Mohon tunggu...
Heru Wahyudi
Heru Wahyudi Mohon Tunggu... Dosen - Lecture

Musafir

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Bedanya Tanah Ulayat dan Tanah Girik serta Dampaknya pada Masyarakat

19 September 2023   11:56 Diperbarui: 19 September 2023   11:58 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemukiman di Tanah Ulayat di Pulau Rempang (Source: regional.kompas.com)

Tanah ulayat dan tanah girik adalah dua istilah yang  berbeda dalam hukum pertanahan di Indonesia, dan perbedaan ini memiliki akibat bagi masyarakat. 

Tanah ulayat merujuk pada tanah yang dimiliki oleh masyarakat adat dan diatur oleh hukum adat setempat. Jenis tanah ulayat dapat mencakup berbagai bentuk, seperti tanah titian, tanah pengairan, tanah kas desa, dan tanah bengkok.

Salah satu ciri utama tanah ulayat adalah bahwa tanah tersebut tidak dapat dengan mudah disertifikatkan, dan jika ada kebutuhan untuk melepaskan hak atas tanah tersebut, prosesnya harus melalui tukar guling (ruislag) atau pelepasan hak yang dikendalikan oleh kepala adat.

Sementara itu, tanah girik adalah tanah yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat dengan hak guna usaha (HGU) atau hak guna bangunan (HGB), mengutip (Purnamasari, I Devita, 2010). Tanah girik dapat disertifikatkan dan diperjualbelikan seperti tanah pada umumnya. Perbedaan mendasar antara tanah ulayat dan tanah girik ini telah menimbulkan kontroversi dalam hal kepemilikan, pengelolaan, dan pemanfaatan tanah di Indonesia. Salah satunya konfilk di tanah ulayat Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Nah, artikel ini ditulis bertujuan untuk memberikan pemahaman lebih mendalam tentang perbedaan antara tanah ulayat dan tanah girik, serta dampaknya bagi masyarakat. Semoga bermanfaat telaah tentang kedua konsep ini, diharapkan dapat tercipta solusi yang lebih adil dan berkelanjutan dalam mengatasi masalah pertanahan di Indonesia.

Pengertian Tanah Ulayat dan Tanah Girik

 

Definisi Tanah Ulayat

Tanah ulayat adalah sebidang tanah yang memiliki hak ulayat yang diakui oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu. Hak ulayat mencakup sejumlah wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat terkait dengan tanah yang terletak dalam wilayah mereka. Hal ini telah diakui dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, yang juga dikenal sebagai Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).

Secara lebih rinci, tanah ulayat dapat dijelaskan sebagai tanah yang dikelola secara bersama oleh anggota masyarakat hukum adat. Pengaturan pengelolaan tanah ulayat umumnya ditangani oleh pemimpin adat, yang juga dikenal sebagai kepala adat. Tujuan utama dari pemanfaatan tanah ulayat adalah untuk kepentingan baik warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan maupun individu dari luar komunitas tersebut.

Definisi ini, yang diuraikan dalam buku "Dinamika Proses Desentralisasi Sektor Kehutanan di Sulawesi Selatan" oleh Putu Oka Ngakan dkk.(2005), memperjelas konsep tanah ulayat dan pentingnya peran kepala adat dalam pengaturan dan pengelolaan tanah ini. Penekanan pada pemanfaatan yang bermanfaat bagi seluruh komunitas hukum adat dan pihak luar menunjukkan sifat inklusif dari hak ulayat ini.

Definisi Tanah Girik

Tanah girik merujuk pada tanah yang diserahkan oleh pemiliknya kepada pihak lain untuk digunakan selama jangka waktu tertentu, dengan persyaratan bahwa tanah tersebut harus dikembalikan dalam kondisi baik ketika masa sewa berakhir. Dari segi hukum adat, tanah girik seringkali diberikan kepada individu yang tidak memiliki tanah sendiri, seperti buruh tani atau petani kecil, untuk keperluan aktivitas pertanian.

Pemberian tanah girik menggambarkan praktik tradisional yang umumnya terjadi di masyarakat. Memungkinkan individu yang memiliki lahan untuk berbagi dan mendukung mereka yang membutuhkan tanah untuk usaha pertanian, tanpa harus mengalami kendala kepemilikan langsung. Tentunya proses ini, pemilik tanah masih mempertahankan hak kepemilikan asli mereka, sementara pihak yang menerima tanah girik dapat menggunakannya dalam batasan waktu yang telah disepakati.

Perbedaan antara Tanah Ulayat dan Tanah Girik

Perbedaan antara tanah ulayat dan tanah girik jelas kentara dalam aspek kepemilikan, pengelolaan, dan pemanfaatannya:

Kepemilikan: Tanah ulayat menjadi milik bersama bagi warga masyarakat hukum adat, sementara tanah girik tetap menjadi kepemilikan asli pemilik tanah yang memberikannya kepada pihak lain.  Menggambarkan hak kolektif versus hak individu dalam hal pertanahan.

Pengelolaan: Pengaturan pengelolaan tanah ulayat dikendalikan oleh pemimpin adat atau kepala adat, menegaskan peran sentral kepemimpinan adat dalam mengelola sumber daya tanah. Di sisi lain, pengelolaan tanah girik tetap berada di bawah kendali pemilik tanah asli, yang memiliki hak untuk mengelola dan mengendalikan tanah tersebut sesuai dengan kebijakannya.

Pemanfaatan: Tanah ulayat dapat dimanfaatkan oleh warga masyarakat hukum adat maupun oleh individu dari luar komunitas. Mewujudkan sifat inklusif dalam pemanfaatan tanah ulayat. Sementara itu, tanah girik umumnya hanya digunakan oleh pihak yang telah menerima tanah tersebut dari pemilik tanah asli, menciptakan batasan yang lebih ketat dalam akses dan penggunaan tanah.

Dasar Hukum Tanah Ulayat dan Tanah Girik

Landasan hukum dari pengakuan dan perlindungan hak ulayat masyarakat hukum adat diatur oleh beberapa peraturan dan undang-undang di Indonesia. Hak ulayat didasarkan pada Pasal 33 Ayat (3) dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mengakui pentingnya hak ulayat dalam sistem pertanahan negara. Selain itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, yang juga dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), turut mengakui dan mengatur hak ulayat.

Selain peraturan tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Ulayat dan Hak Pengelolaan Masyarakat Hukum Adat juga menjadi dasar hukum penting yang mengatur hak ulayat dan pengelolaan tanah oleh masyarakat hukum adat di Indonesia.

Sementara itu, pengaturan terkait tanah girik didasarkan pada UUPA Pasal 16 Ayat (1), yang menjelaskan bahwa tanah girik adalah tanah yang diberikan oleh pemilik tanah kepada pihak lain untuk digunakan dalam jangka waktu tertentu. Dengan dasar hukum ini, pengaturan tentang tanah girik menjadi lebih terdefinisi dan jelas dalam sistem hukum pertanahan di Indonesia.

Peraturan Perundang-undangan Terkait Tanah Ulayat dan Tanah Girik

Pengaturan tentang tanah ulayat didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Ulayat dan Hak Pengelolaan Masyarakat Hukum Adat, yang menjadi dasar hukum utama yang mengatur hak ulayat dan pengelolaan tanah oleh masyarakat hukum adat di Indonesia. Selain itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, atau UUPA, juga memiliki ketentuan yang mengatur tentang tanah ulayat.

Sementara itu, aturan terkait tanah girik terdapat dalam UUPA Pasal 16 Ayat (1), yang menjelaskan bahwa tanah girik adalah tanah yang diberikan oleh pemilik tanah kepada pihak lain untuk digunakan dalam jangka waktu tertentu. Ini membentuk dasar hukum yang mengatur tanah girik dan menetapkan prinsip-prinsip dasar terkait penggunaan dan kepemilikan tanah tersebut.

Analisis Hukum Publik terhadap Kontroversi Tanah Ulayat dan Tanah Girik

Kontroversi yang sering muncul antara tanah ulayat dan tanah girik memunculkan perdebatan dalam praktik pertanahan di Indonesia. Analisis hukum publik atas permasalahan ini melibatkan dua aspek utama, yaitu pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat serta kepentingan pembangunan nasional.

Dari tataran pengakuan dan perlindungan hak ulayat, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 Ayat (3) memberikan pengakuan dan perlindungan atas hak ulayat masyarakat hukum adat. Namun, dalam implementasinya, pengakuan dan perlindungan hak ulayat seringkali dihadapkan pada berbagai kendala, termasuk peraturan perundang-undangan yang cenderung bersifat sektoral dan kadang-kadang bertentangan dengan hak ulayat yang diakui.

Sementara itu, kepentingan pembangunan nasional juga menjadi faktor yang mempengaruhi kontroversi antara tanah ulayat dan tanah girik. Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan (RUU PTP) menjadi salah satu isu yang muncul, dengan berbagai instansi pemerintah yang menyuarakan pendapat terkait pengadaan tanah untuk keperluan pembangunan nasional.

Sejarah Kontroversi Tanah Ulayat dan Tanah Girik

Kontroversi yang sering timbul seputar tanah ulayat dapat disusun kembali hingga akar-akarnya dalam perbedaan pemahaman dan pelaksanaan hukum adat dalam pertanahan. Sejarah kontroversi ini dapat ditelusuri hingga masa kolonial Belanda, di mana pemerintah kolonial mulai mengakui dan mengatur hak-hak masyarakat hukum adat terkait dengan tanah ulayat. Perbedaan pemahaman dan penafsiran terkait dengan hak ulayat menjadi sumber utama ketidaksepakatan dalam praktik pertanahan di Indonesia.

Di sisi lain, kontroversi yang terkait dengan tanah girik juga sering muncul karena masalah dalam pemahaman dan implementasi hukum pertanahan. Pada awalnya, tanah girik digunakan sebagai bentuk pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat terhadap tanah, tetapi dalam praktiknya, seringkali terjadi penyalahgunaan dan sengketa yang berkaitan dengan status dan kepemilikan tanah girik. Pada akhirnya menciptakan ketidakpastian hukum dan konflik terkait kepemilikan tanah girik, yang merupakan isu penting dalam sektor pertanahan Indonesia.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kontroversi Tanah Ulayat dan Tanah Girik

Salah satu dampak utama dari kontroversi seputar tanah ulayat dan tanah girik adalah menciptakan ketidakpastian hukum yang meresahkan masyarakat. Ketidakjelasan status dan kepemilikan tanah dapat menghambat perkembangan pembangunan, mengurangi minat investasi, dan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Tidak hanya itu, kontroversi ini seringkali juga memicu konflik sosial yang merugikan. Konflik antara berbagai pihak, termasuk masyarakat, pemerintah, dan pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan dalam masalah tanah, dapat mengganggu kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di suatu daerah. Konsekuensi dari konflik semacam ini bisa sangat merugikan masyarakat, menciptakan ketidakstabilan dalam komunitas, dan menghambat kemajuan regional. Oleh karena itu, penyelesaian yang adil dan berkelanjutan terkait tanah ulayat dan tanah girik menjadi sangat penting untuk mengatasi ketidakpastian hukum dan menghindari konflik sosial yang merugikan.

Kontroversi Tanah Ulayat dan Tanah Girik di Indonesia serta Saran untuk Menghadapinya

Kontroversi antara tanah ulayat dan tanah girik sudah jelas isu yang melibatkan sejumlah faktor yang saling terkait, termasuk perubahan sosial, ekonomi, dan hukum. Di Indonesia, perdebatan ini memiliki dampak langsung terhadap masyarakat, baik dalam hal kepemilikan, aksesibilitas, maupun pemanfaatan lahan.

Tantangannya, pemerintah serta masyarakat harus memiliki pemahaman mendalam mengenai perbedaan antara tanah ulayat dan tanah girik serta implikasinya terhadap masyarakat. Pasalnya, pendekatan analisis hukum publik dapat menjadi dasar yang kokoh untuk mengembangkan kebijakan yang sesuai dan adil bagi semua pihak yang terlibat.

Sejumlah saran bisa diambil untuk mengatasi kontroversi mengenai tanah ulayat dan tanah girik. Pertama, pemerintah perlu meningkatkan dan memperkuat kerangka peraturan pertanahan yang berlaku, sehingga memberikan kepastian hukum kepada masyarakat terkait kepemilikan, aksesibilitas, dan penggunaan tanah.

Kedua, meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai hak-hak mereka yang berkaitan dengan tanah ulayat dan tanah girik, serta dampaknya pada kehidupan sehari-hari. Hingga dapat dicapai melalui pendidikan, penyuluhan, dan keterlibatan aktif dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan tanah.

Terakhir, dalam menyelesaikan sengketa yang timbul terkait tanah ulayat dan tanah girik,  pemerintah dan masyarakat penting untuk mencari solusi yang adil untuk semua pihak yang terlibat. Proses penyelesaian sengketa harus didasarkan pada prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, serta menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan dalam rangka mencapai solusi yang baik dan berkelanjutan bagi masalah yang begitu kompleks ini. (*)

Heru Wahyudi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun