Pemilihan umum di Indonesia, sebagai panggung demokrasi, menuntut calon presiden dan wakil presiden untuk memenuhi sejumlah persyaratan.
Salah satu persyaratan penting yang menjadi sorotan adalah batasan usia. Pasal 169 ayat (1) dari UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dengan jelas menegaskan bahwa usia calon presiden dan wakil presiden minimal harus mencapai 40 tahun pada saat pemilihan berlangsung.Â
Alasan yang diutarakan adalah untuk memastikan bahwa para calon pemimpin negara memiliki kedewasaan dan pengalaman yang cukup dalam menjalankan tugas kepemimpinan.
Memang, patut dipertanyakan sejauh mana persyaratan usia ini benar-benar menjadi jaminan kualitas kepemimpinan. Apakah kematangan dan pengalaman benar-benar tergantung pada angka usia?Â
Pendekatan ini mungkin punya kelemahan, karena kualitas kepemimpinan yang sesungguhnya tak hanya ditentukan oleh faktor usia semata.
Sementara persyaratan usia bisa dianggap sebagai pengukur, aspek-aspek seperti visi, integritas, kemampuan analisis, dan pemahaman mendalam tentang isu-isu kompleks juga harus diberi perhatian serius.
Penting untuk berpikir lebih kritis terkait relevansi persyaratan usia ini dalam kaitan pemilihan umum. Apakah usia benar-benar menjadi penentu yang akurat untuk mengukur kemampuan seorang pemimpin?Â
Mungkin ada alternatif metode seleksi yang lebih berfokus pada kompetensi nyata calon, tanpa mengabaikan faktor pengalaman.
Sebuah pertanyaan retoris yang muncul adalah apakah batasan usia ini dapat mengabaikan potensi pemimpin muda yang mungkin memiliki gagasan segar, energi, dan keterlibatan yang diperlukan dalam menghadapi dinamika zaman.
Syarat Usia Capres-Cawapres di Indonesia
Pasal 6A ayat (1) dari UUD 1945 dengan lugas menyebutkan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat, dalam sebuah proses pemilihan umum yang diharapkan jujur dan adil.Â
Tapi, kita harus menghadapi kenyataan bahwa dalam konteks ini, persyaratan usia menjadi bagian tak terpisahkan dari perdebatan yang lebih besar.
Pasal 169 huruf q dalam UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 menetapkan bahwa calon presiden dan wakil presiden harus minimal berusia 40 tahun saat pemilihan berlangsung.Â
Pertanyaan mendasar muncul: apakah usia benar-benar menjadi tonggak yang mengukur kapabilitas seorang pemimpin?Â
Dengan syarat usia ini, muncul gagasan bahwa hanya pada usia tersebut, seseorang mampu memiliki pengalaman dan kematangan yang diperlukan dalam memimpin negara.
Tetapi, apakah kita sebenarnya sudah membuktikan bahwa usia adalah jaminan otomatis untuk pengalaman dan kematangan?
Kita dihadapkan pada paradoks, di mana beberapa individu muda telah menunjukkan ketajaman analitis dan keterlibatan yang luar biasa, sementara beberapa yang lebih tua justru belum tentu memiliki pandangan yang matang.Â
Alih-alih mengandalkan angka usia, mungkin akan lebih produktif jika kita mempertimbangkan alternatif metode seleksi yang lebih fokus pada rekam jejak, integritas, dan wawasan calon.
Lalu, pertanyaan lain muncul: apakah persyaratan usia sebenarnya melindungi pemilih dari calon yang tidak siap?Â
Ataukah ia justru menghambat potensi munculnya pemimpin inovatif yang bisa memberikan perspektif baru dalam menghadapi tantangan zaman?
Sementara argumen 'kematangan' penting, tidakkah hal ini seharusnya dilihat melalui lensa yang lebih luas, termasuk dalam hal pemahaman mendalam terhadap isu-isu global dan kemampuan beradaptasi?
Dalam mengkritisi relevansi persyaratan usia calon presiden dan wakil presiden, kita tidak mencoba meremehkan pentingnya pengalaman dan kematangan.Â
Setidaknya, kita perlu mengajukan pertanyaan apakah penentuan usia secara mutlak benar-benar sejalan dengan semangat kebersamaan dan menciptakan ruang bagi semua potensi pemimpin.
Kita perlu mengingat bahwa opini yang tajam dan terarah tidak selalu datang dengan usia tertentu.Â
Mungkin saatnya mempertimbangkan kembali apakah pemilihan pemimpin harus dikekang oleh angka pada KTP, ataukah kita harus memilih berdasarkan rekam jejak, visi, dan kompetensi yang lebih nyata.
Kontroversi Syarat Usia Capres-Cawapres
Ketegangan ramai dalam perbincangan mengenai syarat usia calon presiden dan wakil presiden di Indonesia, dengan sudut pandang yang beragam yang memunculkan pertanyaan mendasar.Â
Dalam arena ini, PSI mengambil langkah konstitusi, meminta Mahkamah Konstitusi untuk menggoyahkan fondasi dengan mengurangi batas usia minimal dari 40 tahun menjadi 35 tahun, melansir dari mkri.id (13/06/2023).
Namun, di seberang medan, tampaknya DPR dan pemerintah lebih memilih untuk tetap berpegang teguh pada norma lama, dengan keyakinan kuat bahwa usia 35 tahun sudah memberikan cukup kedewasaan dan kualifikasi untuk memimpin negara ini, mengutip kompas.id (08/08/2023).
Tiba-tiba, kita menemukan pemerintah menyerahkan nasib keputusan ini ke tangan Mahkamah Konstitusi, sebagai arbiter atas pertentangan.Â
Pertanyaannya muncul: apakah opini yang sedang kita saksikan di sini sebenarnya mewakili debat mendalam mengenai kualitas kepemimpinan?Â
Ataukah hanya mencerminkan taktik politik yang saling berlawanan, dengan masing-masing pihak menggantungkan harapannya pada otoritas hukum?
Tetapi, di balik jargon politik, muncul persoalan yang lebih dalam: apa benar ada hubungan sebab-akibat antara usia dan kematangan?Â
Pertanyaan filosofis ini meledak menjadi sorotan di tengah perseteruan ini. PSI dengan caranya menantang pandangan usang yang menempatkan kualitas kepemimpinan dalam bingkai usia tertentu.
Argumen Pro dan Kontra Syarat Usia Capres-Cawapres
Syarat usia untuk calon presiden dan wakil presiden di Indonesia telah memunculkan perdebatan sengit, dengan pro dan kontra yang mencuat tajam. Dalam perdebatan ini, argumentasi muncul dari dua sisi yang saling bertentangan.
Dari satu sudut pandang, ada yang berpegang teguh pada pandangan bahwa usia bukanlah penentu utama dalam menilai kemampuan dan kualitas seorang pemimpin.
Mereka berargumen bahwa pemimpin muda yang usianya 35 tahun pun bisa saja memiliki latar belakang pengalaman dan kualifikasi yang memadai untuk mengemban tugas kepemimpinan negara.Â
Perspektif ini juga menegaskan bahwa pemimpin muda bisa membawa ide-ide segar dan pandangan inovatif yang sangat dibutuhkan dalam memimpin.
Di sisi lain, kontranya adalah pandangan yang menganggap usia memiliki peran sentral dalam menilai kedewasaan dan pengalaman seorang calon pemimpin.Â
Pendukung pandangan ini berpendapat bahwa batasan usia minimal menjadi faktor kunci dalam memastikan seorang calon presiden atau wakil presiden memiliki kematangan yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan kompleks negara.
Mereka menggarisbawahi kompleksitas Indonesia sebagai negara dan berpendapat bahwa usia 35 tahun belum mencerminkan kesempatan yang cukup bagi calon untuk memiliki pengalaman dan perspektif yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi.
Dengan pertentangan gagasan ini, kontroversi tentang syarat usia calon presiden dan wakil presiden di Indonesia belum menemui titik temu.Â
Argumentasi pro dan kontra terus saling bentrok, dan keputusan akhirnya akan terletak pada Mahkamah Konstitusi, di mana harapannya adalah kebijakan akan dibuat dengan mempertimbangkan berbagai pandangan dan dampaknya.
Polemik Syarat Usia Calon Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia
Polemik mengenai syarat usia bagi calon presiden dan wakil presiden di Indonesia masih jadi perdebatan, bahkan di tengah arus era informasi. Walaupun demikian, pandangan bahwa syarat usia ini tetap relevan tak bisa diabaikan.
Usia minimal 35 tahun ataupun 40 tahun dianggap sebagai penanda penting untuk memastikan kedewasaan dan pengalaman calon pemimpin dalam memimpin negara.Â
Beragam pendapat pro dan kontra terus bergulir, keputusan definitif tentu akan menjadi panggilan Mahkamah Konstitusi yang akan memutuskan argumentasi kedua belah pihak kedepannya (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H