan dan sikap, aku sama seperti kebanyakan murid lainnya yang tergolong rata-rata dan tidak terlalu baik. Namun, mereka selalu berusaha dekat denganku. Ya, sebenarnya aku yang memang ingin menjadi pusat perhatian mereka pada awalnya.

Walau pun begitu, rasanya ada yang aneh dengan diriku. Melihat senyum mereka, mendengar gelak tawa, dan kata-kata mereka-yang entah mengapa selalu saja sesuai dengan apa yang kuinginkan-itu terasa memuakan. Aku bosan, senyum mereka lama kelamaan menjijikkan. Tawa mereka memekakkan telinga. Semuanya terasa palsu. Mereka tidak menyembunyikan sesuatu, atau mungkin aku yang tidak sadar. Hari-hari yang kujalani seharusnya terasa menyenangkan dengan penuh warna. Namun, yang kurasakan hanya sesuatu yang hambar dan kelabu, tidak hitam maupun putih. Membosankan, memuakan, menjijikkan, membuatku selalu muntah ketika pulang sekolah.

Bahkan saat di rumah, orang tuaku yang senyumnya sama mencoba dekat denganku. Aku tahu seharusnya orang tua memang harus dekat dengan anaknya, tapi ini terjadi tiba-tiba. Sampai beberapa bulan yang lalu, mereka berdua---ayah dan ibuku selalu pergi dengan urusan mereka masing-masing. Entah itu pekerjaan atau hanya untuk memenuhi kesenangan mereka saja. Sekarang mereka merasa dekat denganku, hanya mereka. Aku merasa semakin jauh, bukan berarti aku tetap tidak terima perlakuan mereka terhadapku sebelumnya, malah rasanya aku ingin kembali sendiri seperti dulu. Benar, keinginanku tak pernah mengkhianati, jika aku ingin kembali seperti dulu, mungkin mereka akan menyingkir.

Begitulah hari-hariku. Saat ini aku berbaring di halaman sekolah yang dipenuhi rumput. Menolak ajakan teman-temanku yang ingin pulang bersama, menunggu matahari terbenam, agar aku tidak terlalu cepat melihat wajah orang tuaku. Jika saja, ada seseorang terasa berbeda dari yang lainnya. Seseorang yang tak akan pernah sesuai dengan keinginanku. Seseorang yang tidak terus memamerkan senyum menjijikkan. Seseorang yang tidak ingin dekat denganku, melainkan aku yang ingin mendekatinya. Jika keinginanku memang tak pernah mengkhianati, maka aku yakin orang seperti itu  mungkin akan kutemui. Oh tidak, rasanya pikiranku telah melalang buana terlalu jauh.

Samar-samar mataku melihat seseorang yang tengah berjalan. Seseorang yang belum pernah kulihat sebelumnya, tertatih ke arahku. Ia seperti sampah masyarakat yang sering mabuk dan tanpa tujuan hidup. Namun, tidak sesungguhnya terlihat seperti itu juga. Hal yang membuatku bertanya-tanya adalah ia yang menggunakan gaun pengantin lengkap dengan kerudung serba putih. Membawa beberapa tangkai mawar yang telah mengering di tangan kirinya. Mawar itu cukup kering, dan harus segera dibuang. Kaki kanannya hanya diseret tanpa melangkah, rantai melilit kaki putih mungil yang tanpa alas itu. Mungkin ia ingin kawin lari dan berhasil kabur dari belenggu orang tuanya. Ya ampun, terasa seperti cerita roman murahan. Ia berhenti tepat di depanku, aku duduk di rumput dan ia merobohkan tubuhnya ke diriku.

Kedua tangannya tiba-tiba memegang erat kepalaku sehingga mawar itu dicampakkan. "Maaf, siapa kau? Bukankah sedikit tidak sopan memegang kepala sambil menjatuhkan tubuhmu ke seseorang yang baru kau temui?"

Ia hanya diam membisu, dan semakin terlihat tidak baik-baik saja. Tubuhnya tak sanggup ia tahan lagi. Dengan cepat aku menangkapnya, kulihat mata cokelatnya mulai menutup. Sepertinya ia tertidur kelelahan atau mungkin pingsan, aku tak tahu.

Sambil terengah-engah aku menggendongnya sampai ke ruang UKS. Tidak ada siapa pun lagi di sekolah, semua guru juga sudah pulang. Kubaringkan tubuhnya di atas kasur, untung saja ruang ini tidak pernah dikunci. Aku duduk di kursi, mengatur nafasku kembali. Wanita ini mungkin pertengahan dua puluhan, tapi gaun pengantin ini membuatku bingung. Siapa peduli, rasanya mataku mengantuk. Perlahan kupejamkan mataku, walau aku tahu sebaiknya tidak tidur saat senja berganti malam. Namun, aku tak dapat menahan kantuk yang tiba-tiba ini.

***

Aku terbangun di tempat yang berbeda. Tempat yang terasa sudah tidak asing lagi. Baik itu dinding, langit-langit maupun lantainya semua berwarna abu-abu. Tidak ada jendela maupun pintu, benar-benar terisolasi. Ah, aku sering ke tempat ini, hanya dalam mimpi. Baik itu tidur saat siang, malam, atau kapan pun itu aku pasti bermimpi ruangan ini. Aku tidak pernah bermimpi tentang yang lain, mungkin sewaktu kecil, tapi aku sudah lupa. Kulihat sekeliling ruangan ini, tak ada apa pun, kosong. Mataku tiba-tiba menangkap sesuatu yang belum pernah ada di mimpi-mimpi sebelumnya. Wanita bergaun pengantin tadi. Mengapa ia ada di sini? Seketika kepalaku seperti kesetrum, aku mengantuk lagi. Begitu bangun, aku telah kembali ke ruang UKS.

Ia telah terbangun dan hanya duduk di atas kasur. Tampaknya ia lebih baik sekarang, tapi hari telah hampir tengah malam. Gawat sekali, tak mungkin ia kutinggalkan di sini begitu saja. Aku berulang kali mengajaknya bicara dan berulang kali juga ia tidak mengacuhkan diriku. Yang benar saja, ada apa dengannya. Aku ingin ia bicara, supaya ia menjawab pertanyaanku. Namun, pertama kalinya sesuatu tidak berjalan sesuai keinginanku. Padahal aku hanya ingin mengantarnya pulang, atau mungkin ia tidak punya rumah. Benar-benar pelarian sepertinya. Kutarik tangannya, ia mengikutiku. Tidak ada pilihan lain, aku akan membawanya pulang ke rumah.

Sepanjang perjalanan pulang yang sepi, kami tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Aku bingung ingin bicara apa, ia pasti hanya mendiamkan diriku. Kuharap kedua orang tua itu tidak di rumah. Benar saja, tak siapa pun ada di rumah. Mereka meninggalkanku pesan di kertas bahwa mereka pergi ke luar kota untuk waktu yang cukup lama. Dewi Fortuna memang selalu bersamaku, kecuali jika mengangkut wanita dengan gaun pengantin ini.

"Kau ingin ke kamar mandi? Ah, pasti kau lapar," ujarku padanya yang masih tetap diam. Ia makan saat kuberi makanan. Gaun pengantinnya tak ingin ia ganti, berapa kali pun aku bersikeras.

Berhari-hari kuhabiskan dengan seseorang yang sampai sekarang tidak kutahu namanya. Ia tak pernah keluar dari rumah. Aku jadi tak perlu memikirkan alasan jika tetanggaku menanyai kami, karena mereka tidak tahu keberadaannya di rumah ini. Setiap hari aku pulang dengan terburu-buru, menolak ajakan teman-temanku. Ia orang yang menarik, bukan hanya dari segi penampilan. Namun, juga dari sikapnya. Apa pun yang kuharapkan darinya tak pernah terjadi, berbeda dengan orang lain. Tidak ada senyuman yang menjijikkan darinya, wajahnya tanpa emosi. Tanpa tawa dan tidak berusaha mendekatiku. Ia benar-benar menghancurkan rekor keberuntunganku akan semua yang kuinginkan, walau kehadirannya sendiri merupakan keinginanku yang tercapai.

Saat malam sudah sangat larut, kuajak ia melihat langit malam yang gelap. Terkadang diterangi sinar rembulan, dan bintang-bintang yang berhamburan. Terkadang dijatuhi oleh rinai hujan. Bahkan jika gaunnya basah, ia tetap tidak menggantinya. Selalu memakai itu bahkan saat tidur bersamaku. Bukannya aku mencari kesempatan, tapi ia selalu datang ke kamarku dan tidur di sebelahku. Berkali-kali hingga membuatku menyerah untuk memperingatinya. Hari-hari yang kujalani berubah, aku tidak merasa muak melihatnya. Walau hal-hal yang kulewati ketika bersamanya juga sama saja setiap harinya. Ia tetap tidak membuatku bosan, ekspresinya sama sekali bukan kepalsuan. Karena ia juga tidak berekspresi mungkin.

"Kau mau pergi ke suatu tempat?" tanyaku padanya sambil memegang rantai di kaki kanannya yang tidak bisa dilepas. Aku tidak berharap ia akan menjawab pertanyaanku, tapi aku hanya sekedar ingin memecahkan keheningan.

"Bagaimana kalau aku tidak ada? Apa kau masih ingin meneruskan mimpi ini?" tanya dirinya padaku.

Jujur saja itu pertanyaan yang aneh. Aku tidak mengerti mimpi yang ia maksud. Dirinya yang tidak ada juga lebih tidak kumengerti. Aku sempat berpikir mungkin maksudnya adalah jika ia mati, walau ia terlihat sehat. Mungkin sebenarnya ia mengidap penyakit mematikan. Ah, pikiranku telah terlalu jauh. Apa pun itu, aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya. Tidak baik bertanya balik untuk mengetahui maksud pertanyaannya, menurutku begitu. Karena dari awal aku sadar, ia bukan orang yang benar-benar normal. Mungkin keterbelakangan mental disertai penyakit mematikan.

***

Gedung yang dilapisi warna putih. Itulah yang kulihat saat ini, banyak mawar berserakan di lantainya. Hanya kelopak mawar, tanpa tangkai. Lalu di depanku ada pengantin yang memegang beberapa tangkai mawar, menunggu sesuatu yang sepertinya tak kunjung datang. Wajahnya tidak asing, aku mengenalnya. Tidak salah lagi, memang dirinya. Aku bermimpi, hanya hal itu yang bisa kusimpulkan. Bukan hal yang mungkin secara tiba-tiba aku berpindah ke gedung ini, dan dirinya yang tampak berbeda, tidak lusuh seperti biasanya. Belakangan mimpiku aneh-aneh. Tunggu, rasanya aku akan tahu apa yang dilakukannya selanjutnya.

"Hei, mau mati bersamaku?" pintanya padaku.

Tepat seperti yang aku pikirkan. "Mungkin itu tidak buruk juga," ucapku ... bukan. Aku tidak mengatakan apa pun, mulutku bergerak sendiri. Ini bukan kata-kataku, bukan aku yang menjawabnya. Tubuhku juga bergerak sendiri, mendekati dirinya dan mengeluarkan obat tidur. Kilasan balik berkelebat di kepalaku, ingatan yang sama persis dengan yang akan terjadi. Kami berdua akan bunuh diri, bersama menuju kematian. Ada yang salah, kenapa bisa begini. Kami pergi ke tempat yang jauh dari gedung itu, menuju ke sebuah danau. Menelan begitu banyak obat tidur, melompat ke danau yang dingin. Entah dari mana aku mengetahui cara bunuh diri yang seperti ini.

Aku kembali mengingat sesuatu yang tak pernah kulalui lagi. Kami berdua yang sering bertemu di Gereja, tidak pernah benar-benar bicara. Namun tanpa kusadari aku selalu mengikutinya, murni penasaran dengan dirinya yang selalu mengenakan gaun pernikahan. Rasanya seperti penguntit, tapi tak ada hal khusus yang dilakukannya, ia tinggal di gubuk tua dekat danau. Lama kelamaan aku bosan sendiri mengikutinya.

Dengan enggan kembali ke hidup yang monoton. Saat di sekolah, para siswa tergolong ke beberapa kategori, menjadi orang yang aktif, menjadi orang yang mengikuti alur, dan ada juga yang menjadi orang tanpa komunikasi. Aku termasuk dalam golongan terakhir. Tunggu, rasanya berbeda dari apa yang biasa kulalui. Aku bukan jenis orang yang hanya duduk di pojok kelas tanpa bicara, biasanya seluruh orang mendekatiku tanpa alasan yang jelas. Mengapa kilasan balik ini begitu menjengkelkan?

Seluruh tubuhku mati rasa, penglihatanku mau kabur, air mulai masuk ke hidung dan mulutku. Ini yang disebut kematian, tapi aku belum mati. Ini hanya mimpi. Aku akan segera bangun. Ya, itu pasti.

"Ini bukan mimpi. Ini hanya ingatan aslimu," ujarnya padaku.

Ia berbicara dan menatapku, kami berdua masih di dalam danau dan mulai tenggelam. Namun, mata dan hidungku, juga yang lainnya baik-baik saja. Sama sepertinya yang bertujuan bisa bicara, air danaunya juga mulai terasa menghilang. Fenomena macam apa yang harus kulalui ini. Kepalaku rasanya kesetrum, sakit sekali. Mendenyut di segala sisi, membuatku memuntahkan isi perutku. Kami yang sebelumnya tidak pernah bicara, memutuskan untuk bunuh diri bersama.

Bunuh diri, bunuh diri, bunuh diri. Untuk apa aku melakukannya? Ah ... benar juga. Bagaimana aku bisa lupa dengan orang tuaku yang tak pernah ada. Bagaimana bisa aku lupa dengan diriku yang tidak bisa berkomunikasi dan beradaptasi, mencoba untuk dapat menjalin hubungan dengan yang lain. Bagaimana bisa aku lupa dengan diriku yang dicap 'Penguntit' oleh semua orang. Bagaimana bisa aku lupa dengan  tuduhan ... pembunuhan yang diberikan padaku. Padahal aku tidak membunuhnya, kami hanya berniat bunuh diri bersama.

Aku tidak tahu masalahnya, tapi yang lebih pelik lagi, aku juga tidak tahu masalahku sampai ingin bunuh diri. Gagal dalam banyak hal, itu sudah biasa bagiku. Namun ketika bunuh diri pun aku gagal, entah apa maksudnya. Ia sudah mati, ia berhasil lepas dari kehidupan. Sedangkan aku dikurung dalam kandang untuk orang-orang yang tidak pantas disebut manusia.

Benar, dari awal semuanya hanya ilusi yang kubuat sendiri. Agar aku tidak mencoba bunuh diri lagi di dalam sel. Aku tidak ingin bunuh diri kedua kalinya. Untuk menghadapi segalanya, jika harus tenggelam dalam ilusi, akan kulakukan. Dengan pengantin ini, ingatanku tentang diriku akan tetap ada. Meski itu palsu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun