Dalam mengkritisi relevansi persyaratan usia calon presiden dan wakil presiden, kita tidak mencoba meremehkan pentingnya pengalaman dan kematangan.Â
Setidaknya, kita perlu mengajukan pertanyaan apakah penentuan usia secara mutlak benar-benar sejalan dengan semangat kebersamaan dan menciptakan ruang bagi semua potensi pemimpin.
Kita perlu mengingat bahwa opini yang tajam dan terarah tidak selalu datang dengan usia tertentu.Â
Mungkin saatnya mempertimbangkan kembali apakah pemilihan pemimpin harus dikekang oleh angka pada KTP, ataukah kita harus memilih berdasarkan rekam jejak, visi, dan kompetensi yang lebih nyata.
Kontroversi Syarat Usia Capres-Cawapres
Ketegangan ramai dalam perbincangan mengenai syarat usia calon presiden dan wakil presiden di Indonesia, dengan sudut pandang yang beragam yang memunculkan pertanyaan mendasar.Â
Dalam arena ini, PSI mengambil langkah konstitusi, meminta Mahkamah Konstitusi untuk menggoyahkan fondasi dengan mengurangi batas usia minimal dari 40 tahun menjadi 35 tahun, melansir dari mkri.id (13/06/2023).
Namun, di seberang medan, tampaknya DPR dan pemerintah lebih memilih untuk tetap berpegang teguh pada norma lama, dengan keyakinan kuat bahwa usia 35 tahun sudah memberikan cukup kedewasaan dan kualifikasi untuk memimpin negara ini, mengutip kompas.id (08/08/2023).
Tiba-tiba, kita menemukan pemerintah menyerahkan nasib keputusan ini ke tangan Mahkamah Konstitusi, sebagai arbiter atas pertentangan.Â
Pertanyaannya muncul: apakah opini yang sedang kita saksikan di sini sebenarnya mewakili debat mendalam mengenai kualitas kepemimpinan?Â
Ataukah hanya mencerminkan taktik politik yang saling berlawanan, dengan masing-masing pihak menggantungkan harapannya pada otoritas hukum?