Definisi ini, yang diuraikan dalam buku "Dinamika Proses Desentralisasi Sektor Kehutanan di Sulawesi Selatan" oleh Putu Oka Ngakan dkk.(2005), memperjelas konsep tanah ulayat dan pentingnya peran kepala adat dalam pengaturan dan pengelolaan tanah ini. Penekanan pada pemanfaatan yang bermanfaat bagi seluruh komunitas hukum adat dan pihak luar menunjukkan sifat inklusif dari hak ulayat ini.
Definisi Tanah Girik
Tanah girik merujuk pada tanah yang diserahkan oleh pemiliknya kepada pihak lain untuk digunakan selama jangka waktu tertentu, dengan persyaratan bahwa tanah tersebut harus dikembalikan dalam kondisi baik ketika masa sewa berakhir. Dari segi hukum adat, tanah girik seringkali diberikan kepada individu yang tidak memiliki tanah sendiri, seperti buruh tani atau petani kecil, untuk keperluan aktivitas pertanian.
Pemberian tanah girik menggambarkan praktik tradisional yang umumnya terjadi di masyarakat. Memungkinkan individu yang memiliki lahan untuk berbagi dan mendukung mereka yang membutuhkan tanah untuk usaha pertanian, tanpa harus mengalami kendala kepemilikan langsung. Tentunya proses ini, pemilik tanah masih mempertahankan hak kepemilikan asli mereka, sementara pihak yang menerima tanah girik dapat menggunakannya dalam batasan waktu yang telah disepakati.
Perbedaan antara Tanah Ulayat dan Tanah Girik
Perbedaan antara tanah ulayat dan tanah girik jelas kentara dalam aspek kepemilikan, pengelolaan, dan pemanfaatannya:
Kepemilikan: Tanah ulayat menjadi milik bersama bagi warga masyarakat hukum adat, sementara tanah girik tetap menjadi kepemilikan asli pemilik tanah yang memberikannya kepada pihak lain. Â Menggambarkan hak kolektif versus hak individu dalam hal pertanahan.
Pengelolaan: Pengaturan pengelolaan tanah ulayat dikendalikan oleh pemimpin adat atau kepala adat, menegaskan peran sentral kepemimpinan adat dalam mengelola sumber daya tanah. Di sisi lain, pengelolaan tanah girik tetap berada di bawah kendali pemilik tanah asli, yang memiliki hak untuk mengelola dan mengendalikan tanah tersebut sesuai dengan kebijakannya.
Pemanfaatan: Tanah ulayat dapat dimanfaatkan oleh warga masyarakat hukum adat maupun oleh individu dari luar komunitas. Mewujudkan sifat inklusif dalam pemanfaatan tanah ulayat. Sementara itu, tanah girik umumnya hanya digunakan oleh pihak yang telah menerima tanah tersebut dari pemilik tanah asli, menciptakan batasan yang lebih ketat dalam akses dan penggunaan tanah.
Dasar Hukum Tanah Ulayat dan Tanah Girik
Landasan hukum dari pengakuan dan perlindungan hak ulayat masyarakat hukum adat diatur oleh beberapa peraturan dan undang-undang di Indonesia. Hak ulayat didasarkan pada Pasal 33 Ayat (3) dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mengakui pentingnya hak ulayat dalam sistem pertanahan negara. Selain itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, yang juga dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), turut mengakui dan mengatur hak ulayat.