Misalnya, di Jerman dan di Jepang telah melakukan investasi besar dalam pengembangan infrastruktur tahan bencana, termasuk bangunan dan jalan yang dirancang khusus untuk menahan guncangan dan banjir.
Di samping itu, organisasi internasional seperti World Meteorological Organization (WMO) dan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menggunakan teknologi canggih untuk memprediksi cuaca dan memberikan peringatan dini kepada masyarakat, sehingga memungkinkan evakuasi dan persiapan yang lebih baik.
Upaya lainnya melibatkan pembinaan kesadaran dan kesiapan masyarakat melalui program-program seperti "Ready for Disaster" di Indonesia dan "Disaster Preparedness" di Amerika Serikat, yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat dalam menghadapi dan merespons bencana dengan efektif.
Jadi, analisis terhadap efektivitas strategi mitigasi menunjukkan bahwa penerapan strategi tersebut secara tepat dapat mengurangi risiko dan dampak bencana cuaca ekstrem. Misalnya, program pembangunan infrastruktur tahan bencana di Jepang telah berhasil mengurangi kerusakan akibat bencana alam, termasuk bencana cuaca ekstrem.
Selain itu, penggunaan teknologi untuk peramalan dan peringatan dini telah memberikan hasil dalam mengurangi kerugian. Studi menunjukkan bahwa peringatan dini yang tepat dapat meminimalkan kerusakan ekonomi dan sosial yang disebabkan oleh bencana cuaca ekstrem.
Namun, efektivitas strategi mitigasi juga bergantung pada kesiapan dan partisipasi masyarakat. Program seperti "Ready for Disaster" di Indonesia telah menunjukkan bahwa kesiapsiagaan dan kesadaran masyarakat merupakan kunci untuk meminimalkan risiko dan dampak bencana cuaca ekstrem.
Mitigasi Bencana Cuaca Ekstrem di Indonesia dan Negara LainÂ
Tahun 2024 di Indonesia ditandai dengan peningkatan terjadinya bencana, termasuk bencana cuaca ekstrem seperti banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor, dan kebakaran hutan. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa sepanjang tahun ini, terjadi 361 bencana, dengan banjir mendominasi sebanyak 227 kasus, cuaca ekstrem 89 kejadian, tanah longsor 24 kejadian, dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 16 kejadian.
Dampak dari bencana ini menyebabkan kerusakan pada 11.920 rumah dan 243 fasilitas umum/sosial, serta meninggalnya 47 orang, dua orang hilang, 119 luka-luka, dan 1.602.927 penduduk yang harus mengungsi, mengutip dari mongabay.co.id (28/02/2024).
Di negara lain, seperti Amerika Serikat, bencana cuaca ekstrem juga menjadi isu utama. Misalnya, fenomena El Nino pada tahun 2023-2024 yang menyebabkan pemanasan suhu menunda musim hujan di Indonesia hingga awal Januari ini, atau sekitar lima dasarian (sekitar 50 hari) dari kondisi normal, juga mempengaruhi negara-negara lain di garis khatulistiwa.
Pengalaman dan pembelajaran dari studi kasus diatas menunjukkan bahwa mitigasi bencana cuaca ekstrim memerlukan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan. Salah satu pembelajaran penting adalah pentingnya sistem peringatan dini yang efektif dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana.