Mohon tunggu...
Heru Kesuma
Heru Kesuma Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Seorang penggemar berat Harutya. Menulis untuk hidup, selain mengisi waktu. Karena ia hanya seorang pengangguran yang hampir dua puluhan. Setiap apa yang ditulisnya membuatnya merasa dirinya punya alasan atas eksistensinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bunuh Diri Bersama Seorang Pengantin

11 September 2023   22:07 Diperbarui: 11 September 2023   22:15 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hei, mau mati bersamaku?" pintanya padaku.

Tepat seperti yang aku pikirkan. "Mungkin itu tidak buruk juga," ucapku ... bukan. Aku tidak mengatakan apa pun, mulutku bergerak sendiri. Ini bukan kata-kataku, bukan aku yang menjawabnya. Tubuhku juga bergerak sendiri, mendekati dirinya dan mengeluarkan obat tidur. Kilasan balik berkelebat di kepalaku, ingatan yang sama persis dengan yang akan terjadi. Kami berdua akan bunuh diri, bersama menuju kematian. Ada yang salah, kenapa bisa begini. Kami pergi ke tempat yang jauh dari gedung itu, menuju ke sebuah danau. Menelan begitu banyak obat tidur, melompat ke danau yang dingin. Entah dari mana aku mengetahui cara bunuh diri yang seperti ini.

Aku kembali mengingat sesuatu yang tak pernah kulalui lagi. Kami berdua yang sering bertemu di Gereja, tidak pernah benar-benar bicara. Namun tanpa kusadari aku selalu mengikutinya, murni penasaran dengan dirinya yang selalu mengenakan gaun pernikahan. Rasanya seperti penguntit, tapi tak ada hal khusus yang dilakukannya, ia tinggal di gubuk tua dekat danau. Lama kelamaan aku bosan sendiri mengikutinya.

Dengan enggan kembali ke hidup yang monoton. Saat di sekolah, para siswa tergolong ke beberapa kategori, menjadi orang yang aktif, menjadi orang yang mengikuti alur, dan ada juga yang menjadi orang tanpa komunikasi. Aku termasuk dalam golongan terakhir. Tunggu, rasanya berbeda dari apa yang biasa kulalui. Aku bukan jenis orang yang hanya duduk di pojok kelas tanpa bicara, biasanya seluruh orang mendekatiku tanpa alasan yang jelas. Mengapa kilasan balik ini begitu menjengkelkan?

Seluruh tubuhku mati rasa, penglihatanku mau kabur, air mulai masuk ke hidung dan mulutku. Ini yang disebut kematian, tapi aku belum mati. Ini hanya mimpi. Aku akan segera bangun. Ya, itu pasti.

"Ini bukan mimpi. Ini hanya ingatan aslimu," ujarnya padaku.

Ia berbicara dan menatapku, kami berdua masih di dalam danau dan mulai tenggelam. Namun, mata dan hidungku, juga yang lainnya baik-baik saja. Sama sepertinya yang bertujuan bisa bicara, air danaunya juga mulai terasa menghilang. Fenomena macam apa yang harus kulalui ini. Kepalaku rasanya kesetrum, sakit sekali. Mendenyut di segala sisi, membuatku memuntahkan isi perutku. Kami yang sebelumnya tidak pernah bicara, memutuskan untuk bunuh diri bersama.

Bunuh diri, bunuh diri, bunuh diri. Untuk apa aku melakukannya? Ah ... benar juga. Bagaimana aku bisa lupa dengan orang tuaku yang tak pernah ada. Bagaimana bisa aku lupa dengan diriku yang tidak bisa berkomunikasi dan beradaptasi, mencoba untuk dapat menjalin hubungan dengan yang lain. Bagaimana bisa aku lupa dengan diriku yang dicap 'Penguntit' oleh semua orang. Bagaimana bisa aku lupa dengan  tuduhan ... pembunuhan yang diberikan padaku. Padahal aku tidak membunuhnya, kami hanya berniat bunuh diri bersama.

Aku tidak tahu masalahnya, tapi yang lebih pelik lagi, aku juga tidak tahu masalahku sampai ingin bunuh diri. Gagal dalam banyak hal, itu sudah biasa bagiku. Namun ketika bunuh diri pun aku gagal, entah apa maksudnya. Ia sudah mati, ia berhasil lepas dari kehidupan. Sedangkan aku dikurung dalam kandang untuk orang-orang yang tidak pantas disebut manusia.

Benar, dari awal semuanya hanya ilusi yang kubuat sendiri. Agar aku tidak mencoba bunuh diri lagi di dalam sel. Aku tidak ingin bunuh diri kedua kalinya. Untuk menghadapi segalanya, jika harus tenggelam dalam ilusi, akan kulakukan. Dengan pengantin ini, ingatanku tentang diriku akan tetap ada. Meski itu palsu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun